Rabu, 16 Januari 2013
MK: Penentuan Batas Usia Pensiun Hakim Kewenangan Pembentuk UU
Kamis, 26 Juli 2012
Pemerintah: Aturan Pensiun Hakim Ad Hoc PHI Tidak Diskriminatif
Sumber: http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=website.Berita.Berita&id=7308
Selasa, 03 Juli 2012
Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial Perbaiki Permohonan Pengujian Umur Pensiun
Kedua Hakim Ad Hoc tersebut mengujikan ketentuan Pasal 67 ayat (1) huruf d UU PPHI yang menyatakan: “Pasal 67 (1) Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial dan Hakim Ad-Hoc Hubungan Industrial pada Mahkamah Agung diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena: d) telah berumur 62 (enam puluh dua) tahun bagi Hakim Ad-Hoc pada Pengadilan Hubungan Industrial dan telah berumur 67 (enam puluh tujuh) tahun bagi Hakim Ad-Hoc pada Mahkamah Agung.”
Di hadapan Panel Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva (Ketua Panel), Ahmad Fadlil Sumadi, dan Anwar Usman, Pemohon melalui kuasa hukumnya, R. Supramono, menyampaikan perbaikan permohonan sesuai nasihat panel hakim pada persidangan sebelumnya (19/6/2012). Perbaikan meliputi lima hal, yakni kewenangan Mahkamah, materi UU PPHI yang diujikan, batu uji dalam UUD 1945, tambahan alat bukti, dan terakhir perubahan pada petitum.
Bila pada permohonan sebelumnya para Pemohon mengujikan seluruh ketentuan Pasal 67 ayat (1) huruf d UU PPHI, maka setelah perbaikan, yang diujikan adalah frasa “telah berumur 62 tahun” dan frasa “telah berumur 67 tahun”.
“Pada permohonan perbaikan ini, ada perbaikan redaksi dimana frasa khusus yang kita uji adalah dua frasa, yaitu frasa ‘telah berumur 62 tahun’ dan frasa ‘telah berumur 67 tahun’,” kata R. Supramono.
Kemudian Pasal dalam UUD 1945 yang dijadikan sebagai batu uji. Permohonan sebelum perbaikan, batu ujinya Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2). Setelah perbaikan, batu ujinya menjadi dua pasal yakni Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
Para Pemohon juga mengajukan tambahan alat bukti, yakni Risalah Proses Pembahasan Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Dengan demikian, bukti yang diajukan adalah bukti P-1 sampai P-20.
Terakhir, dalam petitum setelah perbaikan, para Pemohon meminta Mahkamah menyatakan Pasal 67 ayat (1) huruf d UU PPHI, khususnya pada frasa “telah berumur 62 tahun” dan frasa “telah berumur 67 tahun” adalah bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945, dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. (Nur Rosihin Ana)
Sumber: http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=website.Berita.Berita&id=7196#
Kamis, 21 Juni 2012
Hakim Ad Hoc Pengadilan Hubungan Industrial Uji Aturan Umur “Pensiun” ke MK
Selasa, 25 Oktober 2011
Pengangkatan Advokat di Jepang
Ada bagian yang menarik (menurut saya) dari buku yang berjudul ‘Dasar-dasar Profesi Advokat’ karya V. Harlen Sinaga, S.H., M.H., (seorang advokat senior di Jakarta) yang saya baca beberapa hari lalu. Karena menurut saya menarik, maka saya akan bagikan kepada siapa saja yang membaca blog ini, semoga bermanfaat.
Pemaparan sistem pengangkatan pengacara di Jepang ini tidak dimaksudkan untuk mengagung-agungkan sistem keadvokatan di negeri tersebut. Hal ini dimaksudkan hanya sekadar perbandingan untuk melihat dan meneliti serta mengambil elemen penting sebagai pelajaran dan menentukan kebijakan dalam melakukan pengangkatan advokat di Indonesia pada hari mendatang.
