Rabu, 15 Desember 2010

Dari Gugatan Terhadap Lambang Garuda di Kaos Timnas sampai dengan Citizen Lawsuit


Tim Nasional (Timnas) Sepak Bola Indonesia berhasil masuk ke semifinal Piala AFF, sungguh hal yang sangat membanggakan, sebagai putra bangsa, setidaknya itu yang sedang saya rasakan saat ini. Namun di tengah menanjaknya popularitas tersebut, ‘tiba-tiba’ muncul sebuah insiden yaitu adanya Gugatan Nomor 551/2010/PN.JKT.PST, terkait pemasangan Logo Garuda di Kaos Timnas yang ditujukan kepada Presiden RI, Mendiknas, Menpora, PSSI, dan PT. Nike Indonesia. Gugatan seperti ini, dalam bahasa hukum dikenal dengan Citizen Lawsuit atau Gugatan Warga Negara terhadap Penyelenggara Negara.

Gugatan tersebut merujuk pada Pasal 52 dan Pasal 57 huruf d Undang-Undang Nomor 24 tahun 2009 tentang Pemakaian Lambang Negara, Bahasa, Bendera, Serta Lagu Kebangsaan. Pasal 52, berbunyi:

Lambang Negara dapat digunakan:

a. Sebagai cap atau kop surat jabatan;

b. Sebagai cap dinas untuk kantor;

c. Pada kertas bermaterai;

d. Pada surat dan lencana gelar pahlawan, tanda jasa, dan tanda kehormatan;

e. Sebagai lencana atau atribut pejabat negara, pejabat pemerintah atau warga negara Indonesia yang sedang mengemban tugas negara di luar negeri;

f. Dalam penyelenggaraan peristiwa resmi;

g. Dalam buku dan majalah yang diterbitkan oleh Pemerintah;

h. Dalam buku kumpulan undang-undang; dan/atau

i. Di rumah warga negara Indonesia.

Sedangkan Pasal 57 huruf d, berbunyi “Setiap orang dilarang menggunakan Lambang Negara untuk keperluan selain yang diatur dalam Undang-Undang ini”.

Alasan dari gugatan ini adalah bahwa "Kaos bola berpotensi dikotori, robek, dan bahkan terkena tendang, terkena sikut, dilempar setelah dipakai. Dan harus diingat lambang negara yang ada di kaos bola pun akan mengalami hal yang sama”.

Hal ini sentak mengundang reaksi dari sejumlah tokoh, menurut Ketua DPR Marzuki Alie melalui detikcom (15/12/10), penggunaan lambang Garuda dalam kaos Timnas tidaklah melanggar Undang-undang. Marzuki justru heran ada anak bangsa yang tidak bangga dengan lambang Garuda di kaos Timnas. Senada dengan hal tersebut, Anggota Komisi III DPR dari FPD, Ruhut Sitompul, menilai perdebatan terkait pemasangan lambang Garuda di kaos Timnas sepakbola Indonesia dihembuskan untuk mencari popularitas, "Lambang Garuda ini kan dipakai dimana-mana, banyak ditempel di kaca mobil dan logo DPR. Saya pikir tidak ada yang salah karena Garuda adalah simbol Pancasila, ideologi merah-putih", jelas Ruhut kepada detikcom (14/12/10).

Namun ada satu pendapat yang menurut saya lebih menarik karena pendapat tersebut lebih substantif dan ‘mungkin’ dapat menjawab polemik ini. Pendapat ini datang dari Roy Suryo, seorang Politisi Partai Demokrat yang juga selaku anggota tim nara sumber penyusunan Undang-Undang Nomor 24 tahun 2009, menurutnya dalam Pasal 52 huruf e disebutkan, lambang negara (Garuda) bisa digunakan sebagai lencana atau atribut warga negara Indonesia yang mengemban tugas negara di Luar Negeri. Artinya, lambang tersebut bisa digunakan dalam kaos Timnas karena ada tugas yang diemban untuk membela Indonesia dalam ajang AFF, "Hal ini tidak melanggar larangan di Pasal 57 huruf a yang intinya tidak menodai, menghina dan merendahkan" sambungnya kepada detikcom (14/12/10). Pendapat ini kemudian saya ‘amini’ dan berharap semoga masalah ini tidak berkelanjutan dan tidak ‘mengurangi’ semangat Timnas untuk berjuang.

