Jumat, 21 Januari 2011

Teori Partisipasi Publik (Pelaksanaan Partisipasi Publik Dalam Pembentukan Suatu Peraturan Daerah)


URGENSI PARTISIPASI PUBLIK DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH (#9)

Teori Partisipasi Publik (Pelaksanaan Partisipasi Publik Dalam Pembentukan Suatu Peraturan Daerah)

Beberapa hal yang dapat dilakukan dalam kaitannya dengan pelaksanaan peran serta masyarakat dalam pembentukan perda antara lain:

1. Dilakukannya Rapat Dengar Pendapat Umum atau rapat-rapat lainnya yang bertujuan menyerap aspirasi masyarakat;

2. Dilakukannya kunjungan oleh anggota DPRD untuk mendapat masukan dari masyarakat;

3. Diadakannya seminar-seminar atau kegiatan yang sejenis dalam rangka melakukan pengkajian atau menindak lanjuti berbagai penelitian untuk menyiapkan suatu Rancangan Peraturan Daerah.

Mengenai sejauh mana masyarakat tersebut dapat ikut serta dalam pembentukan peraturan perundang-undangan (dalam hal ini undang-undang dan peraturan daerah), hal tersebut dapat tergantung pada keadaan dari pembentuk perundang-undangan sendiri oleh karena UUD dan berbagai peraturan perundang-undangan telah menetapkan lembaga mana yang dapat membentuk peraturan perundang-undangan tersebut. Apabila suatu Perda telah dapat menampung aspirasi masyarakat luas tentunya peran serta masyarakat tersebut tidak akan Oleh karena itu diperlukan peningkatan kualitas anggota DPRD maupun seluruh jajaran Pemerintah yang mempunyai tugas membentuk suatu Perda.

Untuk mengetahui lebih jauh mengenai partisipasi publik, maka Penulis membagi partisipasi menjadi beberapa bagian, yaitu tahap-tahap partisipasi, faktor yang mempengaruhi partisipasi, sifat dan ciri partisipasi, bentuk dan jenis partisipasi, serta efektifitas partisipasi.

1. Tahap-Tahap Partisipasi

Ada beberapa tahap partisipasi publik, menurut T. Ndraha partisipasi publik dapat terjadi pada 4 (empat) jenjang, yaitu:

a. Partisipasi dalam proses pembentukan keputusan;

b. Partisipasi dalam pelaksanaan

c. Partisipasi dalam pemanfaatan hasil;

d. Partisipasi dalam evaluasi.

2. Faktor yang Mempengaruhi Partisipasi

Santoso Sastropoetro berpendapat bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat adalah:

a. Pendidikan, kemapuan membaca dan menulis, kemiskinan, kedudukan, kedudukan sosial dan percaya terhadap diri sendiri.

b. Faktor lain adalah penginterpretasian yang dangkal terhadap agama.

c. Kecenderungan untuk menyalahartikan motivasi, tujuan dan kepentingan-kepentingan organisasi penduduk yang biasanya mengarah kepada timbulnya presepsi yang salah terhadap keinginan dan motivasi serta organisasi penduduk.

d. Tersedianya kesempatan kerja yang lebih baik diluar pedesaan.

e. Tidak terdapatnya kesempatan untuk berpartisipasi dalam berbagai program pembangunan.

3. Sifat dan Ciri Partisipasi

Sifat dan ciri partisipasi menurut Santoso Sastropoetro adalah:

a. Partisipasi haruslah bersifat sukarela.

b. Berbagai issue atau masalah haruslah disajikan dan dibicarakan secara jelas dan obyektif.

c. Kesempatan untuk berpartisipasi haruslah mendapat keterangan atau informasi yang jelas dan memadai tentang setiap segi/aspek dari program yang akan didiskusikan.

d. Partisipasi masyarakat dalam rangka menentukan kepercayaan terhadap diri sendiri haruslah menyangkut berbagai tingkatan dan berbagai sektor, bersifat dewasa, penuh arti, berkesinambungan dan aktif.

