Rabu, 16 Januari 2013

MK: Penentuan Batas Usia Pensiun Hakim Kewenangan Pembentuk UU



UUD 1945 tidak menentukan batas usia untuk semua jabatan hakim. Penentuan batas usia hakim merupakan kebijakan hukum terbuka (opened legal policy), yang sewaktu-waktu dapat diubah oleh pembentuk undang-undang sesuai dengan tuntutan kebutuhan perkembangan yang ada dan sesuai dengan jenis dan spesifikasi serta kualifikasi jabatan tersebut.
Dengan demikian, Mahkamah dalam pengujian Undang-Undang (UU) No. 2/2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PHI), Pasal 67 ayat (1) huruf d menyatakan, penentuan batas usia sepenuhnya merupakan kewenangan pembentuk undang-undang. “Menyatakan menolak permohonan para Pemohon,” terang Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Moh. Mahfud MD saat membacakan putusan perkara Nomor 56/PUU-X/2012, Selasa (15/1), di Ruang Sidang Pleno MK.
Lebih dari itu, Mahkamah dalam pendapatnya juga mengakui bahwa dalam undang-undang ada perbedaan usia pensiun antara hakim ad hoc hubungan industrial pada Mahkamah Agung (Pemohon I), hakim ad hoc pada Pengadilan Hubungan Industrial (Pemohon II) dengan hakim ad hoc lainnya, hakim, dan hakim agung tetapi perbedaan tersebut tidak serta merta menimbulkan perbedaan perlakuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
“Perbedaan dapat dibenarkan sepanjang sifat, karakter dan kebutuhan atas jabatan tersebut berbeda,” ujar Hakim Konstitusi Harjono, saat membacakan putusan tersebut. Justru, lanjut Harjono, akan menimbulkan diskriminasi apabila memperlakukan hal yang sama terhadap suatu yang berbeda atau sebaliknya memperlakukan berbeda terhadap hal yang sama. Disisi lain, Mahkamah juga berpandangan, walaupun antara hakim ad hoc hubungan industrial pada Mahkamah Agung, hakim ad hoc pada pengadilan hubungan industrial dengan hakim ad hoc lainnya, hakim, dan hakim agung sama-sama berstatus hakim, tetapi karakter dan kebutuhan atas jabatannya berbeda. “Hal itu merupakan wilayah kebijakan pembentuk undang-undang,” terang Harjono.
Meskipun demikian, Mahkamah melanjutkan dalam pendapatnya, ada dua hal yang harus mendapat perhatian yakni mengenai pengertian dan implementasi istilah “ad hoc” selama ini. Pengertian hakim ad hoc seharusnya menunjuk kepada sifat kesementaraan dan tidak bersifat permanen, sehingga hakim ad hoc diperlukan hanya untuk mengadili kasus-kasus tertentu. Oleh karena itu seharusnya hakim ad hoc hanya berstatus hakim selama menangani perkara yang diperiksa dan diadilinya. “Berdasarkan seluruh pertimbangan hukum tersebut di atas, menurut Mahkamah permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum,” urai Harjono.
Pasal 67 ayat (1) huruf d UU PHI sendiri menyebutkan, “Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial dan Hakim Ad-Hoc Hubungan Industrial pada Mahkamah Agung diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena telah berumur 62 (enam puluh  dua) tahun bagi Hakim Ad-Hoc pada Pengadilan Hubungan Industrial dan telah berumur 67 (enam puluh tujuh) tahun bagi Hakim Ad-Hoc pada Mahkamah Agung”.
Para Pemohon yang terdiri atas Hakim Ad Hoc Perselisihan Hubungan Industrial pada Mahkamah Agung Jono Sihono (Pemohon I), dan Hakim Ad Hoc Perselisihan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Sinufa Zebua (Pemohon II), menilai frasa “…telah berumur 62 (enam puluh dua) tahun” dan frasa “telah berumur 67 (enam puluh tujuh) tahun…” dalam pasal a quo bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
Pemohon juga memohon dalam petitumnya, bunyi frasa pada Pasal 67 ayat (1) huruf d UU PHI untuk diubah menjadi, “hakim ad hoc pengadilan hubungan industrial dan hakim ad hoc hubungan industrial pada Mahkamah Agung diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena telah berumur 65 tahun bagi hakim ad hoc pada pengadilan industrial dan telah berumur 70 tahun bagi hakim ad hoc pada Mahkamah Agung,” terang Kuasa Hukum Pemohon R. Supramono pada sidang pemeriksaan pendahuluan. (Shohibul Umam/mh)
Sumber: http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.Berita&id=7994#.UPaHEx354S-

