Selasa, 25 Oktober 2011

Pengangkatan Advokat di Jepang



Ada bagian yang menarik (menurut saya) dari buku yang berjudul ‘Dasar-dasar Profesi Advokat’ karya V. Harlen Sinaga, S.H., M.H., (seorang advokat senior di Jakarta) yang saya baca beberapa hari lalu. Karena menurut saya menarik, maka saya akan bagikan kepada siapa saja yang membaca blog ini, semoga bermanfaat.

Pemaparan sistem pengangkatan pengacara di Jepang ini tidak dimaksudkan untuk mengagung-agungkan sistem keadvokatan di negeri tersebut. Hal ini dimaksudkan hanya sekadar perbandingan untuk melihat dan meneliti serta mengambil elemen penting sebagai pelajaran dan menentukan kebijakan dalam melakukan pengangkatan advokat di Indonesia pada hari mendatang.

1. Tahap Ujian

Setelah mahasiswa lulus dari universitas, dengan pembidangan utama (major) di bidang hukum, yang bersangkutan dapat memasuki profesi hukum (legal profession) sebagai advokat (private attorney), jaksa (public prosecutor), atau hakim (judge), yang dimulai dengan proses judicial examination (ujian hukum) atau National Bar Examination yang diselenggarakan secara nasional. National Bar Examination diselenggarakan dalam 2 (dua) tahap yaitu First Examination (Ujian Pertama) dan Second Examination (Ujian Kedua).

a. First Examination (Ujian Pertama)

Pada tahap ini, bahan yang diujikan adalah materi general education (pendidikan umum/kebudayaan). Bagi mereka yang telah memperoleh gelar di bidang kebudayaan dari universitas, materi ini tidak perlu diujikan lagi sehingga mereka dapat langsung menempuh ujian kedua.

b. Second Examination (Ujian Kedua)

Ujian kedua ini dibagi dalam beberapa tahap:

1) Multiple choice exam

Pada tahap ini, bahan yang diujikan adalah teori hukum yang meliputi Constitution (Undang-Undang Dasar), Civil Code (KUHPerdata) dan Penal Code (KUHPidana).

2) Essay exam

Pada tahap ini, bahan yang diujikan adalah teori hukum yang meliputi Constitution (Undang-Undang Dasar), Civil Code (KUHPerdata), Penal Code (KUHPidana), Civil Procedure (Hukum Acara Perdata), Criminal Procedure (Hukum Acara Pidana) dan Commercial Code (Hukum Dagang).

3) Oral exam

Pada tahap ini, bahan yang diujikan adalah teori hukum yang meliputi Constitution (Undang-Undang Dasar), Civil Code (KUHPerdata), Penal Code (KUHPidana), Civil Procedure (Hukum Acara Perdata) dan Criminal Procedure (Hukum Acara Pidana).

Dengan tahapan tersebut dapat diperkirakan bahwa memasuki profesi hukum di Jepang merupakan suatu pekerjaan yang sangat sulit karena tahapan-tahapan ujian tersebut hanya dapat ditempuh apabila seseorang telah lulus dalam materi ujian sebelumnya. Secara konkret, Second Examination tidak mungkin diikuti peserta apabila dia tidak lulus dalam First Examination. Demikian juga Essay exam tidak mungkin ditempuh apabila seseorang tidak lulus Multiple choice exam.

Sebagai informasi, pada tahun 2002, dari 41.500 calon profesional hukum, hanya 6.500 yang lulus dalam multiple choice exam. Dari jumlah itu, hanya 1.240 calon lulus dalam essay exam dan akhirnya hanya 1.183 peserta lulus dalam oral exam. Bahkan, menurut Japan Federation of Bar Association, jumlah peserta tahun 2002 mencapai 45.622 peserta dan peserta yang lulus hanya berjumlah 1.183 orang. Lebih lanjut, pada tahun 2003, dari 45.372 peserta, hanya 1.203 orang yang lulus dalam profesi hukum. Dengan demikian rata-rata yang lulus menjadi profesional hukum tidak sampai 3 % (tiga persen). Karena itu tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa memasuki profesi hukum merupakan salah satu ujian yang paling sulit di Jepang.