Dengan berpedoman pada pendapat Keith Davis, T. Ndarha mengemukakan ada 3 (tiga) hal yang merupakan ciri-ciri partisipasi, yaitu:

a. Titik berat partisipasi adalah mental dan emosional, kehadiran secara pribadi dalam suatu kelompok, tanpa keterlibatan tersebut bukanlah suatu partisipasi.

b. Kesediaan untuk memberikan kontribusi. Tujuan wujud kontribusi dalam kontribusi dalam pembangunan ada bermacam-macam, misalnya jasa, barang, uang, bahkan buah pikiran dan keterampilan.

c. Keberanian untuk menerima tanggung jawab atas suatu usaha untuk mengambil bagian dalam pertanggungjawaban.

4. Bentuk dan Jenis Partisipasi

Bentuk-bentuk partisipasi menurut T. Ndraha, dapat berupa partisipasi dalam bentuk sumbangan pemikiran, partisipasi dalam bentuk materi, partisipasi yang berifat skill/keahlian dan partisipasi dalam bentuk tenaga fisik. Sedangkan jenis partisipasi menurut Keith Davis seperti dikutip oleh Mahendra Putra Kurnia, terdiri dari pikiran (Psychological participation), tenaga (Physical participation), pikiran dan tenaga (Psychological and Physical participation), keahlian (Participation with skill), barang (Material participation) dan uang (Money participation).

5. Efektifitas Partisipasi

Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi untuk dapat melaksanakan partisipasi secara efektif, menurut Keith Davis persyaratan tersebut antara lain:

a. Waktu untuk memahami pesan yang disampaikan oleh pemrakarsa. Pesan tersebut mengandung informasi mengenai apa dan bagaimana serta mengapa diperlukan peran serta. Pesan-pesan tersebut disampaikan melalui komunikasi, yaitu usaha dan kegiatan untuk menumbuhkan pengertian yang sama antara pemrakarsa yang disebut komunikator dan penerima pesan atau komunikan.

b. Subyek partisipasi hendaknya relevan atau berkaitan dengan organisasi dimana individu bersangkutan itu tergabung atau sesuatu yang menjadi perhatiannya atau kepentingannya.

c. Partisipan harus memiliki kemampuan untuk berpartisipasi, artinya memiliki pola pikir yang setara dengan komunikator.

d. Partisipan harus memiliki kemampuan untuk melakukan komunikasi timbal balik, misalnya menggunakan bahasa yang sama atau sama-sama dipahami, sehingga tercipta pertukaran yang efektif.

e. Para pihak yang bersangkutan bebas melaksanakan peran serta tersebut, sesuai dengan persyaratan yang telah ditentukan.

Sehubungan dengan partisipasi efektif, Santoso Sastropoetro menyatakan bahwa masyarakat akan dapat bergerak untuk lebih berpartisipasi apabila:

a. Partisipasi itu dilakukan melalui organisai-organisasi yang sudah dikenal atau yang sudah ada ditengah-tengan masyarakat yang bersangkutan.

b. Partisipasi itu memberikan manfaat langsung kepada masyarakat yang bersangkutan.

c. Manfaat yang diperoleh melalui partisipasi itu memenuhi keinginan masyarakat setempat.

d. Dalam proses partisipasi masyarakat menjamin ada kontrol yang dilakuka masyarakat.

Partisipasi masyarakat ternyata berkurang jika mereka tidak atau kurang dilibatkan dalam pengambian keputusan. Josep Riwu Kaho berpendapat bahwasanya setiap proses penyelenggaraan, terutama dalam kehidupan bersama masyarakat, pasti melewati penentuan kebijakan. Menyangkut pembuata keputusan politik, partisipasi masyarakat sangat mendesak, terutama karena putusan politik yang diambil menentukan nasib mereka secara keseluruhan, mengenai hal ini Mubyarto menegaskan:

“…dalam keadaan yang paling ideal, keikutsertaan masyarakat dalam membuat “putusan politik” yang menyangkut nasib mereka adalah ukuran tingkat partisipasi rakyat. Semakin besar kemampuan untuk menentukan nasib sendiri, semakin besar partisipasi masyarakat dalam pembangunan”.