Kamis, 26 Juli 2012

Pemerintah: Aturan Pensiun Hakim Ad Hoc PHI Tidak Diskriminatif


Direktur Litigasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkum HAM), Mualimin Abdi yang mewakili Pemerintah dalam opening statement-nya yang ditandatangani Menteri Hukum dan HAM, Amir Syamsudin serta Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Muhaimin Iskandar, menegaskan bahwa aturan pensiun hakim ad-hoc pengadilan hubungan industrial tidak diskriminatif. Mualimin mempertanyakan kerugian konstitusional Pemohon sebagai hakim ad hoc PHI yang mengujikan aturan pensiun bagi hakim ad hoc PHI yaitu telah berumur 62 tahun bagi hakim ad hoc pada PHI dan telah berumur 67 tahun bagi hakim ad hoc pada Mahkamah Agung, Rabu (25/7) di Ruang Sidang Pleno MK.
Mualimin dalam perkara Pengujian Undang-Undang (PUU) No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang teregistrasi dengan nomor 56/PUU-X/2012 ini mempertanyakan kepentingan Para Pemohon mengajukan uji materi Pasal 67 ayat (1) huruf d UU No. 2 Tahun 2004 tentang PPHI. Pemerintah mengganggap tiada kerugian spesifik yang diderita akibat diberlakukannya pasal tersebut. “Dan apakah ada hubungan sebab akibat antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji,” ujar Mualimin membacakan salah satu bagian dalam opening statement Pemerintah.
Pemerintah, lanjut Mualimin, yakin Pemohon tidak dapat mendalilkan kerugian konstitusional yang dideritanya atas berlakunya pasal tersebut. Pasalnya, Pemerintah menganggap Pemohon dalam menjalankan pekerjaannya sebagai hakim ad hoc tidak terhalang-halangi atau mendapat perlakuan diskriminatif. Dengan tegas Pemerintah kemudian menyatakan Para Pemohon tidak memenuhi kualifikasi sebagai pihak yang memiliki kedudukan hukum sebagaimana yang ditentukan oleh Pasal 51 ayat (1) UU tentang MK.
Terhadap materi yang dimohonkan oleh Para Pemohon, Pemerintah menyatakan tidak sependapat dengan dalil Para Pemohon yang menyatakan bahwa Pasal 67 ayat (1) UU PPHI bersifat diskriminatif. “Anggapan itu tidak berdasar dan tidak beralasan,” tegas Mualimin sembari melanjutkan membaca opening statement tersebut.
Pemerintah beralasan, sifat kekhususunan hakim ad hoc diatur dalam undang-undang yang berbeda. Karena itulah syarat hakim ad hoc yang satu dengan lainnya memiliki syarat dan kekhususan yang berbeda. Maka, anggapan Pemohon yang membandingkan persyaratan, pengangkatan, maupun pemberhentiannya, termasuk yang terkait dengan usia pensiun antara pengadilan yang satu dengan yang lainnya menjadi tidak berdasar dan tidak relevan.
Sesuai UU PPHI yang menjelaskan syarat pengangkatan dan pemberhentian hakim ad hoc di PHI, pemerintah menegaskan bahwa keberadaan hakim ad hoc dimaksud sewaktu-waktu dapat dimintakan untuk ditarik oleh serikat pekerja/serikat buruh atau organisasi pengusaha yang mengusulkan.
Pemohon dalam perkara ini adalah dua hakim ad hoc PHI, Jono Sihono dan M. Sinufa Zebua dimana dalam persidangan kali beragendakan mendengarkan keterangan pemerintah. Usai dibacakan keterangan pemerintah, para pihak yang terlibat dalam persidangan sepakat tidak akan mengajukan saksi atau ahli pada persidangan selanjutnya karena merasa cukup dengan penjelasan masing-masing.
Dalam persidangan sebelumnya, Pemohon meminta MK untuk mengubah frasa dalam pasal yang dimohonkan oleh Para Pemohon. Perubahan frasa tersebut terkait dengan syarat batas umur pensiun kedua Pemohon. 
Lengkapnya, Pemohon meminta bunyi frasa pada Pasal 67 ayat (1) huruf d UU PPHI untuk diubah yang awalnya menetapkan syarat “pensiun” bagi hakim ad hoc pengadilan hubungan industrial dan hakim ad hoc hubungan industrial pada MA saat berumur 62 tahun bagi hakim ad hoc pada pengadilan hubungan industrial dan telah berumur 67 tahun bagi hakim ad hoc pada MA. Kemudian Pemohon meminta syarat itu diubah dengan mengubah frasa tersebut menjadi berbunyi, “hakim ad hoc pengadilan hubungan industrial dan hakim ad hoc hubungan industrial pada Mahkamah Agung diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena telah berumur 65 tahun bagi hakim ad hoc pada pengadilan industrial dan telah berumur 70 tahun bagi hakim ad hoc pada Mahkamah Agung.” (Yusti Nurul Agustin/mh)

