Jumat, 26 November 2010

RAHASIA DAGANG


Rahasia Dagang di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang. Rahasia dagang adalah informasi yang tidak diketahui oleh umum di bidang teknologi dan/atau bisnis dimana mempunyai nilai ekonomis karena berguna dalam kegiatan usaha, dan dijaga kerahasiaannya oleh pemilik rahasia dagang. Perlindungan rahasia dagang berlangsung otomatis dan masa perlindungan tanpa batas.

Lingkup perlindungan rahasia dagang meliputi metode produksi, metode pengolahan, metode penjualan, atau informasi lain di bidang teknologi dan/atau bisnis yang memiliki nilai ekonomi dan tidak diketahui oleh masyarakat umum.

Rahasia dagang mendapat perlindungan apabila informasi itu:

1. Bersifat rahasia hanya diketahui oleh pihak tertentu bukan secara umum oleh masyarakat,

2. Memiliki nilai ekonomi apabila dapat digunakan untuk menjalankan kegiatan atau usaha yg bersifat komersial atau dapat meningkatkan keuntungan ekonomi,

3. Dijaga kerahasiaannya apabila pemilik atau para pihak yang menguasainya telah melakukan langkah-langkah yang layak dan patut.

Pemilik rahasia dagang dapat memberikan lisensi bagi pihak lain. Yang dimaksud dengan lisensi adalah izin yang diberikan kepada pihak lain melalui suatu perjanjian berdasarkan pada pemberian hak (bukan pengalihan hak) untuk menikmati manfaat ekonomi dari suatu rahasia dagang yang diberikan perlindungan pada jangka waktu tertentu dan syarat tertentu.

Tidak dianggap sebagai pelanggaran rahasia dagang apabila:

1. Mengungkap untuk kepentingan hankam, kesehatan, atau keselamatan masyarakat,

2. Rekayasa ulang atas produk yang dihasilkan oleh penggunaan rahasia dagan milik orang lain yang dilakukan semata-mata untuk kepentingan pengembangan lebih lanjut produk yang bersangkutan.

Sabtu, 20 November 2010

Hukum adalah produk kebudayaan...???


Banyak sekali pakar hukum yang mendefinisikan apa itu hukum dan bagaimana kemudian hukum itu terbentuk. Prof. Dr. Mahfud MD, SH, dalam desertasinya mengatakan bahwa "hukum adalah produk politik". Sederhananya adalah karena hukum itu dibentuk oleh supra struktur politik. Kemudian Prof. Dr. Sugeng Istanto, SH, yang mengacu pada pendapat belafroid, mengatakan bahwa "hukum terbentuk dari berbagai unsur yaitu masyarakat, ekonomi, sosial, budaya dan politik". Artinya politik hanya merupakan salah satu unsur pembentuknya saja.

Namun bagaimana dengan Pendapat dibawah ini:

...Kita harus menyadari bahwa setelah mengetahui kesadaran hukum masyarakat dewasa ini, yang menjadi tujuan kita pada hakekatnya bukanlah semata-mata sekedar meningkatkan kesadaran hukum masyarakat saja, tetapi membina kesadaran hukum masyarakat. Kesadaran hukum erat hubungannya dengan hukum, sedang hukum adalah produk kebudayaan. Kebudayaan merupakan suatu ”blueprint of behaviour” yang memberikan pedoman-pedoman tentang apa yang harus dilakukan boleh dilakukan dan apa yang dilarang. Dengan demikian maka kebudayaan mencakup suatu sistem tujuan-tujuan dan nilai-nilai. Hukum merupakan pencerminan nilai-nilai yang terdapat di dalam masyarakat. Menanamkan kesadaran hukum berarti menanamkan nilai-nilai kebudayaan. Dan nilai-nilai kebudayaan dapat dicapai dengan pendidikan. Oleh karena itu setelah mengetahui kemungkinan sebab-sebab merosotnya kesadaran hukum masyarakat usaha peningkatan dan pembinaan yang utama, efektif dan efisien ialah dengan pendidikan.