2. Tahap Pemagangan

Apabila National Bar Examination atau Judicial Examination di atas telah dilalui, calon profesional hukum mempunyai status sebagai judicial/legal apprentice yang akan memasuki masa pemagangan atau pelatihan.

Satu tahap yang harus dilalui oleh judicial/legal apprentice untuk dapat memilih apakah dia akan menjadi advokat (private attorney), jaksa (public prosecutor) atau hakim (judge) adalah mengikuti pemagangan dan pelatihan yang dikelola dan diselenggarakan oleh The Legal Training and Research Institute yang berada di bawah Mahkamah Agung (Supreme Court). Tujuan utama pemagangan ini adalah untuk mendapat budaya, kehormatan dan kapasitas sebagai profesional hukum dan untuk mengakui misi profesi hukum.

The Legal Training and Research Institute mempersiapkan dan menyelenggarakan pemagangan yang berlangsung kurang lebih satu setengah tahun, yang dibagi dalam beberapa tahap, yaitu Initial Training, Field Training, Final Training dan Final Qualifying Examination.

a. Initial Training

Tujuan initial training adalah untuk mendapatkan pengetahuan tentang prinsip-prinsip dasar dan keahlian di bidang hukum dengan mempelajari civil litigation (litigasi perdata), criminal litigation (litigasi pidana), prosecution (penuntutan), civil advocacy (advokasi perdata), criminal defense (pembelaan pidana). Seorang judicial/legal apprentice pada tahap ini mempelajari antara lain:

1) Cara untuk menemukan fakta-fakta penting (to short out significant facts);

2) Cara untuk menemukan fakta dalam suatu bukti (to find fact on evidence);

3) Cara untuk beracara (to carry out procedure);

4) Cara untuk menginterogasi saksi (to interrogate witness).

Materi diberikan oleh pengajar dari lembaga tersebut ataupun dari praktisi, hakim, jaksa, pengacara dan dosen. Karena itu judicial/legal apprentice akan mempunyai pengetahuan yang cukup tentang bidang-bidang tersebut sehingga mereka dapat melihat sesuatu masalah yang timbul dari berbagai segi. Seluruh materi wajib diikuti oleh judicial/legal apprentice sehingga pada akhir masa pemagangan mereka dapat memilih bidang mana yang peling cocok banginya.

Sebagai tambahan, kode etik juga diberikan. Namun, materi tentang kode etik dan sejarah kepengacaraan tidak meninjok kalau dibandingkan dengan pendidikan advokat di Indonesia. Alasannya sangat sulit diperoleh, namun kalau dilihat dari sudut perkambangan Lawyers Law of Japan yang telah ada sejak tahun 1949 dan telah diamandemen sebanyak 22 kali, sementara Indonesia baru mempunyai Undang-Undang Advokat pada tahun 2003, barangkali kode etik dan sejarah kepengacaraan bagi dunia hukum Jepang tidak perlu lagi mendapat perhatian serius.

b. Field Training

Tujuan field training adalah agar seorang judicial/legal apprentice terbiasa dengan hal yang praktis. Dalam pelatihan ini, bidang yang dipelajari adalah civil litigation (litigasi perdata), criminal litigation (litigasi pidana), prosecution (penuntutan), civil advocacy (advokasi perdata). Field training ini berlangsung 12 bulan dan inilah periode yang paling lama. Judicial/legal apprentice mempelajari bidang-bidang tersebut secara bergilir yang lamanya masing-masing 3 bulan.

Sewaktu mempelajari materi civil litigation dan criminal litigation, seorang judicial/legal apprentice ditugaskan di distric court (semacam pengadilan negeri). Dengan demikian, seorang judicial/legal apprentice dibimbing oleh hakim pengadilan tersebut. Ketika acara persidangan berlangsung, judicial/legal apprentice duduk dekat majelis hakim sehingga dia dapat menyimak dan mempelajari secara seksama hal-hal yang berkaitan dengan proses pengadilan.