1. Tahap Ujian
Setelah mahasiswa lulus dari universitas, dengan pembidangan utama (major) di bidang hukum, yang bersangkutan dapat memasuki profesi hukum (legal profession) sebagai advokat (private attorney), jaksa (public prosecutor), atau hakim (judge), yang dimulai dengan proses judicial examination (ujian hukum) atau National Bar Examination yang diselenggarakan secara nasional. National Bar Examination diselenggarakan dalam 2 (dua) tahap yaitu First Examination (Ujian Pertama) dan Second Examination (Ujian Kedua).
a. First Examination (Ujian Pertama)
Pada tahap ini, bahan yang diujikan adalah materi general education (pendidikan umum/kebudayaan). Bagi mereka yang telah memperoleh gelar di bidang kebudayaan dari universitas, materi ini tidak perlu diujikan lagi sehingga mereka dapat langsung menempuh ujian kedua.
b. Second Examination (Ujian Kedua)
Ujian kedua ini dibagi dalam beberapa tahap:
1) Multiple choice exam
Pada tahap ini, bahan yang diujikan adalah teori hukum yang meliputi Constitution (Undang-Undang Dasar), Civil Code (KUHPerdata) dan Penal Code (KUHPidana).
2) Essay exam
Pada tahap ini, bahan yang diujikan adalah teori hukum yang meliputi Constitution (Undang-Undang Dasar), Civil Code (KUHPerdata), Penal Code (KUHPidana), Civil Procedure (Hukum Acara Perdata), Criminal Procedure (Hukum Acara Pidana) dan Commercial Code (Hukum Dagang).
3) Oral exam
Pada tahap ini, bahan yang diujikan adalah teori hukum yang meliputi Constitution (Undang-Undang Dasar), Civil Code (KUHPerdata), Penal Code (KUHPidana), Civil Procedure (Hukum Acara Perdata) dan Criminal Procedure (Hukum Acara Pidana).
Dengan tahapan tersebut dapat diperkirakan bahwa memasuki profesi hukum di Jepang merupakan suatu pekerjaan yang sangat sulit karena tahapan-tahapan ujian tersebut hanya dapat ditempuh apabila seseorang telah lulus dalam materi ujian sebelumnya. Secara konkret, Second Examination tidak mungkin diikuti peserta apabila dia tidak lulus dalam First Examination. Demikian juga Essay exam tidak mungkin ditempuh apabila seseorang tidak lulus Multiple choice exam.
Sebagai informasi, pada tahun 2002, dari 41.500 calon profesional hukum, hanya 6.500 yang lulus dalam multiple choice exam. Dari jumlah itu, hanya 1.240 calon lulus dalam essay exam dan akhirnya hanya 1.183 peserta lulus dalam oral exam. Bahkan, menurut Japan Federation of Bar Association, jumlah peserta tahun 2002 mencapai 45.622 peserta dan peserta yang lulus hanya berjumlah 1.183 orang. Lebih lanjut, pada tahun 2003, dari 45.372 peserta, hanya 1.203 orang yang lulus dalam profesi hukum. Dengan demikian rata-rata yang lulus menjadi profesional hukum tidak sampai 3 % (tiga persen). Karena itu tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa memasuki profesi hukum merupakan salah satu ujian yang paling sulit di Jepang.
2. Tahap Pemagangan
Apabila National Bar Examination atau Judicial Examination di atas telah dilalui, calon profesional hukum mempunyai status sebagai judicial/legal apprentice yang akan memasuki masa pemagangan atau pelatihan.
Satu tahap yang harus dilalui oleh judicial/legal apprentice untuk dapat memilih apakah dia akan menjadi advokat (private attorney), jaksa (public prosecutor) atau hakim (judge) adalah mengikuti pemagangan dan pelatihan yang dikelola dan diselenggarakan oleh The Legal Training and Research Institute yang berada di bawah Mahkamah Agung (Supreme Court). Tujuan utama pemagangan ini adalah untuk mendapat budaya, kehormatan dan kapasitas sebagai profesional hukum dan untuk mengakui misi profesi hukum.