Sumber: http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=website.Berita.Berita&id=7308

Selasa, 03 Juli 2012

Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial Perbaiki Permohonan Pengujian Umur Pensiun

Pengujian materi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI) yang diajukan oleh Hakim Ad-Hoc PHI pada Mahkamah Agung (MA), Jono Sihono dan Hakim  Ad-Hoc PHI pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, M. Sinufa Zebua, kembali diperiksa di Mahkamah Konstitusi, Selasa (3/7/2012) siang. Persidangan perkara nomor 56/PUU-X/2012, ini mengagendakan pemeriksaan perbaikan permohonan.
Kedua Hakim Ad Hoc tersebut mengujikan ketentuan Pasal 67 ayat (1) huruf d UU PPHI yang menyatakan: “Pasal 67 (1) Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial dan Hakim Ad-Hoc Hubungan Industrial pada Mahkamah Agung diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena: d) telah berumur 62 (enam puluh dua) tahun bagi Hakim Ad-Hoc pada Pengadilan Hubungan Industrial dan telah berumur 67 (enam puluh tujuh) tahun bagi Hakim Ad-Hoc pada Mahkamah Agung.” 
Di hadapan Panel Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva (Ketua Panel), Ahmad Fadlil Sumadi, dan Anwar Usman, Pemohon melalui kuasa hukumnya, R. Supramono, menyampaikan perbaikan permohonan sesuai nasihat panel hakim pada persidangan sebelumnya (19/6/2012). Perbaikan meliputi lima hal, yakni kewenangan Mahkamah, materi UU PPHI yang diujikan, batu uji dalam UUD 1945, tambahan alat bukti, dan terakhir perubahan pada petitum.
Bila pada permohonan sebelumnya para Pemohon mengujikan seluruh ketentuan Pasal 67 ayat (1) huruf d UU PPHI, maka setelah perbaikan, yang diujikan adalah frasa “telah berumur 62 tahun” dan frasa “telah berumur 67 tahun”.
“Pada permohonan perbaikan ini, ada perbaikan redaksi dimana frasa khusus yang kita uji adalah dua frasa, yaitu frasa ‘telah berumur 62 tahun’ dan frasa ‘telah berumur 67 tahun’,” kata R. Supramono.
Kemudian Pasal dalam UUD 1945 yang dijadikan sebagai batu uji. Permohonan sebelum perbaikan, batu ujinya Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2). Setelah perbaikan, batu ujinya menjadi dua pasal yakni Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
Para Pemohon juga mengajukan tambahan alat bukti, yakni Risalah Proses Pembahasan Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Dengan demikian, bukti yang diajukan adalah bukti P-1 sampai P-20.
Terakhir, dalam petitum setelah perbaikan, para Pemohon meminta Mahkamah menyatakan Pasal 67 ayat (1) huruf d UU PPHI, khususnya pada frasa “telah berumur 62 tahun” dan frasa “telah berumur 67 tahun” adalah bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945, dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. (Nur Rosihin Ana)