Melalui permasalahan ini, ada hal menarik yang dapat kita pelajari, yang mungkin juga masih jarang kita dengar yaitu mengenai Citizen Lawsuit atau Gugatan Warga Negara terhadap Penyelenggara Negara. Dalam catatan saya, Citizen Lawsuit masih sangat jarang di Indonesia bahkan di dunia. Dengan mengutip dari berbagai sumber dan literatur, berikut penjelasannya.

Citizen Lawsuit

Citizen Lawsuit atau Gugatan Warga Negara terhadap penyelenggara Negara sebenarnya tidak dikenal dalam sistem hukum Civil Law sebagaimana yang diterapkan di Indonesia. Citizen lawsuit sendiri lahir di negara-negara yang menganut sistem hukum Common Law, dan dalam sejarahnya Citizen Lawsuit pertama kali diajukan terhadap permasalahan lingkungan. Namun pada perkembangannya, Citizen Lawsuit tidak lagi hanya diajukan dalam perkara lingkungan hidup, tetapi pada semua bidang dimana negara dianggap melakukan kelalaian dalam memenuhi hak warga negaranya.

Citizen Lawsuit pada intinya adalah mekanisme bagi Warga Negara untuk menggugat tanggung jawab Penyelenggara Negara atas kelalaian dalam memenuhi hak-hak warga Negara. Kelalaian tersebut didalilkan sebagai Perbuatan Melawan Hukum, sehingga Citizen Lawsuit diajukan pada lingkup peradilan umum dalam hal ini perkara Perdata. Oleh karena itu Atas kelalaiannya, dalam petitum gugatan, Negara dihukum untuk mengeluarkan suatu kebijakan yang bersifat mengatur umum (regeling) agar kelalaian tersebut tidak terjadi lagi di kemudian hari. Citizen Lawsuit memiliki karakteristik sebagai berikut:

1. Tergugat dalam Citizen Lawsuit adalah Penyelenggara Negara. Pihak selain penyelenggara negara tidak boleh dimasukkan sebagai pihak baik sebagai Tergugat maupun Turut Tergugat.

2. Perbuatan Melawan Hukum yang didalilkan dalam Gugatan adalah kelalaian Penyelenggara Negara dalam pemenuhan hak-hak warga negara.

3. Penggugat adalah Warga Negara, dalam hal ini cukup membuktikan bahwa dirinya adalah warga negara Indonesia.

4. Tidak memerlukan adanya suatu notifikasi Option Out setelah gugatan didaftarkan (PERMA No. 1 tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok).

5. Petitum dalam gugatan Citizen Lawsuit:

a. Tidak boleh meminta adanya ganti rugi materiel.

b. Harus berisi permohonan agar negara mengeluarkan suatu kebijakan yang mengatur umum (Regeling).

c. Tidak boleh berisi pembatalan atas suatu Keputusan Penyelenggara Negara (Keputusan Tata Usaha Negara) yang bersifat konkrit, individual dan final karena hal tersebut merupakan kewenangan dari Peradilan Tata Usaha Negara.

d. Tidak boleh memohon pembatalan atas suatu Undang-undang karena itu merupakan kewenangan dari Mahkamah Konstitusi dan tidak boleh meminta pembatalan atas Peraturan perundang-undangan di bawah Undang-undang karena hal tersebut merupakan kewenangan Mahkamah Agung.

Selasa, 14 Desember 2010

“Keistimewaan Yogyakarta”…mengapa harus dipermasalahkan?