The Legal Training and Research Institute mempersiapkan dan menyelenggarakan pemagangan yang berlangsung kurang lebih satu setengah tahun, yang dibagi dalam beberapa tahap, yaitu Initial Training, Field Training, Final Training dan Final Qualifying Examination.
a. Initial Training
Tujuan initial training adalah untuk mendapatkan pengetahuan tentang prinsip-prinsip dasar dan keahlian di bidang hukum dengan mempelajari civil litigation (litigasi perdata), criminal litigation (litigasi pidana), prosecution (penuntutan), civil advocacy (advokasi perdata), criminal defense (pembelaan pidana). Seorang judicial/legal apprentice pada tahap ini mempelajari antara lain:
1) Cara untuk menemukan fakta-fakta penting (to short out significant facts);
2) Cara untuk menemukan fakta dalam suatu bukti (to find fact on evidence);
3) Cara untuk beracara (to carry out procedure);
4) Cara untuk menginterogasi saksi (to interrogate witness).
Materi diberikan oleh pengajar dari lembaga tersebut ataupun dari praktisi, hakim, jaksa, pengacara dan dosen. Karena itu judicial/legal apprentice akan mempunyai pengetahuan yang cukup tentang bidang-bidang tersebut sehingga mereka dapat melihat sesuatu masalah yang timbul dari berbagai segi. Seluruh materi wajib diikuti oleh judicial/legal apprentice sehingga pada akhir masa pemagangan mereka dapat memilih bidang mana yang peling cocok banginya.
Sebagai tambahan, kode etik juga diberikan. Namun, materi tentang kode etik dan sejarah kepengacaraan tidak meninjok kalau dibandingkan dengan pendidikan advokat di Indonesia. Alasannya sangat sulit diperoleh, namun kalau dilihat dari sudut perkambangan Lawyers Law of Japan yang telah ada sejak tahun 1949 dan telah diamandemen sebanyak 22 kali, sementara Indonesia baru mempunyai Undang-Undang Advokat pada tahun 2003, barangkali kode etik dan sejarah kepengacaraan bagi dunia hukum Jepang tidak perlu lagi mendapat perhatian serius.
b. Field Training
Tujuan field training adalah agar seorang judicial/legal apprentice terbiasa dengan hal yang praktis. Dalam pelatihan ini, bidang yang dipelajari adalah civil litigation (litigasi perdata), criminal litigation (litigasi pidana), prosecution (penuntutan), civil advocacy (advokasi perdata). Field training ini berlangsung 12 bulan dan inilah periode yang paling lama. Judicial/legal apprentice mempelajari bidang-bidang tersebut secara bergilir yang lamanya masing-masing 3 bulan.
Sewaktu mempelajari materi civil litigation dan criminal litigation, seorang judicial/legal apprentice ditugaskan di distric court (semacam pengadilan negeri). Dengan demikian, seorang judicial/legal apprentice dibimbing oleh hakim pengadilan tersebut. Ketika acara persidangan berlangsung, judicial/legal apprentice duduk dekat majelis hakim sehingga dia dapat menyimak dan mempelajari secara seksama hal-hal yang berkaitan dengan proses pengadilan.
Dalam materi yang berkaitan dengan prosecution (penuntutan), judicial/legal apprentice bertugas di kejaksaan dan dibimbing oleh jaksa. Demikian juga dalam materi yang berkaitan civil advocacy (advokasi perdata), judicial/legal apprentice ditempatkan di firma hukum yang dekat dengan pengadilan.
c. Final Training
Seluruh judicial/legal apprentice berkumpul kembali di The Legal Training and Research Institute dan dalam tahap ini dilakukan pengkajian dan penyelesaian dari pemagangan secara keseluruhan (overall review and finalization of the training).
d. Final Qualifying Examination
Pada tahap ini, Supreme Court melakukan tes tertulis dan lisan, jika lulus, seorang judicial/legal apprentice dapat memilih untuk menjadi assistant judge, public prosecutor atau practicing attorney.