Sumber: http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=website.Berita.Berita&id=7196#

Kamis, 21 Juni 2012

Hakim Ad Hoc Pengadilan Hubungan Industrial Uji Aturan Umur “Pensiun” ke MK


Dua hakim pengadilan hubungan industrial mengajukan Pengujian Undang-Undang (PUU)  No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI), Selasa (19/6). Hakim Ad Hoc PHI pada Mahkamah Agung (MA), Jono Sihono dan Hakim  Ad Hoc PHI pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, M Sinufa Zebua mengajukan uji materi atas Pasal 67 ayat (1) huruf d dan meminta syarat umur “pensiun” mereka menjadi 65 dan 70 tahun dari yang sebelumnya disyaratkan pada umur 62  dan 65 tahun.
Sidang pemeriksaan pendahuluan untuk perkara yang teregistrasi dengan nomor 56/PUU-X/2012 itu dipimpin Hakim Konstitusi Harjono sebagai ketua panel hakim yang juga didampingi Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva dan Ahmad Fadlil Sumadi sebagai anggota panel hakim. Sidang yang digelar di Ruang Sidang Panel, Lantai 4, Gedung MK itu dihadiri tiga kuasa hukum Pemohon dan  Jono Sihono selaku Prinsipal Pemohon. Ketiga kuasa hukum yang mendampingi Jono, yaitu R. Supramono,  A. Muzaini, dan M. Ikhwan.
Supramono dalam sidang kali ini mendapat kesempatan untuk menjelaskan pokok-pokok permohonan Pemohon. Ia kemudian menjelaskan bahwa kliennya menganggap telah dirugikan dengan berlakunya Pasal 67 ayat (1) huruf d UU No. 2 Tahun 2004 tentang PPHI. Pasal tersebut berbunyi seperti berikut:
Pasal 67 (1) Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial dan Hakim Ad-Hoc Hubungan Industrial pada Mahkamah Agung diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena:
d) telah berumur 62 (enam puluh dua) tahun bagi Hakim Ad-Hoc pada Pengadilan Hubungan Industrial dan telah berumur 67 (enam puluh tujuh) tahun bagi Hakim Ad-Hoc pada Mahkamah Agung.
Pasal tersebut juga dianggap Pemohon telah bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. “Menyatakan bahwa materi muatan Pasal 67 ayat (1) huruf d UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial pada  frasa ‘hakim ad hoc pengadilan hubungan industrial dan hakim ad hoc hubungan industrial pada Mahkamah Agung diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena telah berumur 62 tahun bagi hakim ad hoc pada pengadilan hubungan industrial dan telah berumur 67 tahun bagi hakim ad hoc pada Mahkamah Agung’ bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945’,” ujar Supramono membacakan petitum permohonan pihaknya.
Dalam tuntutan atau petitum kedua, Pemohon juga meminta bunyi frasa pada Pasal 67 ayat (1) huruf d UU PPHI untuk diubah. Awalnya, Pasal 67 ayat (1) huruf d UU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial menetapkan syarat “pensiun” bagi hakim ad hoc PHI dan hakim ad hoc PHI pada MA saat berumur 62 tahun bagi hakim ad hoc pada PHI dan telah berumur 67 tahun bagi hakim ad hoc pada MA. Kemudian Pemohon meminta syarat itu diubah dengan mengubah frasa tersebut menjadi berbunyi, “hakim ad hoc pengadilan hubungan industrial dan hakim ad hoc hubungan industrial pada Mahkamah Agung diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena telah berumur 65 tahun bagi hakim ad hoc pada pengadilan industrial dan telah berumur 70 tahun bagi hakim ad hoc pada Mahkamah Agung.” (Yusti Nurul Agustin/mh)

Selasa, 25 Oktober 2011

Pengangkatan Advokat di Jepang



Ada bagian yang menarik (menurut saya) dari buku yang berjudul ‘Dasar-dasar Profesi Advokat’ karya V. Harlen Sinaga, S.H., M.H., (seorang advokat senior di Jakarta) yang saya baca beberapa hari lalu. Karena menurut saya menarik, maka saya akan bagikan kepada siapa saja yang membaca blog ini, semoga bermanfaat.