Literatur:

- Mahendra Putra Kurnia, dkk, Pedoman Naskah Akademik PERDA Partisipatif, Kreasi Total Media, Yogyakarta, 2007.

Kamis, 20 Januari 2011

Teori Partisipasi Publik (Pentingnya Partisipasi Publik Dalam Pembentukan Suatu Peraturan Daerah)



URGENSI PARTISIPASI PUBLIK DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH (#8)

Teori Partisipasi Publik (Pentingnya Partisipasi Publik Dalam Pembentukan Suatu Peraturan Daerah)

Partisipasi publik atau partisipasi masyarakat dalam penyusunan peraturan daerah merupakan hak masyarakat, yang dapat dilakukan baik dalam tahap penyiapan maupun tahap pembahasan. Dalam konteks hak asasi manusia, setiap hak pada masyarakat menimbulkan kewajiban pada pemerintah, sehingga haruslah jelas pengaturan mengenai kewajiban Pemerintahan Daerah untuk memenuhi hak atas partisipasi masyarakat dalam penyusunan Perda tersebut. Menurut Mahendra Putra Kurnia, titik tolak dari penyusunan suatu peraturan daerah adalah efektivitas dan evisiensinya pada masyarakat. Dengan kata lain, penarapan suatu peraturan daerah harus tepat guna dan berhasil guna, tidak mengatur golongan orang tetentu saja, dengan mengabaikan kepentingan golongan lain yang lebih banyak. Sehingga dalam proses penyusunannya, para pihak yang berkepentingan dan memiliki kaitan langsung ataupun tidak langsung terhadap kebijakan yang hendak diambil harus dilibatkan. Philipus M. Hadjon mengemukakan bahwa konsep partisipasi masyarakat berkaitan dengan konsep keterbukaan. Dalam artian, tanpa keterbukaan pemerintahan tidak mungkin masyarakat dapat melakukan peranserta dalam kegiatan-kegiatan pemerintahan. Selanjutnya dalam konsep demokrasi, asas keterbukaan atau partisipasi merupakan salah satu syarat minimum, sebagaimana dikemukakan oleh Burkens dalam buku yang berjudul Beginselen van de democratische rechsstaat, bahwa:

1. Pada dasarnya setiap orang mempunyai hak yang sama dalam pemilihan yang bebas dan rahasia;

2. Pada dasarnya setiap orang mempunyai hak untuk dipilih;

3. Setiap orang mempunyai hak-hak politik berupa hak atas kebebasan berpendapat dan berkumpul;

4. Badan perwakilan rakyat mempengaruhi pengambilan keputusan melalui sarana (mede) beslissing-recht (hak untuk ikut memutuskan dan atau melalui wewenang pengawas;

5. Asas keterbukaan dalam pengambilan keputusan dan sifat keputusan yang terbuka;

6. Dihormatinya hak-hak kaum minoritas.

Asas keterbukaan sebagai salah satu syarat minimum dari demokrasi terungkap pula dalam pendapat Couwenberg dan Sri Soemantri Mertosoewignjo. Menurut S.W. Couwenberg, 5 (lima) asas demokratis yang melandasi rechtsstaat, 2 (dua) diantaranya adalah asas pertanggungjawaban dan asas publik (openbaarheidsbeginsel), yang lainnya adalah asas hak-hak politik, asas mayoritas, dan asas perwakilan. Senada dengan itu, Sri Soemantri mengemukakan bahwa ide demokrasi menjelmakan dirinya dalam 5 (lima) hal, 2 (dua) diantaranya adalah pemerintah harus bersikap terbuka (openbaarheid van bestuur) dan dimungkinkannya rakyat yang berkepentingan menyampaikan keluhannya mengenai tindakan-tindakan penjabat yang dianggap merugikan. Tampak jelas bahwa dalam paham demokrasi terdapat asas keterbukaan, yang berkaitan dengan asas partisipasi masyarakat, sebagaimana pula dikemukakan oleh Franz Magnis-Suseno:

“Paham demokrasi atau kedaulatan rakyat mengandung makna, pemerintahan negara tetap di bawah kontrol masyarakat. Kontrol ini melalui 2 (dua) sarana: secara langsung melalui pemilihan para wakil rakyat dan secara tidak langsung melalui keterbukaan (publicity) pengambilan keputusan. Pertama, pemilihan wakil rakyat berkonsekuensi pada adanya pertanggungjawaban. Karena, jika partai-partai mau terpilih kembali dalam pemilihan berikut, mereka tidak dapat begitu saja mempermainkan kepercayaan para pendukung mereka, sehingga harus mempertanggungjawabkannya. Kedua, keterbukaan pengambilan keputusan merupakan suatu keharusan. Karena pemerintah bertindak demi dan atas nama seluruh masyarakat, maka seluruh masyarakat berhak untuk mengetahui apa yang dilakukannya. Bukan saja berhak mengetahui, juga berhak berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan”.

Selanjutnya Ann Seidman, Robert B. Seidman, dan Nalin Abeyserkere memaknai partisipasi sebagai berikut: bahwa pihak-pihak yang dipengaruhi oleh suatu keputusan yang ditetapkan the stakeholders (pihak yang mempunyai kepentingan) memiliki kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan, kritik dan mengambil bagian dalam pembuatan keputusan-keputusan pemerintahan. Pengertian partisipasi tersebut tidak jauh berbeda dengan pengertian partisipasi politik yang diberikan oleh Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson dalam Miriam Budiardjo, yaitu bahwa partisipasi politik adalah kegiatan warga negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah. Pengertian partisipasi politik sebagai kegiatan warga negara terlibat dalam proses pengambilan keputusan, dalam kepustakaan kebijakan publik di Belanda disebut inspraak atau partisipasi politik langsung. Ciri terpenting dari partisipasi politik langsung adalah tidak melalui proses perwakilan, melainkan warga negara berhubungan langsung dengan para pengambil keputusan. Dikaitkan dengan pendapat Herbert Mc Closky, bahwa partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung, dalam proses pembentukan kebijakan publik.

Tujuan dasar dari peran serta masyarakat adalah untuk menghasilkan masukan dan presepsi yang berguna dari warga negara dan masyarakat yang berkepentingan (public interest) dalam rangka meningkatkan kualitas pengambilan keputusan, karena dengan melibatkan masyarakat yang potensial terkena dampak akibat kebijakan dan kelompok kepentingan (interest group), para pengambil keputusan dapat menangkap pandangan, kebutuhan dan pengharapan dari masyarakat dan kelompok tersebut, untuk kemudian menuangkannya kedalam suatu konsep. Pandangan dan reaksi masyarakat itu, sebaliknya akan menolong pengambil keputusan (stakeholder) untuk menentukan prioritas, kepentingan dan arah yang pasti dari berbagai faktor. Selain itu, partisipasi publik juga merupakan pemenuhan terhadap etika politik yang menempatkan rakyat sebagai sumber kekuasaan dan kedaulatan. Menurut Sad Dian Utomo dalam Indra J. Piliang, manfaat partisipasi masyarakat dalam pembuatan kebijakan publik, termasuk dalam pembuatan peraturan daerah adalah:

1. Memberikan landasan yang lebih baik untuk pembuatan kebijakan publik;

2. Memastikan adanya implementasi yang lebih efektif karena warga mengetahui dan terlibat dalam pembuatan kebijakan publik;

3. Meningkatkan kepercayaan warga kepada eksekutif dan legislatif;

4. Efisiensi sumber daya, sebab dengan keterlibatan masyarakat dalam pembuatan kebijakan publik dan mengetahui kebijakan publik, maka sumber daya yang digunakan dalam sosialisasi kebijakan publik dapat dihemat.

Dari penjelasan tersebut diatas jelas menunjukan bahwa dalam proses pengambilan keputusan, termasuk pengambilan keputusan dalam bentuk peraturan daerah, terdapat hak masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses penyusunan peraturan daerah, yakni memberi masukan secara lisan atau tertulis dalam persiapan maupun pembahasan rancangan peraturan daerah.