Daerah Istimewa Yogyakarta, sebuah provinsi yang syarat akan nilai budaya dan sejarah. Di kota inilah lebih kurang 9 (Sembilan) tahun saya pernah menghabiskan waktu untuk menimba ilmu pengetahuan dan bekerja. Benar-benar sebuah kota yang sangat bersahabat dengan masyarakatnya yang sangat ramah, sehingga saya tidak pernah merasa sebagai seorang ‘pendatang’ disana. Kota ini juga dihuni oleh berbagai suku yang ada di Indonesia, khususnya bagi mereka yang sedang menempuh pendidikan disana, tak heran berbagai julukan diberikan kepada kota ini seperti ‘kota pelajar’ dan ‘Indonesia mini’.

Polemik mengenai keistimewaan Yogyakarta muncul ketika Presiden SBY membuka rapat kabinet terbatas di kantornya, Jakarta, Jumat 26 November 2010. Menurutnya ada 3 (tiga) hal yang harus diperhatikan dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta, Pertama, pilarnya adalah pilar nasional yakni Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dalam Undang-Undang Dasar telah diatur dengan gamblang”. Kedua, harus dipahami keistimewaan DIY itu sendiri berkaitan dengan sejarah dari aspek-aspek lain yang harus diperlakukan secara khusus sebagaimana pula yang diatur dalam Undang-Undang Dasar. Ketiga, harus diperhatikan aspek Indonesia adalah negara hukum dan negara demokrasi. “Nilai-nilai demokrasi tidak boleh diabaikan. Oleh karena itu, tidak boleh ada sistem monarki yang bertabrakan dengan konstitusi mau pun nilai-nilai demokrasi”.

Pernyataan SBY tersebut dengan cepatnya mengemuka dan ramai diperbincangkan di media, hingga menimbulkan aksi massa dimana SBY dianggap seakan-akan menggugat Keistimewaan Yogyakarta. Menurut Burhanuddin Muhtadi, Presiden SBY seharusnya menjelaskan arti kata ‘monarki’ sehingga tidak menimbulkan ruang tafsir seolah-olah dia mengugat keistimewaan Yogyakarta. Dalam ilmu politik, ada 2 (dua) jenis monarki. Pertama, monarki absolute yang tidak sejalan dengan demokrasi; Kedua, monarki konstitusional yang sejalan dengan demokrasi.

Namun, pernyataan Presiden SBY tersebut kemudian diklarifikasi, bahwa Keistimewaan Yogyakarta bukan Monarki. Berikut kutipannya:

”Kalau dari sisi politik praktis, tolong dicatat, sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan di negeri ini, saya berpendapat bahwa untuk posisi kepimimpinan Gubernur DIY lima tahun mendatang, tetap Sultan Hamengku Buwono X". Pemerintah, merasa perlu mewadahi mekanisme pemilihan kepala daerah dalam suatu undang-undang. Ketentuan kepemimpinan ini juga terkait dengan suksesi ketika Sultan dan juga Paku Alam IX, yang saat ini menjadi Wakil Gubernur DIY, berhalangan tetap. "Yang tengah kita pikirkan, dan kita rancang bersama DPR adalah keistimewaan DIY dalam arti utuh dan menyeluruh, yang dalam undang-undang dewasa ini belum diatur secara eksplisit”.

Tanpa bermaksud memperuncing polemik mengenai ‘Keistimewaan Yogyakarta’ yang sedang hangat dibicarakan akhir-akhir ini, saya mencoba berbagi sedikit analisa berdasarkan pengetahuan saya mengenai sejarah Keistimewaan Yogyakarta khususnya dari sudut pandang ke-tata negara-an. Sebelum memulai pembahasan, saya ingin mengutip pernyataan dari salah seorang pendiri bangsa ini, Prof. Mr. Dr. Soepomo, yang lebih dikenal sebagai salah satu ‘Arsitek’ Undang-Undang Dasar 1945. Dalam sidang PPKI kembali menjelaskan susunan dan kedudukan daerah adalah sebagai berikut:

“Pemerintahan daerah akan disusun dalam undang-undang. Dalam pemerintahan daerah akan bersifat permusyawaratan dengan adanya Dewan Perwakilan Daerah. Zelfbesturende Landschappen (Kooti, Sultanaat) akan berkedudukan sebagai daerah istimewa (daerah yang mempunyai sifat istimewa, mempunyai susunan asli) bukan sebagai negara karena hanya ada satu negara. Daerah istimewa itu akan menjadi bagian dari Staat Indonesia dan akan dihormati susunan asli pemerintahannya. Zelfstandige Gemeenschappen atau Inheemsche Rechtsgemeenschappen seperti desa, nagari, marga dan sebagainya akan dihormati susunan aslinya”.

UUD 1945 Pra Amandemen

Pasal 18 UUD 1945 Pra Amandemen, berbunyi “Pembagian Daerah Indonesia atas Daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem Pemerintahan Negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat Istimewa.

Menurut fajrul Falaakh, bunyi pasal tersebut menunjukan desentralisme majemuk tentang bentuk negara kesatuan. Saya berpendapat, bunyi pasal tersebut dapat ditafsirkan sebagai pendelegasian kekuasaan kepada daerah dengan memperhatikan bentuk dan susunan pemerintahan serta keistimewaannya yang merupakan suatu kesatuan Negara.

Penjelasan Pasal 18, berbunyi:

1. Oleh karena Negara Indonesia itu suatu “eenheidstaat”, maka Indonesia tidak akan mempunyai lingkungan didalamnya yang berbentuk “Staat” juga. Daerah Indonesia akan dibagi dalam bentuk propinsi, dan daerah propinsi akan dibagi pula dalam daerah yang lebih kecil.

Daerah-daerah tersebut bersifat autonoom (streek- dan locale rechtsgemeenschappen) atau bersifat daerah administrasi belaka, semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan dengan undang-undang.

Di daerah-daerah yang bersifat autonoom akan diadakan badan perwakilan daerah oleh karena didaerahpun pemerintah akan bersendi atas dasar permusyawaratan.

2. Dalam territoir Negara Indonesia terdapat ± 250 “Zelfbesturende Landschappen” dan Volksgemeenchappen, seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa.

Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan Negara yang mengenai daerah itu akan mengingati hak-hak asal-usul daerah tersebut.

Fajrul Falaakh menjelaskan bahwa, Penjelasan Pasal 18, yang terbit pada Februari 1946, menyebut dua macam daerah istimewa:

Pertama, daerah swapraja atau zelfbesturende landschappen yang pada masa Hindia Belanda berhubungan tak langsung dengan pemerintah, Pasal 21 Ayat (2) Indische Staatsregeling, dan disebut Kooti pada masa Jepang. Kategori ini mencakup “Negari Ngajogjakarta Hadiningrat”. Kedua, persekutuan hukum adat atau Zelfstandige Volksgemeenschappen yang mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri serta memiliki asal-usul dan susunan asli, Pasal 128 Ayat (3) Indische Staatsregeling.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah

Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah adalah undang-undang pertama yang mengatur susunan dan kedudukan pemerintahan daerah di Indonesia. Secara umum Indonesia memiliki 2 (dua) jenis daerah ber-otonomi yaitu daerah otonom biasa dan daerah otonom khusus yang disebut dengan daerah istimewa. Daerah otonom khusus yang diberi nomenklatur "Daerah Istimewa" adalah daerah Kerajaan/Kesultanan dengan kedudukan Zelfbesturende Landschappen/Kooti/daerah swapraja yang telah ada sebelum Indonesia merdeka dan masih dikuasai oleh dinasti pemerinyahannya. Masing-masing daerah berotonomi tersebut memiliki (3) tiga tingkatan dan nomenklatur yang berbeda-beda yang diatur dalam Pasal 1 Ayat (1), (2) dan (3), berbunyi:

(1) Daerah Negara Republik Indonesia tersusun dalam tiga tingkatan, ialah: Provinsi, Kabupaten (Kota besar) dan Desa (Kota kecil) negeri, marga dan sebagainya, yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.