(dikutip dari: MENINGKATKAN KESADARAN HUKUM MASYARAKAT, Oleh: Prof. Dr. RM. Sudikno Mertokusumo, SH)

KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA #2 (Syarat Sah, Batal, Hapus, Kekuatan Hukum serta Metode Pembentukan)


Dalam kehidupan sehari-hari kita sering mendengar istilah Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) atau dalam bahasa Belanda disebut dengan Beschikking. Keputusan ini, adalah suatu produk hukum yang dibuat oleh seorang Pejabat Tata Usaha Negara yang bertujuan untuk semaksimal mungkin menciptakan keteraturan hidup dalam bermasyarakat.

Masyarakat sebagai obyek dari suatu Keputusan Tata Usaha Negara tentulah harus memahami betul peraturan-peraturan apa yang mengatur hidupnya sehari-hari. Namun kenyataannya banyak sekali masyarakat kita yang masih belum memahami apa itu Keputusan Tata Usaha Negara dan syarat-syarat sahnya, kapan dan dalam hal apa suatu keputusan tersebut dinyatakan tidak berlaku lagi serta keputusan apa yang ideal dan dapat mengakomodir keinginan seluruh masyarakat dan diwujudkan dalam suatu produk hukum tertulis.

Permasalahan lain yang terjadi adalah, Pejabat Tata Usaha Negara yang membuat suatu produk hukum, kurang memahami hal-hal apa saja yang menjadi keinginan masyarakat untuk dijadikan suatu produk hukum. Hal ini mengakibatkan produk hukum yang dibuat oleh Pejabat Tata Usaha Negara tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya oleh masyarakat.

Lalu bagaimanakah KTUN yang berkualitas, apa yang menjadi syarat sah, bagaimana dapat dinyatakan batal, kapan hapusnya dan bagaimana kekuatan hukumnya.

Syarat Sah, Batal dan Hapusnya Sebuah Keputusan Tata Usaha Negara

1. Syarat sah Keputusan Tata Usaha Negara.

Suatu Keputusan Tata Usaha Negara (beschikking) dapat dikatakan sah apabila memenuhi 2 (dua) syarat. Syarat-syarat sahnya suatu Keputusan Tata Usaha Negara tersebut menurut Prof. Muchsan adalah:

a. Syarat materiil, yaitu syarat yang berkaitan dengan isi. Syarat materiil dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu:

1) Harus dibuat oleh aparat yang berwenang;

2) Keputusan Tata Usaha Negara tidak mengalami kekurangan yuridis;

Suatu produk hukum dikatakan mengalami kekurangan yuridis apabila didalam pembuatannya terdapat unsur:

a) Adanya paksaan.

Paksaan terjadi apabila adanya perbedaan antara kenyataan dengan kehendak, sebagai akibat dari adanya unsur eksternal.

b) Adanya kekhilafan.

Kekhilafan terjadi apabila adanya perbedaan antara kenyataan dengan kehendak, tetapi tanpa adanya unsur kesengajaan.

c) Adanya penipuan.

Penipuan terjadi apabila adanya perbedaan antara kenyataan dengan kehendak, sebagai akibat dari tipu muslihat.

3) Tujuan ketetapan sama dengan tujuan yang mendasarinya.

b. Syarat formil, yaitu syarat yang berkaitan dengan bentuk. Syarat formil dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu:

1) Bentuk ketetapan harus sama dengan bentuk yang dikehendaki oleh peraturan yang mendasarinya.

2) Prosedur harus sama dengan bentuk yang diatur dalam peraturan yang mendasarinya.

3) Syarat khusus yang dikehendaki oleh peraturan dasar harus tercermin dalam keputusan.

2. Batalnya suatu Keputusan Tata Usaha Negara

Apabila suatu Keputusan Tata Usaha Negara (beschikking) tidak memenuhi persyaratan diatas dapat dinyatakan batal. Batal menurut Prof. Muchsan ada 3 (tiga), yaitu:

a. Batal mutlak.