Literatur:

- Mahendra Putra Kurnia, dkk, Pedoman Naskah Akademik PERDA Partisipatif, Kreasi Total Media, Yogyakarta, 2007.

- Ni Made Ari Yuliartini Griadhi, dkk, Partisipasi Masyarakat dalam Pembentukan Peraturan Daerah, Makalah Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Bali, 2007.

- Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, PT Bina Ilmu, Surabaya, 1987.

- Sri Soemantri M., Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung, 1992.

- Fanz Magnis-Suseno, Etika Politik Prinsipprinsip Moral dasar Kenegaraan Modern, PT. Gramedia, Jakarta, 1987.

- Ann Seidman, dkk, Penyusunan Rancangan Undang-undang Dalam Perubahan MasyarakatYang Demokratis, Proyek ELIPS Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Jakarta, 2001.

- Miriam Budiardjo, ed., Partisipasi dan Partai Politik, PT. Gramedia, Jakarta, 1981.

- Indra J. Piliang, dkk, Otonomi Daerah: Evaluasi dan Proyeksi, Penerbit Divisi Kajian Demokrasi Lokal Yayasan Harkat Bangsa, Jakarta, 2003.

Selasa, 11 Januari 2011

Teori Partisipasi Publik (Pengertian Partisipasi Publik)


URGENSI PARTISIPASI PUBLIK DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH (#7)

Teori Partisipasi Publik (Pengertian Partisipasi Publik)

Partisipasi masyarakat atau partisipasi publik dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan, diatur pada Bab X Pasal 53 Undang-undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Peraturan Perundang-undangan, yang menyatakan “masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penetapan maupun pembahasan rancangan undang-undang maupun rancangan peraturan daerah”. Penjelasan Pasal 53 itu menjelaskan bahwa “hak masyarakat dalam ketentuan ini dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat/Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”.

Secara lebih jelas mengenai partisipasi publik dalam pembentukan peraturan daerah terdapat dalam Pasal 139 ayat (1) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, yang menyatakan “masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis, dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan Perda”, Penjelasan Pasal 139 (1) tersebut menjelaskan bahwa “hak masyarakat dalam ketentuan ini dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Tata Tertib DPRD”. Dari bunyi Pasal 53 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 dan Pasal l39 ayat (1) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, serta Penjelasannya dapat diketahui bahwa Pertama, Masyarakat berhak memberikan masukan dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan Perda. Kedua, Masukan masyarakat tersebut dapat dilakukan secara lisan atau tertulis. Ketiga, Hak masyarakat tersebut dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Tata Tertib DPRD.

Pengertian Partisipasi Publik

Untuk memahami konsep partisipasi publik atau partisipasi masyarakat, sebaiknya pembahasan terlebih dahulu diarahkan pada siapa yang berpartisipasi dan apa yang terkandung dalam istilah partisipasi. Telaah mengenai siapa yang berpartisipasi akan mengarah pada 2 (dua) hal, yaitu apa yang dimaksud dengan masyarakat, publik dan bagaimana posisi masyarakat dalam pemerintahan daerah. Masyarakat menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah sejumlah manusia dalam arti seluas-luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama, sedangkan yang dimaksud dengan publik menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah orang banyak (umum). Menurut Korten seperti dikutip oleh Khairul Muluk, istilah masyarakat yang secara popular merujuk kepada sekelompok orang yang memiliki kepentingan bersama. Namun kemudian, ia lebih memilih pengertian yang berasal dari dunia ekologi dengan menterjemahkan masyarakat sebagai “an interacting population of organism (individuals) living in a common location”. Menurut Oppenheim, masyarakat adalah “a body of a number of individuals more or less bound together through common interest as create constant and manifold intercourse between individuals”. Kemudian menurut Logemann, masyarakat adalah suatu verkeer tussen mensen. Masyarakat adalah suatu skema koordinasi hubungan antar manusia yang ajeg. Menurut Sudikno Mertokusumo, masyarakat merupakan suatu kehidupan bersama yang terorganisir untuk mencapai dan merealisir tujuan bersama. Masyarakat adalah kelompok atau kumpulan manusia. Sedangkan menurut Maria Farida Indrati, masyarakat adalah setiap orang pada umumnya terutama masyarakat yang “rentan” terhadap peraturan tersebut, setiap orang atau lembaga terkait, atau setiap lembaga swadaya masyarakat yang terkait.