(2) Daerah-daerah yang mempunyai hak-hak asal-usul dan dizaman sebelum Republik Indonesia mempunyai pemerintahan sendiri yang bersifat Istimewa dengan Undang-Undang pembentukan termaksud dalam ayat (3) dapat ditetapkan sebagai Daerah Istimewa yang setingkat dengan Provinsi, Kabupaten atau Desa, yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.

(3) Nama, batas-batas, tingkatan, hak dan kewajiban daerah-daerah tersebut dalam ayat (1) dan (2) ditetapkan dalam Undang-Undang pembentukan.

Selanjutnya mengenai siapa yang ber-hak menjadi kepala daerah dan wakilnya pada daerah istimewa diatur dalam Pasal 18 Ayat (5) dan (6), yang berbunyi:

(5) Kepala Daerah istimewa diangkat oleh Presiden dari keturunan keluarga yang berkuasa didaerah itu dizaman sebelum Republik Indonesia dan yang masih menguasai daerahnya, dengan syarat-syarat kecakapan, kejujuran dan kesetiaan dan dengan mengingat adat istiadat didaerah itu.

(6) Untuk daerah istimewa dapat diangkat seorang wakil Kepala Daerah oleh Presiden dengan mengingat syarat-syarat tersebut dalam ayat (5). Wakil Kepala Daerah Istimewa adalah anggota Dewan Pemerintahan Daerah

Selain menegaskan adanya Daerah Istimewa dalam susunan dan kedudukan pemerintahan daerah di Indonesia, undang-undang ini juga memberi ‘legitimasi’ kepada keturunan keluarga yang berkuasa di daerah dalam hal ini Raja dan Keturunannya untuk memerintah daerah tersebut.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah

Undang-undang ini menggantikan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948 dan Undang-Undang NIT Nomor 44 Tahun 1950. Secara umum Indonesia memiliki 2 (dua) jenis daerah berotonomi yaitu daerah otonom biasa yang disebut daerah swatantra dan daerah otonom khusus yang disebut dengan daerah istimewa, hal tersebut terdapat dalam Pasal 1 Ayat (1) yang berbunyi “Yang dimaksud dengan daerah dalam Undang-undang ini ialah daerah yang berhak mengurus rumah-tangganya sendiri, yang disebut juga “Daerah Swatantra” dan “Daerah Istimewa”.

Mengenai Kepala Daerah diatur dalam Pasal 25 Ayat (1), (2) dan (3), yang berbunyi:

(1) Kepala Daerah Istimewa diangkat dari calon yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dari keturunan keluarga yang berkuasa di daerah itu di zaman sebelum Republik Indonesia dan yang masih menguasai daerahnya, dengan memperhatikan syarat-syarat kecakapan, kejujuran, kesetian serta adat-istiadat dalam daerah itu, dan diangkat dan diberhentikan oleh :

  1. Presiden bagi Daerah Istimewa Tingkat I;
  2. Menteri Dalam Negeri atau penguasa yang ditunjuk olehnya bagi Daerah Istimewa Tingkat II dan III.

(2) Untuk daerah Istimewa dapat diangkat dari calon yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah seorang Wakil Kepala Daerah Istimewa yang diangkat dan diberhentikan oleh penguasa yang mengangkat/memperhentikan Kepala Daerah Istimewa, dengan memperhatikan syarat-syarat tersebut dalam ayat (1).

(3) Kepala dan Wakil Kepala Daerah Istimewa karena jabatannya adalah berturut-turut menjadi Ketua serta anggota dan Wakil Ketua serta anggota dari Dewan Pemerintah Daerah.