Batal mutlak adalah semua perbuatan yang pernah dilakukan dianggap belum pernah ada. Aparat yang berhak menyatakan adalah hakim melalui putusannya.

b. Batal demi Hukum.

Terdapat 2 (dua) alternatif batal demi hukum, yaitu:

1) Semua perbuatan yang pernah dilakukan dianggap belum pernah ada.

2) Sebagian perbuatan dianggap sah, yang batal hanya sebagiannya saja. Aparat yang berhak menyatakan adalah yudikatif dan eksekutif.

c. Dapat dibatalkan.

Dapat dibatalkan adalah semua perbuatan yang dilakukan dianggap sah, pembatalan berlaku semenjak dinyatakan batal. Aparat yang berhak menyatakan adalah umum (eksekutif, legislatif dan lain-lain).

Menurut teori functionare de faite, suatu Keputusan Tata Usaha Negara tetap dianggap berlaku walaupun tidak memenuhi syarat diatas (formil dan materiil), apabila memenuhi 2 (dua) syarat yang bersifat komulatif, yaitu:

a. Tidak absahnya keputusan itu karena kabur, terutama bagi penerima keputusan.

b. Akibat dari keputusan itu berguna bagi kepentingan masyarakat.

3. Hapusnya Suatu Keputusan Tata Usaha Negara

Suatu keputusan Tata Usaha Negara dapat dinyatakan hapus jika memenuhi unsur-unsur dibawah ini:

a. Apabila sudah habis masa berlakunya;

b. Dicabut atau dinyatakan tidak berlaku oleh aparat yang berwenang (yudikatif, eksekutif dan legislatif);

c. Apabila dikeluarkan suatu Keputusan Tata Usaha Negara baru yang substansinya sama dengan Keputusan Tata Usaha Negara yang lama;

d. Apabila peristiwa hukum yang menjadi motifasi lahirnya keputusan tersebut sudah tidak relevan lagi. Hal ini didasarkan pada pendapat Van poe lie dalam teori rebus sic stantibus yang menyatakan bahwa setiap peristiwa hukum terjadi karena adanya motifasi-motifasi tertentu.

Kekuatan Hukum Keputusan Tata Usaha Negara

Dari sisi kekuatan hukum yang dimilikinya, Keputusan Tata Usaha Negara dapat digolongkan menjadi 2 (dua), yaitu:

1. Keputusan Tata Usaha Negara yang memiliki kekuatan hukum yang kekal dan abadi (mutlak).

Hal ini berarti apabila telah dikeluarkan suatu Keputusan Tata Usaha Negara, maka kekuatan hukumnya tetap berlaku terus. Tetapi ada juga yang bersifat relatif, yaitu Keputusan Tata Usaha Negara yang digunakan hanya sekali dalam satu tahap tertentu saja, misalnya Ijin Mendirikan Bangunan (IMB).

2. Keputusan Tata Usaha Negara yang memiliki kekuatan hukum sementara.

Keputusan Tata Usaha Negara ini tegas menunjukan tenggang waktu dari keputusan tersebut, misalnya Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau Surat Izin Mengemudi (SIM).

Ada juga Keputusan Tata Usaha Negara yang jangka waktunya sementara tetapi samar-samar misalnya Surat Keterangan (SK) Pengangkatan Pegawai. Keputusan Tata Usaha Negara ini tidak ditentukan waktunya tetapi dapat dipercepat atau diperlambat berakhirnya.

Metode Yang Berkaitan Dengan Pembuatan Keputusan Tata Usaha Negara Yang Berkualitas

Dalam membuat suatu produk hukum atau Keputusan Tata Usaha Negara, ada beberapa metode yang perlu diperhatikan oleh pembuat keputusan, yaitu:

1. Materiele theorie oleh Leopold Pospisil dalam bukunya yang berjudul Anthropological of law. Teori ini memiliki 3 (tiga) kerangka berfikir, yaitu:

a. Produk hukum dalam suatu negara dapat dikembangkan menjadi 2 (dua) kelompok besar, yaitu:

1) Hukum yang dibuat oleh penguasa atau hukum tertulis (authoritarian law);

2) Hukum yang hidup dalam masyarakat atau hukum yang tidak tertulis (common law).

b. Dua kelompok hukum diatas memiliki kelebihan dan kekurangan, tetapi kelebihan dan kekurangan itu berbanding terbalik, seperti yang dibandingkan dibawah ini:

1) Kelebihan dari hukum yang dibuat oleh penguasa atau hukum tertulis (authoritarian law) adalah memiliki kepastian hukum dan daya paksa yang tinggi. Sedangkan kekurangannya adalah bersifat statis dan obyektifitas keadilannya sulit terwujud.

