Rabu, 16 Januari 2013

MK: Penentuan Batas Usia Pensiun Hakim Kewenangan Pembentuk UU



UUD 1945 tidak menentukan batas usia untuk semua jabatan hakim. Penentuan batas usia hakim merupakan kebijakan hukum terbuka (opened legal policy), yang sewaktu-waktu dapat diubah oleh pembentuk undang-undang sesuai dengan tuntutan kebutuhan perkembangan yang ada dan sesuai dengan jenis dan spesifikasi serta kualifikasi jabatan tersebut.
Dengan demikian, Mahkamah dalam pengujian Undang-Undang (UU) No. 2/2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PHI), Pasal 67 ayat (1) huruf d menyatakan, penentuan batas usia sepenuhnya merupakan kewenangan pembentuk undang-undang. “Menyatakan menolak permohonan para Pemohon,” terang Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Moh. Mahfud MD saat membacakan putusan perkara Nomor 56/PUU-X/2012, Selasa (15/1), di Ruang Sidang Pleno MK.
Lebih dari itu, Mahkamah dalam pendapatnya juga mengakui bahwa dalam undang-undang ada perbedaan usia pensiun antara hakim ad hoc hubungan industrial pada Mahkamah Agung (Pemohon I), hakim ad hoc pada Pengadilan Hubungan Industrial (Pemohon II) dengan hakim ad hoc lainnya, hakim, dan hakim agung tetapi perbedaan tersebut tidak serta merta menimbulkan perbedaan perlakuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
“Perbedaan dapat dibenarkan sepanjang sifat, karakter dan kebutuhan atas jabatan tersebut berbeda,” ujar Hakim Konstitusi Harjono, saat membacakan putusan tersebut. Justru, lanjut Harjono, akan menimbulkan diskriminasi apabila memperlakukan hal yang sama terhadap suatu yang berbeda atau sebaliknya memperlakukan berbeda terhadap hal yang sama. Disisi lain, Mahkamah juga berpandangan, walaupun antara hakim ad hoc hubungan industrial pada Mahkamah Agung, hakim ad hoc pada pengadilan hubungan industrial dengan hakim ad hoc lainnya, hakim, dan hakim agung sama-sama berstatus hakim, tetapi karakter dan kebutuhan atas jabatannya berbeda. “Hal itu merupakan wilayah kebijakan pembentuk undang-undang,” terang Harjono.
Meskipun demikian, Mahkamah melanjutkan dalam pendapatnya, ada dua hal yang harus mendapat perhatian yakni mengenai pengertian dan implementasi istilah “ad hoc” selama ini. Pengertian hakim ad hoc seharusnya menunjuk kepada sifat kesementaraan dan tidak bersifat permanen, sehingga hakim ad hoc diperlukan hanya untuk mengadili kasus-kasus tertentu. Oleh karena itu seharusnya hakim ad hoc hanya berstatus hakim selama menangani perkara yang diperiksa dan diadilinya. “Berdasarkan seluruh pertimbangan hukum tersebut di atas, menurut Mahkamah permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum,” urai Harjono.
Pasal 67 ayat (1) huruf d UU PHI sendiri menyebutkan, “Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial dan Hakim Ad-Hoc Hubungan Industrial pada Mahkamah Agung diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena telah berumur 62 (enam puluh  dua) tahun bagi Hakim Ad-Hoc pada Pengadilan Hubungan Industrial dan telah berumur 67 (enam puluh tujuh) tahun bagi Hakim Ad-Hoc pada Mahkamah Agung”.
Para Pemohon yang terdiri atas Hakim Ad Hoc Perselisihan Hubungan Industrial pada Mahkamah Agung Jono Sihono (Pemohon I), dan Hakim Ad Hoc Perselisihan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Sinufa Zebua (Pemohon II), menilai frasa “…telah berumur 62 (enam puluh dua) tahun” dan frasa “telah berumur 67 (enam puluh tujuh) tahun…” dalam pasal a quo bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
Pemohon juga memohon dalam petitumnya, bunyi frasa pada Pasal 67 ayat (1) huruf d UU PHI untuk diubah menjadi, “hakim ad hoc pengadilan hubungan industrial dan hakim ad hoc hubungan industrial pada Mahkamah Agung diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena telah berumur 65 tahun bagi hakim ad hoc pada pengadilan industrial dan telah berumur 70 tahun bagi hakim ad hoc pada Mahkamah Agung,” terang Kuasa Hukum Pemohon R. Supramono pada sidang pemeriksaan pendahuluan. (Shohibul Umam/mh)
Sumber: http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.Berita&id=7994#.UPaHEx354S-