Pemaparan sistem pengangkatan pengacara di Jepang ini tidak dimaksudkan untuk mengagung-agungkan sistem keadvokatan di negeri tersebut. Hal ini dimaksudkan hanya sekadar perbandingan untuk melihat dan meneliti serta mengambil elemen penting sebagai pelajaran dan menentukan kebijakan dalam melakukan pengangkatan advokat di Indonesia pada hari mendatang.

1. Tahap Ujian

Setelah mahasiswa lulus dari universitas, dengan pembidangan utama (major) di bidang hukum, yang bersangkutan dapat memasuki profesi hukum (legal profession) sebagai advokat (private attorney), jaksa (public prosecutor), atau hakim (judge), yang dimulai dengan proses judicial examination (ujian hukum) atau National Bar Examination yang diselenggarakan secara nasional. National Bar Examination diselenggarakan dalam 2 (dua) tahap yaitu First Examination (Ujian Pertama) dan Second Examination (Ujian Kedua).

a. First Examination (Ujian Pertama)

Pada tahap ini, bahan yang diujikan adalah materi general education (pendidikan umum/kebudayaan). Bagi mereka yang telah memperoleh gelar di bidang kebudayaan dari universitas, materi ini tidak perlu diujikan lagi sehingga mereka dapat langsung menempuh ujian kedua.

b. Second Examination (Ujian Kedua)

Ujian kedua ini dibagi dalam beberapa tahap:

1) Multiple choice exam

Pada tahap ini, bahan yang diujikan adalah teori hukum yang meliputi Constitution (Undang-Undang Dasar), Civil Code (KUHPerdata) dan Penal Code (KUHPidana).

2) Essay exam

Pada tahap ini, bahan yang diujikan adalah teori hukum yang meliputi Constitution (Undang-Undang Dasar), Civil Code (KUHPerdata), Penal Code (KUHPidana), Civil Procedure (Hukum Acara Perdata), Criminal Procedure (Hukum Acara Pidana) dan Commercial Code (Hukum Dagang).

3) Oral exam

Pada tahap ini, bahan yang diujikan adalah teori hukum yang meliputi Constitution (Undang-Undang Dasar), Civil Code (KUHPerdata), Penal Code (KUHPidana), Civil Procedure (Hukum Acara Perdata) dan Criminal Procedure (Hukum Acara Pidana).

Dengan tahapan tersebut dapat diperkirakan bahwa memasuki profesi hukum di Jepang merupakan suatu pekerjaan yang sangat sulit karena tahapan-tahapan ujian tersebut hanya dapat ditempuh apabila seseorang telah lulus dalam materi ujian sebelumnya. Secara konkret, Second Examination tidak mungkin diikuti peserta apabila dia tidak lulus dalam First Examination. Demikian juga Essay exam tidak mungkin ditempuh apabila seseorang tidak lulus Multiple choice exam.

Sebagai informasi, pada tahun 2002, dari 41.500 calon profesional hukum, hanya 6.500 yang lulus dalam multiple choice exam. Dari jumlah itu, hanya 1.240 calon lulus dalam essay exam dan akhirnya hanya 1.183 peserta lulus dalam oral exam. Bahkan, menurut Japan Federation of Bar Association, jumlah peserta tahun 2002 mencapai 45.622 peserta dan peserta yang lulus hanya berjumlah 1.183 orang. Lebih lanjut, pada tahun 2003, dari 45.372 peserta, hanya 1.203 orang yang lulus dalam profesi hukum. Dengan demikian rata-rata yang lulus menjadi profesional hukum tidak sampai 3 % (tiga persen). Karena itu tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa memasuki profesi hukum merupakan salah satu ujian yang paling sulit di Jepang.