2) Kelebihan dari hukum yang hidup dalam masyarakat atau hukum yang tidak tertulis (common law) adalah bersifat dinamis dan obyektifitas keadilannya dapat terwujud. Sedangkan kekurangannya adalah memiliki kepastian hukum serta daya paksa yang rendah.

c. Dari teori ini dapat disimpulkan bahwa produk hukum yang baik adalah produk hukum yang materinya sebanyak mungkin diambil dari common law, tetapi wadahnya authoritarian law.

2. Formelle theorie oleh Rick Dikerson dalam bukunya Legal drafting theory. Teori ini menjelaskan bahwa suatu produk hukum yang baik harus memenuhi 3 (tiga) persyaratan, yaitu:

a. Tuntas mengatur permasalahannya;

b. Sedikit mungkin memuat delegatie van wetgeving;

c. Hindari memuat ketentuan yang bersifat elastis.

3. Filosofische thoerie oleh Jeremi Bantam dalam bukunya Legal theory. Teori ini menjelaskan bahwa suatu produk hukum yang baik harus memiliki 3 (tiga) sifat berlaku secara komulatif, yaitu:

a. Berlaku secara filosofis;

Produk hukum harus mencerminkan falsafah hidup bangsa Indonesia yaitu Pancasila.

b. Berlaku secara sosiologis;

Mencerminkan kesadaran hukum masyarakat.

c. Berlaku secara yuridis.

Hukum diibaratkan sebagai tombak yang memiliki dua ujung runcing, yaitu adil dan benar. Adil adalah keseimbangan antara hak dan kewajiban. Benar adalah kecocokan antara peraturan dan perbuatan. Apabila adil dan benar bertemu, maka disebut dengan damai.

Jika suatu keputusan atau produk hukum dibuat dengan mengacu pada salah satu metode pembuatan produk hukum diatas, maka pastilah keputusan atau produk hukum yang diciptakan dapat “meng-cover” segala kebutuhan masyarakat, sehingga tujuan untuk menciptakan masyarakat adil dan makmur dapat terwujud.

Pustaka

Bagir Manan, Good Governance hindarkan rakyat dari tindakan negara yang merugikan, http//:www.transparansi.com.

Philipus Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1997.

Iskatrinah, Pelaksanaan fungsi hukum administrasi Negara dalam mewujudkan pemerintahan yang baik, http//:www.dephan.go.id.

Muchsan, Bahan Kuliah Hukum Tata Usaha Negara, Magister Hukum UGM, Yogyakarta, 2008.

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA #1 (Pengertian dan Klasifikasi)


Pengertian Keputusan Tata Usaha Negara (beschikking)

Pengertian Keputusan Tata Usaha Negara (beschikking) menurut Guru Besar Hukum Tata Negara UGM, Prof. Muchsan adalah penetapan tertulis yang diproduksi oleh Pejabat Tata Usaha Negara, mendasarkan diri pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, bersifat konkrit, individual dan final. Jika kita melihat definisi tersebut, maka terdapat 4 (empat) unsur Keputusan Tata Usaha Negara, yaitu:

1. Penetapan tertulis;

2. Dibuat oleh Pejabat Tata Usaha Negara;

3. Mendasarkan diri kepada peraturan perundang-undangan;

4. Memiliki 3 (tiga) sifat tertentu (konkrit, individual dan final).

5. Akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata

Keputusan Tata Usaha Negara (beschikking), menurut Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, didefinisikan sebagai berikut:

“Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.”