Dalam materi yang berkaitan dengan prosecution (penuntutan), judicial/legal apprentice bertugas di kejaksaan dan dibimbing oleh jaksa. Demikian juga dalam materi yang berkaitan civil advocacy (advokasi perdata), judicial/legal apprentice ditempatkan di firma hukum yang dekat dengan pengadilan.

c. Final Training

Seluruh judicial/legal apprentice berkumpul kembali di The Legal Training and Research Institute dan dalam tahap ini dilakukan pengkajian dan penyelesaian dari pemagangan secara keseluruhan (overall review and finalization of the training).

d. Final Qualifying Examination

Pada tahap ini, Supreme Court melakukan tes tertulis dan lisan, jika lulus, seorang judicial/legal apprentice dapat memilih untuk menjadi assistant judge, public prosecutor atau practicing attorney.

*) dikutip dari buku Dasar-dasar Profesi Advokat, V. Harlen Sinaga, S.H., M.H., Penerbit Erlangga, 2011, Hal. 72-75.

Minggu, 23 Oktober 2011

Kaedah Hukum (dalam arti sempit) #3


Kaedah Hukum adalah Peraturan hukum (hidup) tentang bagaimana kita seyogyanya/semestinya berperilaku agar kepentinag-kepentingan kita dan kepentingan-kepentingan orang lain terlindungi.

Dalam arti sempit:

- Nilai yang terdapat dalam Peraturan Konkrit

- Nilai yang bersifat lebih konkrit daripada Azas Hukum

- Nilai dalam kaedah ini berkaitan dengan baik dan buruk.

Fungsinya adalah untuk melindungi kepentingan manusia atau kelompok manusia.

Menurut van Apeldoorn, tujuan dari Kaedah Hukum adalah mengatur pergaulan hidup secara damai, yaitu ketertiban masyarakat, artinya keseimbangan atau stabilitas masyarakat, karena tatanan masyarakat yang seimnbang akan membawa kesejahteraan.

Pada umumnya, kaedah hukum berubah mengikuti perkembangan peraturan konkrit, namun demikian ada kaedah atau nilai yang berubah sementara peraturan konkritnya tidak berubah.

Contoh:

Nilai yang terkandung pada Pasal 1365 BW (perbuatan melawan hukum.

Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu mengganti kerugian karena kesalahannya untuk mengganti kerugian tersebut”.

Sebelum tahun 1919, pasal tersebut diartikan sempit, namun setelah tahun 1919 diartikan luas (ruang lingkupnya), namun redaksi pasal ini tidak berubah sampai saat ini.

Dalam masyarakat, terlebih dahulu terbentuk tatanan kaedah lain sebelum kaedah hukum, yaitu:

- Kaedah Agama dan Kaedah Kesusilaan: tatanan kaedah yang mempunyai aspek kepentingan pribadi.

- Kaedah Sopan Santun dan Kaedah Hukum: tatanan kaedah yang mempunyai aspek kepentingan bersama.

Dari segi historis-teoritis yaitu secara kronologis-teoritis, urutannya adalah kaedah agama, kaedah kesusilaan, kaedah sopan satun, kemudian kaedah hukum.

Pertanyaan yang timbul kemudian adalah, mengapa setelah mempunyai 3 kaedah yang pertama (kaedah agama, kaedah kesusilaan dan kaedah sopan satun) masih kita masih membutuhkan kaedah hukum?. Jawabannya sederhana, banyak kepentingan-kepentingan manusia yang belum terlindungi oleh kaedah-kaedah tersebut. Kaedah agama belum cukup melindungi kepentingan manusia, begitu juga dengan kaedah kesusilaan dan kaedah sopan santun, tidak seperti kaedah hukum yang mempunyai daya paksa.

Menurut van Apeldoorn, kaedah hukum tidak dapat menjadi obyek ilmu, sebab kaedah hukum adalah pendapat (oordelen) tentang apa yang seharusnya dan apa yang tidak seharusnya dilakukan, yaitu:

- Pernyataan pendapat yang memberi nilai;

- Bukan pernyataan pendapat yang mencatat dan menerangkan, seperti yang terdapat dalam ilmu pengetahuan.

*) Materi Kuliah Teori Hukum pada Magister Hukum UGM yang disajikan oleh Prof. Dr. RM. Sudikno Mertokusumo, SH.