2. Tahap Pemagangan

Apabila National Bar Examination atau Judicial Examination di atas telah dilalui, calon profesional hukum mempunyai status sebagai judicial/legal apprentice yang akan memasuki masa pemagangan atau pelatihan.

Satu tahap yang harus dilalui oleh judicial/legal apprentice untuk dapat memilih apakah dia akan menjadi advokat (private attorney), jaksa (public prosecutor) atau hakim (judge) adalah mengikuti pemagangan dan pelatihan yang dikelola dan diselenggarakan oleh The Legal Training and Research Institute yang berada di bawah Mahkamah Agung (Supreme Court). Tujuan utama pemagangan ini adalah untuk mendapat budaya, kehormatan dan kapasitas sebagai profesional hukum dan untuk mengakui misi profesi hukum.

The Legal Training and Research Institute mempersiapkan dan menyelenggarakan pemagangan yang berlangsung kurang lebih satu setengah tahun, yang dibagi dalam beberapa tahap, yaitu Initial Training, Field Training, Final Training dan Final Qualifying Examination.

a. Initial Training

Tujuan initial training adalah untuk mendapatkan pengetahuan tentang prinsip-prinsip dasar dan keahlian di bidang hukum dengan mempelajari civil litigation (litigasi perdata), criminal litigation (litigasi pidana), prosecution (penuntutan), civil advocacy (advokasi perdata), criminal defense (pembelaan pidana). Seorang judicial/legal apprentice pada tahap ini mempelajari antara lain:

1) Cara untuk menemukan fakta-fakta penting (to short out significant facts);

2) Cara untuk menemukan fakta dalam suatu bukti (to find fact on evidence);

3) Cara untuk beracara (to carry out procedure);

4) Cara untuk menginterogasi saksi (to interrogate witness).

Materi diberikan oleh pengajar dari lembaga tersebut ataupun dari praktisi, hakim, jaksa, pengacara dan dosen. Karena itu judicial/legal apprentice akan mempunyai pengetahuan yang cukup tentang bidang-bidang tersebut sehingga mereka dapat melihat sesuatu masalah yang timbul dari berbagai segi. Seluruh materi wajib diikuti oleh judicial/legal apprentice sehingga pada akhir masa pemagangan mereka dapat memilih bidang mana yang peling cocok banginya.

Sebagai tambahan, kode etik juga diberikan. Namun, materi tentang kode etik dan sejarah kepengacaraan tidak meninjok kalau dibandingkan dengan pendidikan advokat di Indonesia. Alasannya sangat sulit diperoleh, namun kalau dilihat dari sudut perkambangan Lawyers Law of Japan yang telah ada sejak tahun 1949 dan telah diamandemen sebanyak 22 kali, sementara Indonesia baru mempunyai Undang-Undang Advokat pada tahun 2003, barangkali kode etik dan sejarah kepengacaraan bagi dunia hukum Jepang tidak perlu lagi mendapat perhatian serius.

b. Field Training

Tujuan field training adalah agar seorang judicial/legal apprentice terbiasa dengan hal yang praktis. Dalam pelatihan ini, bidang yang dipelajari adalah civil litigation (litigasi perdata), criminal litigation (litigasi pidana), prosecution (penuntutan), civil advocacy (advokasi perdata). Field training ini berlangsung 12 bulan dan inilah periode yang paling lama. Judicial/legal apprentice mempelajari bidang-bidang tersebut secara bergilir yang lamanya masing-masing 3 bulan.

Sewaktu mempelajari materi civil litigation dan criminal litigation, seorang judicial/legal apprentice ditugaskan di distric court (semacam pengadilan negeri). Dengan demikian, seorang judicial/legal apprentice dibimbing oleh hakim pengadilan tersebut. Ketika acara persidangan berlangsung, judicial/legal apprentice duduk dekat majelis hakim sehingga dia dapat menyimak dan mempelajari secara seksama hal-hal yang berkaitan dengan proses pengadilan.