Undang-undang ini mengelompokkan daerah kedalam 2 (dua) jenis daerah berotonomi yaitu daerah otonom biasa (daerah swatantra) dan daerah otonom khusus (daerah istimewa). Mengenai Kepala Daerah tetap sama namun lebih dipertegas bahwa Kepala Daerah dapat diberhentikan.

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah

Undang-undang ini menggantikan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957; Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959 tentang Pemerintahan Daerah (Disempurnakan); Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1960; Penetapan Presiden Nomor 5 Tahun 1960 tentang Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Gotong Royong dan Sekretariat Daerah (Disempurnakan) jo. Penetapan Presiden Nomor 7 Tahun 1965. Menurut undang-undang ini secara umum Indonesia hanya mengenal 1 (satu) jenis daerah otonomi. Daerah-daerah yang memiliki otonomi khusus menurut Undang-Undang Nomor 1 Nomor 1 Tahun 1957 boleh dikatakan dihapus secara sistematis dan diseragamkan dengan daerah otonomi biasa. Namun mengenai Daerah Istimewa Yogyakarta tetap diatur khusus dalam Pasal 88 Ayat (1) huruf a:

Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini maka "Daerah tingkat I dan Daerah Istimewa Yogyakarta" yang berhak mengatur dan mengurus rumah-tangganya sendiri berdasarkan Undang-undang Nomor 1 tahun 1957 serta Daerah Istimewa Aceh berdasarkan Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia No. I/Missi/1959 adalah "Propinsi" termaksud pada Pasal 2 Ayat (1) sub a Undang-undang ini.

Ayat (2) huruf a:

Sifat istimewa sesuatu Daerah yang berdasarkan atas ketentuan mengingat kedudukan dan hak-hak asal-usul dalam pasal 18 Undang-undang Dasar yang masih diakui dan berlaku hingga sekarang atau sebutan Daerah Istimewa atas alasan lain, berlaku terus hingga dihapuskan;

Selanjutnya mengenai Kepala Daerah diatur dalam Pasal 17 Pasal 88 ayat (2) huruf b:

Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, Daerah Istimewa Yogyakarta yang sekarang, pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, adalah Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, yang tidak terikat pada jangka waktu masa jabatan dimaksud pada pasal 17 ayat (1) dan pasal 21 ayat (5).

Mengenai ‘tidak terikat pada jangka waktu masa jabatan’ kemudian “sedikit” dibatasi oleh Pasal 76 yang berbunyi “dengan pengertian bahwa bagi pengangkatan Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah kemudian, berlaku ketentuan proseduril menurut pasal 11 dan 12”. Pasal 11 dan 12 mengatur tentang pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah serta pencalonan kepala daerah.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Di Daerah

Undang-undang ini menggantikan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah yang dinyatakan tidak dapat diterapkan (tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan, sehingga perlu diganti). Menurut undang-undang ini secara umum Indonesia dibagi menjadi 1 (satu) macam Daerah Otonom sebagai pelaksanaan asas desentralisasi dan wilayah administratif sebagai pelaksanaan asas dekonsentrasi. Pengaturan terhadap Daerah Istimewa dan Kepala Daerahnya diatur dalam BAB VII Aturan Peralihan, Pasal 91 huruf a dan b:

Pada saat berlakunya Undang-undang ini:

a. Daerah Tingkat I dan Daerah Tingkat II yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri berdasarkan Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, adalah Daerah Tingkat I dan daerah Tingkat II yang dimaksud dalam Pasal 3 Undang-undang ini;

b. Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta yang sekarang adalah Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah menurut undang-undang ini dengan sebutan Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta dan Wakil Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta, yang tidak terikat pada ketentuan masa jabatan, syarat, dan cara pengangkatan bagi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah lainnya.