*) dikutip dari buku Dasar-dasar Profesi Advokat, V. Harlen Sinaga, S.H., M.H., Penerbit Erlangga, 2011, Hal. 72-75.
Minggu, 23 Oktober 2011
Kaedah Hukum (dalam arti sempit) #3
Kaedah Hukum adalah Peraturan hukum (hidup) tentang bagaimana kita seyogyanya/semestinya berperilaku agar kepentinag-kepentingan kita dan kepentingan-kepentingan orang lain terlindungi.
Dalam arti sempit:
- Nilai yang terdapat dalam Peraturan Konkrit
- Nilai yang bersifat lebih konkrit daripada Azas Hukum
- Nilai dalam kaedah ini berkaitan dengan baik dan buruk.
Fungsinya adalah untuk melindungi kepentingan manusia atau kelompok manusia.
Menurut van Apeldoorn, tujuan dari Kaedah Hukum adalah mengatur pergaulan hidup secara damai, yaitu ketertiban masyarakat, artinya keseimbangan atau stabilitas masyarakat, karena tatanan masyarakat yang seimnbang akan membawa kesejahteraan.
Pada umumnya, kaedah hukum berubah mengikuti perkembangan peraturan konkrit, namun demikian ada kaedah atau nilai yang berubah sementara peraturan konkritnya tidak berubah.
Contoh:
Nilai yang terkandung pada Pasal 1365 BW (perbuatan melawan hukum.
“Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu mengganti kerugian karena kesalahannya untuk mengganti kerugian tersebut”.
Sebelum tahun 1919, pasal tersebut diartikan sempit, namun setelah tahun 1919 diartikan luas (ruang lingkupnya), namun redaksi pasal ini tidak berubah sampai saat ini.
Dalam masyarakat, terlebih dahulu terbentuk tatanan kaedah lain sebelum kaedah hukum, yaitu:
- Kaedah Agama dan Kaedah Kesusilaan: tatanan kaedah yang mempunyai aspek kepentingan pribadi.
- Kaedah Sopan Santun dan Kaedah Hukum: tatanan kaedah yang mempunyai aspek kepentingan bersama.
Dari segi historis-teoritis yaitu secara kronologis-teoritis, urutannya adalah kaedah agama, kaedah kesusilaan, kaedah sopan satun, kemudian kaedah hukum.
Pertanyaan yang timbul kemudian adalah, mengapa setelah mempunyai 3 kaedah yang pertama (kaedah agama, kaedah kesusilaan dan kaedah sopan satun) masih kita masih membutuhkan kaedah hukum?. Jawabannya sederhana, banyak kepentingan-kepentingan manusia yang belum terlindungi oleh kaedah-kaedah tersebut. Kaedah agama belum cukup melindungi kepentingan manusia, begitu juga dengan kaedah kesusilaan dan kaedah sopan santun, tidak seperti kaedah hukum yang mempunyai daya paksa.
Menurut van Apeldoorn, kaedah hukum tidak dapat menjadi obyek ilmu, sebab kaedah hukum adalah pendapat (oordelen) tentang apa yang seharusnya dan apa yang tidak seharusnya dilakukan, yaitu:
- Pernyataan pendapat yang memberi nilai;
- Bukan pernyataan pendapat yang mencatat dan menerangkan, seperti yang terdapat dalam ilmu pengetahuan.
*) Materi Kuliah Teori Hukum pada Magister Hukum UGM yang disajikan oleh Prof. Dr. RM. Sudikno Mertokusumo, SH.