Pembahasan selanjutnya mengenai apa yang dimaksud dengan partisipasi. Partisipasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah perihal turut berperan serta dalam suatu kegiatan; keikutsertaan; peran serta. Menurut Rahnema seperti dikutip oleh Khairul Muluk, dengan mengutip apa yang diungkapkan dalam the Oxford Dictionary, memulai pembahasannya mengenai pertisipasi sebagai “the action of fact of partaking, having or forming a part of”. Dalam pengertian ini, partisipasi bisa bersifat transitif atau intransistif, bisa pula bermoral atau tak bermoral. Kandungan pengertian tersebut juga bersifat dipaksa atau bebas, dan bisa pula bersifat manipulatif atau spontan. Pengertian partisipasi (dalam arti sempit) menurut Antoft dan Novack, adalah:

“Sesuatu yang bisa dilakukan oleh komunitas untuk memperjuangkan kepentingan dan kebutuhannya. Bentuknya bisa berlangsung secara simultan untuk memberikan kesempatan kepada penduduk untuk menikmati akses partisipasi yang lebih besar karena tidak semua penduduk pada waktu yang bersamaan, di tempat yang sama, dengan kepentingan yang sama dapat berpartisipasi secara langsung dan bersama-sama. Ada kendala waktu, tenaga dan sumber daya lainnya yang membatasi partisipasi masyarakat ini. Bentuk-bentuk partisipasi tersebut meliputi electoral participation, lobbying, getting on council agenda, special purpose bodies dan special purpose participation”.

Menurut Merriam Webster's Dictionary, Partisipasi berasal dari bahasa Inggris yaitu Participate. Kata itu mengandung 2 (dua) pengertian: Pertama, memiliki sejumlah atribut, benda atau kualitas dari seseorang. Kedua, mengambil bagian dalam suatu kegiatan atau membagi sesuatu dalam kebersamaan, maka dengan demikian yang dimaksud dengan partisipasi publik disini adalah banyaknya masyarakat yang mengambil bagian dalam setiap kegiatan konkrit, termasuk dalam hal pembentukan peraturan perundang-undangan atau peraturan daerah. Berbagai bentuk partisipasi publik (dalam arti luas) dalam pemerintahan daerah berdasarkan pengalaman berbagai negara di dunia menurut Norton, berkisar pada:

1. Referenda bagi isu-isu vital di daerah tersebut dan penyediaan peluang inisiatif warga untuk memperluas isu-isu yang terbatas dalam referenda.

2. Melakukan decentralization in cities (desentralisasi di dalam kota) kepada unit-unit yang lebih kecil sehingga kebutuhan tanggungjawab dan pengambilan keputusan lebih dekat lagi kepada masyarakat.

3. Konsultasi dan kerjasama dengan masyarakat sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan mereka.

4. Partisipasi dalam bentuk elected member (anggota yang dipilih).


Literatur:

- Maria Farida Indrati. S, Ilmu Perundang-undangan; Dasar-dasar Pembentukannya, Kanisius, Yogyakarta, 2007.

- Maria Farida Indrati. S, Ilmu Perundang-undangan; Proses dan Teknik Pembentukannya, Kanisius, Yogyakarta, 2007.

- Khairul Muluk, Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah, Bayumedia, Jakarta, 2006.

- Sugeng Istanto, Bahan Kuliah Politik Hukum, Magister Hukum Program Pascasarjana UGM, Yogyakarta, 2004.

- Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta, 1999.

- Forum USDRP-Indonesia, Transparansi, Akuntabilitas dan Partisipasi/Partisipasi Publik, http://www.usdrp.org.

- Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.