Sabtu, 16 Juli 2011

KAEDAH HUKUM (dalam arti luas) #1



Azas Hukum (Pengertian dan Ciri-ciri / Sifat)*

1. Pengertian Azas Hukum

Terdapat beberapa pengertian azas hukum yang disampaikan oleh para ahli hukum, berikut beberapa pendapat ahli hukum yang menjadi referensi penulis:

a. Bellefroid: Azas hukum umum adalah norma dasar yang dijabarkan dari hukum positif dan yang oleh ilmu hukum tidak dianggap berasal dari aturan-aturan yang lebih umum. Merupakan pengendapan dari hukum positif dalam suatu masyarakat.

b. Van Eikema Hommes: Azas hukum ialah dasar-dasar atau petunjuk arah dalam pembentukan hukum positif. Asas hukum tidak boleh dianggap sebagai norma-norma hukum yang konkrit, akan tetapi perlu dipandang sebagai dasar-dasar umum tau petunjuk-petunjuk bagi hukum yang berlaku. Pembentukan hukum praktis perlu mengacu pada azas-azas hukum tersebut.

c. Van der Valden: Azas hukum adalah tipe putusan tertentu yang dapat digunakan sebagai tolok ukur untuk menilai situasi atau digunakan sebagai pedoman berperilaku. Didasarkan atas satu nilai atau lebih yang menentukan situasi yang bernilai yang harus direalisasikan.

d. Scholten: Azas hukum adalah kecenderungan-kecenderungan yang disyaratkan oleh pandangan kesusilaan kita pada hukum, merupakan sifat-sifat umum dengan segala keterbatasannya sebagai pembawaan yang umum, tetapi yang tidak boleh tidak harus ada (mutlak).

e. Sudikno Mertokusumo: Azas hukum adalah pikiran dasar yang terdapat didalam peraturan hukum konkrit. Bukan merupakan hukum konkrit, melainkan merupakan pikiran dasar yang umum dan abstrak. Terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif.

2. Ciri-ciri/Sifat-sifat Azas Hukum

Terdapat 7 (tujuh) Ciri-ciri/Sifat-sifat Azas Hukum, dijabarkan sebagai berikut:

a. Umum

Tidak hanya berlaku pada suatu peristiwa khusus saja, namun berlaku umum. Contoh: Kebebasan berkontrak.

b. Abstrak

Pada umumnya tidak dituangkan dalam peraturan atau pasal yang konkrit.

Contoh:

- Setiap orang dianggap tahu akan Undang-undang.

- Dalam hal keragu-raguan harus memutuskan sedemikian sehingga menguntungkan terdakwa (in dubio pro reo), di bidang hukum pidana.

- Apa yang diputus hakim harus dianggap benar (res judicata pro veritate hebitur).

c. Fleksibel (karena umum)

Memberikan peluang penyimpangan atau pengecualian. Adanya penyimpangan atau pengecualian tersebut justru memperkokoh eksistensi peraturan umum tersebut, karena pada dasarnya peraturan yang baik memberikan peluang untuk pengecualian, sehingga tidak kaku.

Contoh kasus:

Kita mengenal azas lex superior derogat legi inferiori (peraturan yang lebih tinggi mengalahkan peraturan yang lebih rendah). Di dalam Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1990 (Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Tentang Izin Perkawinan Dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil) ada ketentuan yang bertentangan dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, tetapi ternyata dalam praktek ternyata Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dikalahkan oleh Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1990. Dalam kasus ini, kepastian hukum harus mengalah terhadap kepentingan yang lebih luhur yaitu menghormati martabat wanita. Dalam kehidupan sehari-hari, tidak jarang terjadi konflik antara kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan. Konflik ini dikenal sebagai Antinomi. Antinomi yang lahir dari sebuah pertentangan klasik cara berpikir Immanuel Kant yang dituliskan dalam Critique of Pure Reason, tentang pertentangan fundamental antara akal dan alam.

d. Tidak mengenal hierarkhi/kewerdaan

Apabila terjadi konflik tidak berpengaruh apa-apa, azas-azas hukum yang saling bertentangan itu tetap eksis (tidak ada azas yang meniadakan azas lain).

Contoh: Azas Kebebasan Berkontrak vs. Pacta Sunt Servanda (Perjanjian yang sudah disepakati oleh para pihak, berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang menyelenggarakan).

e. Merupakan sebagian cita-cita manusia

Setiap orang mempunyai kepentingan yang selalu terancam. Dengan demikian orang menginginkan kepentingannya terlindungi, sehingga dibutuhkan peraturan hukum yang melindungi kepentingan tersebut.

Contoh:

- Setiap orang dianggap tahu akan undang-undang. Cita-citanya dengan mengetahui hukum orang tidak akan berbuat hal-hal yang dapat mengancam kepentingan orang lain.