Pengaturan mengenai Daerah Istimewa dan dalam Kepala daerahnya tidak berbeda dengan undang-undang sebelumnya atau dapat dikatakan ‘melanjutkan’ pengaturan sebelumnya.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahaan Daerah

Undang-undang ini menggantikan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Menurut undang-undang ini Indonesia dibagi menjadi 1 (satu) macam daerah otonom dengan mengakui ‘kekhususan’ yang ada pada tiga daerah yaitu Aceh, Jakarta, dan Yogyakarta dan satu tingkat wilayah administratif. Tiga jenis daerah otonom adalah Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten, dan Daerah Kota. Ketiga jenis daerah tersebut berkedudukan setara dalam artian tidak ada hirarki daerah otonom. Daerah Provinsi berkedudukan juga sebagai wilayah administratif.

Undang-undang ini menentukan bahwa pemerintah lokal menggunakan nomenklatur “Pemerintah Daerah”. Pemerintah Daerah adalah penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Otonom oleh Pemerintah Daerah dan DPRD menurut asas Desentralisasi. Daerah Otonom (disebut Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota) adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu, berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Lebih rinci mengenai pengaturan terhadap daerah istimewa terdapat dalam Pasal 122, yang berbunyi:

“Keistimewaan untuk Propinsi Daerah Istimewa Aceh dan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974, adalah tetap dengan ketentuan bahwa penyelenggaraan pemerintahan Propinsi Istimewa Aceh dan Propinsi Istimewa Yogyakarta didasarkan pada undang-undang ini”.

Penegasan mengenai pengakuan Keistimewaan Yogyakarta terdapat dalam Penjelasan Pasal 122 yang berbunyi:

“Pengakuan keistimewaan Propinsi Istimewa Yogyakarta didasarkan pada asal-usul dan peranannya dalam sejarah perjuangan nasional, sedangkan isi keistimewaannya adalah pengangkatan Gubernur dengan mempertimbangkan calon dari keturunan Sultan Yogyakarta dan Wakil Gubernur dengan mempertimbangkan calon dari keturunan Paku Alam yang memenuhi syarat sesuai dengan undang-undang ini”.

Saya pikir, bunyi Pasal 122 beserta Penjelasannya sudah ‘sangat cukup’ memberikan penjelasan kepada kita mengenai ‘Keistimewaan Yogyakarta’.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahaan Daerah

Undang-undang ini menggantikan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. Menurut undang-undang ini Indonesia dibagi menjadi 1 (satu) jenis daerah otonom dengan perincian Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas daerah kabupaten dan daerah kota. Selain itu negara mengakui kekhususan dan/atau keistimewaan yang ada pada 4 (empat) daerah yaitu Aceh, Jakarta, Papua, dan Yogyakarta. Negara juga mengakui dan menghormati kesatuan-kesatan masyarakat hukum adat (Desa atau nama lain) beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan.

Pada intinya, pengaturan mengenai ‘Keistimewaan Yogyakarta’ dalam undang-undang ini lagi-lagi ‘melanjutkan’ pengaturan sebelumnya. Mari kita simak bunyi Pasal 226 Ayat (2):

“Keistimewaan untuk Provinsi Daerah Istimewa Yogyakata sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, adalah tetap dengan ketentuan bahwa penyelenggaraan pemerintahan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta didasarkan pada Undang-Undang ini”.

Setelah kita melihat sejarah Keistimewaan Yogyakarta berdasarkan ‘serangkaian’ peraturan diatas, maka tampak jelas bagaimana negara ini menghormati keistimewaan daerahnya. Namun akan muncul pertanyaan “bagaimana dengan Pasal 18 (4) UUD 1945 Pasca Amandemen, yang menghendaki agar kepala daerah dipilih secara demokratis” dan Pasal 18B Ayat (1) yang masih tetap mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa”. Saya pikir jawabannya sangat mudah, 'lex specialis derogat legi generali' (undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan undang-undang yang bersifat umum), artinya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahaan Daerah dapat mengesampingkan Pasal 18 (4) UUD 1945.

Semoga nantinya Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta (yang terlalu lama menjadi RUU) dapat menjelaskan secara ‘eksplisit’ Keistimewaan Yogyakarta dalam arti utuh dan menyeluruh, seperti yang di janjikan Presiden SBY.