Rumusan Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tersebut memiliki elemen-elemen utama sebagai berikut:

1. Penetapan tertulis;

Pengertian penetapan tertulis adalah cukup ada hitam diatas putih karena menurut penjelasan atas pasal tersebut dikatakan bahwa “form” tidak penting bahkan nota atau memo saja sudah memenuhi syarat sebagai penetapan tertulis.

2. (oleh) Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara;

Pengertian Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dirumuskan dalam Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, yang menyatakan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penjelasan atas Pasal 1 angka 1 menyatakan yang dimaksud dengan urusan pemerintahan adalah kegiatan yang bersifat eksekutif.

Jika kita mendasarkan pada definisi Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara diatas, maka aparat pemerintah dari tertinggi sampai dengan terendah mengemban 2 (dua) fungsi, yaitu:

a. Fungsi memerintah (bestuurs functie)

Kalau fungsi memerintah (bestuurs functie) tidak dilaksanakan, maka roda pemerintahan akan macet.

b. Fungsi pelayanan (vervolgens functie)

Fungsi pelayanan adalah fungsi penunjang, kalau tidak dilaksanakan maka akan sulit mensejahterakan masyarakat.

Dalam melaksanakan fungsinya, aparat pemerintah selain melaksanakan undang-undang juga dapat melaksanakan perbuatan-perbuatan lain yang tidak diatur dalam undang-undang. Mengenai hal ini Philipus M. Hadjon menerangkan bahwa pada dasarnya pemerintah tidak hanya melaksanakan undang-undang tetapi atas dasar fries ermessen dapat melakukan perbuatan-perbuatan lainnya meskipun belum diatur secara tegas dalam undang-undang. Selanjutnya Philipus M. Hadjon menambahkan bahwa di Belanda untuk keputusan terikat (gebonden beschikking) diukur dengan peraturan perundang-undangan (hukum tertulis), namun untuk keputusan bebas (vrije beschikking) dapat diukur dengan hukum tak tertulis yang dirumuskan sebagai “algemene beginselen van behoorlijk bestuur” (abbb). Pengertian Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara janganlah diartikan semata-mata secara struktural tetapi lebih ditekankan pada aspek fungsional.

3. Tindakan hukum Tata Usaha Negara;

Dasar bagi pemerintah untuk melakukan perbuatan hukum publik adalah adanya kewenangan yang berkaitan dengan suatu jabatan. Jabatan memperoleh wewenang melalui tiga sumber yakni atribusi, delegasi dan mandat akan melahirkan kewenangan (bevogdheit, legal power, competence). Dasar untuk melakukan perbuatan hukum privat ialah adanya kecakapan bertindak (bekwaamheid) dari subyek hukum (orang atau badan hukum). Pada uraian diatas yang dimaksud dengan atribusi adalah wewenag yang melekat pada suatu jabatan (Pasal 1 angka 6 Nomor 5 Tahun 1986 menyebutnya: wewenang yang ada pada badan atau pejabat tata usaha negara yang dilawankan dengan wewenang yang dilimpahkan). Delegasi adalah pemindahan/pengalihan suatu kewenangan yang ada, yang menurut Prof. Muchsan adalah pemindahan/pengalihan seluruh kewenangan dari delegans (pemberi delegasi) kepada delegataris (penerima delegasi) termasuk seluruh pertanggungjawabannya. Mengenai mandat Philipus M. Hadjon berpendapat bahwa dalam hal mandat tidak ada sama sekali pengakuan kewenangan atau pengalihtanganan kewenangan. Sedangkan Prof. Muchsan mendefinisikan mandat adalah pemindahan/pengalihan sebagian wewenang dari mandans (pemberi mandat) kepada mandataris (penerima mandat) sedangkan pertanggungjawaban masih berada ditangan mandans.

4. Konkret, individual dan Final;

Elemen konkrit, individual dan final barangkali tidak menjadi masalah (cukup jelas). Unsur final hendaknya dikaitkan dengan akibat hukum. Kriteria ini dapat digunakan untuk menelaah pakah tahap dalam suatu Keputusan Tata Usaha Negara berantai sudah mempunyai kwalitas Keputusan Tata Usaha Negara. Kwalitas itu ditentukan oleh ada-tidaknya akibat hukum.

5. Akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

Elemen terakhir yaitu menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata membawa konsekuensi bahwa penggugat haruslah seseorang atau badan hukum perdata. Badan atau pejabat tertentu tidak mungkin menjadi penggugat terhadap badan atau pejabat lainnya.

Klasifikasi Keputusan Tata Usaha Negara (Beschikking)

Para sarjana hukum menggunakan istilah yang berbeda-beda untuk mengartikan “beschikking”. E. Utrecht menyebutnya “ketetapan”, sedangkan Prajudi Atmosudirdjo menyebutnya “penetapan”. Pengelompokan istilah tersebut antara lain oleh: Van der Wel, E. Utrecht dan Prajudi Atmosudirdjo.

1. Van der Wel membedakan keputusan atas:

a. De rechtsvastellende beschikkingen;

b. De constitutieve beschikkingen yang terdiri atas:

1) Belastende beschikkingen (keputusan yang member beban);

2) Begunstigende beschikkingen (keputusan yang menguntungkan);

3) Statusverleningen (penetapan status).

c. De afwijzende beschikkingen (keputusan penolakan).

2. E. Utrecht membedakan ketetapan atas:

a. Ketetapan Positif dan Negatif

Ketetapan Positif menimbulkan hak dan kewajiban bagi yang dikenai ketetapan. Ketetapan Negatif tidak menimbulkan perubahan dalam keadaan hukum yang telah ada. Ketetapan Negatif dapat berbentuk: pernyataan tidak berkuasa (onbevoegd-verklaring), pernyataan tidak diterima (niet-ontvankelijk verklaring) atau suatu penolakan (awijzing).

b. Ketetapan Deklaratur dan Ketetapan Konstitutif

Ketetapan Deklaratur hanya menyatakan bahwa hukumnya demikian (recthtsvastellende beschikking) sedangkan Ketetapan Konstitutif adalah membuat hukum (rechtscheppend).

c. Ketapan Kilat dan Ketetapan Tetap (blijvend)

1) Menurut Prins, ada empat macam Ketetapan Kilat: ketetapan yang berubah mengubah redaksi (teks) ketetapan lama;

2) Suatu Ketetapan Negatif;

3) Penarikan atau pembatalan suatu ketetapan;

4) Suatu pernyataan pelaksanaan (uitverbaarverklaring);

5) Dispensasi, izin (vergunning), lisensi dan konsesi.

3. Prajudi Atmosudirjo, membedakan dua macam penetapan yaitu penetapan negatif (penolakan) dan penetapan positif (permintaan dikabulakan). Penetapan negatif hanya berlaku sekali saja, sehingga seketika permintaannya boleh diulangi lagi. Penetapan Positif terdiri atas lima golongan yaitu:

a. Yang menciptakan keadaan hukum baru pada umumnya;

b. Yang menciptakan keadaan hukum baru hanya terhadap suatu objek saja;

c. Yang membentuk atau membubarkan suatu badan hukum;

d. Yang memberikan beban (kewajiban);

e. Yang memberikan keuntungan.

Penetapan yang memberikan keuntungan adalah:

1) dispensasi, yaitu pernyataan dari pejabat administrasi yang berwenang, bahwa suatu ketentuan undang-undang tertentu memang tidak berlaku terhadap kasus yang diajukan seseorang di dalam surat permintaannya;

2) izin (vergunning), yaitu dispensasi dari suatu larangan;

3) lisensi, yaitu izin yang bersifat komersial dan mendatangkan laba;

4) konsesi, yaitu penetapan yang memungkinkan konsesionaris mendapat dispensasi, izin, lisensi, dan juga semacam wewenang pemerintahan yang memungkinkannya untuk memindahkan kampung, membuat jalan raya dan sebagainya. Oleh karena itu pemberian konsesi haruslah dengan kewaspadaan, kewicaksanan, dan perhitungan yang sematang-matangnya.