- Dalam hal keragu-raguan hakim harus memutuskan sedemikian rupa sehingga menguntungkan terdakwa. Cita-citanya lebih baik membebaskan orang yang bersalah dari pada menghukum orang yang tidak bersalah.

f. Prasangkaan/Praduga (presumption)

Sebagai cita-cita dari manusia, azas tidak merupakan suatu kenyataan, maka azas sekaligus merupakan persangkaan-persangkaan (presumption), sehingga dalam hukum banyak dijumpai persangkaan.

Contoh:

- Setiap orang dianggap tahu undang-undang

- Putusan hakim selalu dianggap benar

Walaupun merupakan persangkaan-persangkaan tidak berarti azas tidak mempunyai fungsi penting.

g. Dinamis

Berkembang dalam waktu dan tempat secara berkelanjutan (terpengaruh waktu dan tempat : historisch bestimmt)

Beberapa catatan mengenai azas hukum:

1. Azas hukum sebagai pikiran dasar peraturan konkrit, pada umumnya:

- Bukan tersurat melainkan tersirat dalam kaedah peraturan hukum konkrit (hanya dapat dirasakan/disimpulkan).

- Tidak dapat diterapkan secara langsung pada peristiwa konkrit.

2. Dalam perkembangan selanjutnya banyak azas-azas yang yang dituangkan dalam bentuk peraturan konkrit atau pasal agar ditaati, contoh:

- Sebuah perbuatan tidak bisa dipidana sebelum ada aturan yang mengaturnya - Nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali (Pasal 1 ayat 1 KUHP).

- Praduga tak bersalah - Presumption of innocence (Pasal 8 Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman).

3. Azas hukum dituangkan dalam pasal (hukum positif), sebab didorong oleh adanya keinginan untuk memciptakan kepastian hukum. Azas hukum apabila tidak dituangkan dalam pasal tidak tampak, kemudian dituangkan dalam pasal sehingga ada kepastian hukum (konkritisasi azas hukum).

4. Sebagai azas hukum yang bersifat abstrak, sekalipun telah dituangkan dalam bentuk peraturan konkrit, tidak dapat secara langsung dapat diterapkan pada peristiwa konkrit, karena fungsi azas tetap sebagai pikiran dasar atau landasan dalam peraturan konkrit.

5. Azas hukum pada umumnya merupakan suatu prasangkaan (presumption), yang tidak menggambarkan suatu kenyataan, tetapi sesuatu yang ideal atau harapan.

6. Azas hukum tidak hanya mempengaruhi hukum positif, tetapi juga menciptakan suatu sistem. Suatu sistem yang tidak akan ada tanpa azas itu.

Contoh:

Pengakuan Azas Legitimasi (siapa yang mendasarkan kepada keadaan semu yang memberi ‘bezit’, wajib dilindungi) menciptakan antara Pasal 1977 KUH Perdata disatu pihak dan Pasal 584 dan 612 KUH Perdata di pihak lain, suatu sistem yang sebelumnya tidak ada.

7. Azas hukum itu membentuk sistem tentang ‘checks and balances’. Bahwa azas hukum sering menunjuk kepada kaedah yang berlawanan itu merupakan suatu anugerah, karena menunjuk pada arah yang berlawanan maka saling mengendalikan atau membatasi dan dengan demikian ada dalam keseimbangan.

*) Materi Kuliah Teori Hukum pada Magister Hukum UGM yang disajikan oleh Prof. Dr. RM. Sudikno Mertokusumo, SH.

Jumat, 15 Juli 2011

The Power Of Solving Legal Problem


Hakekat yang dituntut dari seorang sarjana hukum yang bekerja pada profesi hukum adalah untuk menguasai the power of solving legal problem. Ada 3 (tiga) keterampilan yang harus dimiliki agar dapat menguasai the power of solving legal problem:

1. Legal Problem Identification (merumuskan masalah-masalah hukum). Dalam masyarakat terdapat banyak sekali masalah, baik itu masalah sosial atau lainnya, untuk dapat merumuskan suatu masalah sosial tidaklah mudah karena batas antara masalah sosial yang satu dengan yang lainnya tidaklah tajam, maka seorang sarjana hukum dituntut untuk dapat merumuskan masalah-masalah tersebut untuk menemukan pokok permasalahannya.

2. Legal Problem Solving (memecahkan masalah-masalah hukum). Seorang sarjana hukum harus memiliki kemampuan untuk memilah hukumnya termasuk dalam hukum yang mana (ranah hukum apa). Contoh: dalam Hukum Pidana dikenal ‘perbuatan melanggar hukum’ (wederrechttelijk), sedangkan dalam Hukum Perdata dikenal ‘perbuatan melawan hukum’ (onrechmatig). Apabila salah menentukan ranah hukum maka penyelesaian dari permasalahan yang timbul tidak akan memuaskan dan sulit untuk dipecahkan.

3. Decision Making (mengambil/membuat keputusan). Apabila 2 (dua) keterampilan diatas telah dikuasai, maka selanjutnya tinggal mencari dan menyusun dasar hukum yang akan digunakan untuk menyelesaikan hukum yang timbul.