Kaedah Hukum (dalam arti luas) #2


Azas Hukum (Landasan, Fungsi dan Azas Hukum Universal)

Landasan Azas Hukum

Nieuwenhuis mengemukakan bahwa landasan azas hukum terbagi menjadi 2 (dua), yaitu Landasan Riil dan Landasan Ideal.

1. Landasan Riil : Azas hukum itu berakar dalam kenyataan masyarakat.

2. Landasan Ideal : Azas hukum itu berakar pada nilai-nilai yang dipilih sebagai pedoman

oleh kehidupan bersama.

Fungsi Azas Hukum

Fungsi azas hukum pada umumnya adalah penyatuan antara Faktor Riil dan Faktor Ideal. Fungsi azas hukum menurut Klanderman dapat dibagi menjadi 2 (dua) bagian, yaitu fungsi azas hukum dalam hukum dan fungsi azas hukum dalam ilmu hukum.

1. Fungsi azas hukum dalam hukum:

a. Melengkapi seitem hukum, artinya membuat sitem hukum menjadi lebih luwes (fleksibel), dimana azas hukum memberi peluang akan adanya penyimpangan-penyimpangan sehingga sistem hukum tidak kaku.

b. Mempermudah dengan memberi ikhtisar.

c. Bersifat mengesahkan atau memperkuat dan mempunyai pengaruh yang normatif dan mengikat para pihak.

2. Fungsi azas hukum dalam ilmu hukum:

Bersifat mengatur dan eksplikatif (menjelaskan).

Azas Hukum Universal

Menurut Scholten, ada beberapa azas hukum yang bersifat universal yang berlaku kapan saja dan dimana saja, tidak terpengaruh waktu dan tempat (perubahannya hanya sedikit kadarnya), yaitu:

1. Azas Individualisme (Kepribadian)

Setiap manusia bersifat individualistis, melekat pada setiap manusia dan bukan hal yang jelek. Setiap manusia ingin hidup bebas, ingin egonya diakui. Individualisme merupakan sebagian cita-cita manusia, ingin hidup sendiri, tidak ingin orang lain mencampurinya.

Azas individualisme ini sudah ada sejak Code Civil, hanya kadarnya yang berubah. Di negara sosialis sekalipun terdapat azas individualisme, namun kadarnya bebrbeda dengan negara liberal.

2. Azas Persekutuan (Kolektivisme)

Manusia ingin hidup berkelompok, bermasyarakat dan bekerja sama. Hal ini bertentangan dengan azas individualisme, namun keduanya berkaitan erat walaupun saling bertentangan (Antinomi).

Contoh:

Manusia bersifat individualistis namun ingin hidup berkelompok.

3. Azas Kesamaan

Setiap orang minta diperlakukan sama dalam pengertian bukan penyama-rataan. Kesamaan terdapat dalam azas ‘audi at alteram patem’ (kedua belah pihak didengar bersama-sama) atau ‘suum cuique tribuere’ atau ‘to each his own’ atau ‘equality before the law’.

4. Azas Kewibawaan

Dalam masyarakat diharapkan adanya seseorang yang menonjol dari manusia lain dalam arti mempunyai kelebihan dari anggota masyarakat lainnya, sehingga dapat memimpin. Apabila tidak ada pemimpin maka akan terjadi kekacauan dan manusia tidak menginginkan ini. Stabilitas (kepastian hukum, tatanan masyarakat yang seimbang) merupakan idaman masyarakat yang dituangkan dalam Azas Restitutio in Integrum atau pengembalian pada keadaan semula (tatanan yang tertib).

5. Azas Penilaian Baik dan Buruk

Setiap orang pada dirinya masing-masing mempunyai kemampuan, kecenderungan untuk menilai sesuatu baik dan buruk. Kesemua ini melekat pada ke-4 azas umum yang tersebut diatas, sehingga ada perbedaan mengenai kadar dari masing-masing azas tersebut.

*) Materi Kuliah Teori Hukum pada Magister Hukum UGM yang disajikan oleh Prof. Dr. RM. Sudikno Mertokusumo, SH.