Dalam materi yang berkaitan dengan prosecution (penuntutan), judicial/legal apprentice bertugas di kejaksaan dan dibimbing oleh jaksa. Demikian juga dalam materi yang berkaitan civil advocacy (advokasi perdata), judicial/legal apprentice ditempatkan di firma hukum yang dekat dengan pengadilan.

c. Final Training

Seluruh judicial/legal apprentice berkumpul kembali di The Legal Training and Research Institute dan dalam tahap ini dilakukan pengkajian dan penyelesaian dari pemagangan secara keseluruhan (overall review and finalization of the training).

d. Final Qualifying Examination

Pada tahap ini, Supreme Court melakukan tes tertulis dan lisan, jika lulus, seorang judicial/legal apprentice dapat memilih untuk menjadi assistant judge, public prosecutor atau practicing attorney.

*) dikutip dari buku Dasar-dasar Profesi Advokat, V. Harlen Sinaga, S.H., M.H., Penerbit Erlangga, 2011, Hal. 72-75.

Minggu, 23 Oktober 2011

Kaedah Hukum (dalam arti sempit) #3


Kaedah Hukum adalah Peraturan hukum (hidup) tentang bagaimana kita seyogyanya/semestinya berperilaku agar kepentinag-kepentingan kita dan kepentingan-kepentingan orang lain terlindungi.

Dalam arti sempit:

- Nilai yang terdapat dalam Peraturan Konkrit

- Nilai yang bersifat lebih konkrit daripada Azas Hukum

- Nilai dalam kaedah ini berkaitan dengan baik dan buruk.

Fungsinya adalah untuk melindungi kepentingan manusia atau kelompok manusia.

Menurut van Apeldoorn, tujuan dari Kaedah Hukum adalah mengatur pergaulan hidup secara damai, yaitu ketertiban masyarakat, artinya keseimbangan atau stabilitas masyarakat, karena tatanan masyarakat yang seimnbang akan membawa kesejahteraan.

Pada umumnya, kaedah hukum berubah mengikuti perkembangan peraturan konkrit, namun demikian ada kaedah atau nilai yang berubah sementara peraturan konkritnya tidak berubah.

Contoh:

Nilai yang terkandung pada Pasal 1365 BW (perbuatan melawan hukum.

Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu mengganti kerugian karena kesalahannya untuk mengganti kerugian tersebut”.

Sebelum tahun 1919, pasal tersebut diartikan sempit, namun setelah tahun 1919 diartikan luas (ruang lingkupnya), namun redaksi pasal ini tidak berubah sampai saat ini.

Dalam masyarakat, terlebih dahulu terbentuk tatanan kaedah lain sebelum kaedah hukum, yaitu:

- Kaedah Agama dan Kaedah Kesusilaan: tatanan kaedah yang mempunyai aspek kepentingan pribadi.

- Kaedah Sopan Santun dan Kaedah Hukum: tatanan kaedah yang mempunyai aspek kepentingan bersama.

Dari segi historis-teoritis yaitu secara kronologis-teoritis, urutannya adalah kaedah agama, kaedah kesusilaan, kaedah sopan satun, kemudian kaedah hukum.

Pertanyaan yang timbul kemudian adalah, mengapa setelah mempunyai 3 kaedah yang pertama (kaedah agama, kaedah kesusilaan dan kaedah sopan satun) masih kita masih membutuhkan kaedah hukum?. Jawabannya sederhana, banyak kepentingan-kepentingan manusia yang belum terlindungi oleh kaedah-kaedah tersebut. Kaedah agama belum cukup melindungi kepentingan manusia, begitu juga dengan kaedah kesusilaan dan kaedah sopan santun, tidak seperti kaedah hukum yang mempunyai daya paksa.

Menurut van Apeldoorn, kaedah hukum tidak dapat menjadi obyek ilmu, sebab kaedah hukum adalah pendapat (oordelen) tentang apa yang seharusnya dan apa yang tidak seharusnya dilakukan, yaitu:

- Pernyataan pendapat yang memberi nilai;

- Bukan pernyataan pendapat yang mencatat dan menerangkan, seperti yang terdapat dalam ilmu pengetahuan.

*) Materi Kuliah Teori Hukum pada Magister Hukum UGM yang disajikan oleh Prof. Dr. RM. Sudikno Mertokusumo, SH.