Literatur:

  • Soehino, Hukum Tata Negara (Himpunan Peraturan Perundangan, Surat-Surat Keputusan, dan Instruksi-Instruksi yang berkaitan dengan pemerintahan di daerah), Liberty, Yogyakarta, 1983.
  • Mohammad Fajrul Falaakh, Polemik Keistimewaan Yogyakarta "Monarki Yogya" Inkonstitusional? (http://www.forumlogr.com)
  • Inilah Pernyataan SBY Soal RUU Keistimewaan Yogyakarta (http://www.rimanews.com)
  • Isi Klarifikasi SBY tentang Keistimewaan Yogyakarta yang Bukan Monarki (http://masmintos.blogspot.com)
  • SBY Digugat Karena Salah Bicara (http://www.harianberita.com)
  • Sejarah pemerintahan daerah di Indonesia (http://id.wikipedia.org)
  • UUD 1945 Pra Amandemen
  • UUD 1945 Pasca Amandemen
  • Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah
  • Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah
  • Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah
  • Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Di Daerah
  • Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahaan Daerah
  • Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahaan Daerah

Sabtu, 11 Desember 2010

Teori Perundang-undangan (Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan)


URGENSI PARTISIPASI PUBLIK DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH (#3)

Teori Perundang-undangan (Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan)

Materi muatan peraturan perundang-undangan, tolok ukurnya hanya dapat dikonsepkan secara umum. Semakin tinggi kedudukan suatu peraturan perundang-undangan, semakin abstrak dan mendasar materi muatannya. Begitu pula sebaliknya, semakin rendah kedudukan suatu peraturan perundang-undangan, semakin rinci dan konkrit pula materi muatannya. Kesemuanya itu mencerminkan adanya tingkatan-tingkatan tentang materi muatan peraturan perundang-undangan dimana undang-undang merupakan salah satu bentuk peraturan perundang-undangan yang paling luas jangkauannya.

Pasal 8 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004, mengatur materi muatan yang harus diatur dengan undang-undang berisi hal-hal yang:

1. Mengatur lebih lanjut ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang meliputi:

a. Hak-hak asasi manusia;

b. Hak dan kewajiban warga negara;

c. Pelaksanaan dan penegakan kedaulatan negara serta pembagian kekuasaan negara;

d. Wilayah negara dan pembagian daerah;

e. Kewarganegaraan dan kependudukan;

f. Keuangan negara.

2. Diperintahkan oleh suatu Undang-undang untuk diatur dengan Undang-undang.

Sedangkan materi muatan Peraturan Pemerintah Penganti Undang-undang sama dengan materi muatan undang-undang (Pasal 9 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004). Pasal 10 menyatakan bahwa materi muatan Peraturan Pemerintah berisi materi untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya. Kemudian sesuai dengan tingkat hierarkinya, bahwa Peraturan Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh undang-undang atau materi yang melaksanakan Peraturan Pemerintah (Pasal 11). Mengenai Peraturan Derah dinyatakan dalam Pasal 12 bahwa materi muatan Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.

Materi muatan peraturan perundang-undangan juga mengandung asas-asas yang harus ada dalam sebuah peraturan perundang-undangan. Asas-asas tersebut sesuai dengan Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004. Ayat (1) sebagai berikut, Materi Muatan Peraturan Perandang-undangan mengandung asas pengayoman, kemanusian, kebangsaan, kekeluargaan, kenusantaraan, bhinneka tunggal ika, keadilan, kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, ketertiban dan kepastian hukum dan/atau keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. Sedangkan ayat (2), menyatakan “Selain asas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Peraturan Perundang-undangan tertentu dapat berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan”.

Apa yang dimaksudkan dengan asas-asas yang berlaku dalam materi muatan peraturan perundang-undangan tersebut dijelaskan dalam penjelasan Pasal 6 ayat (1) sebagai berikut:

1. Asas pengayoman; Bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan ketentraman masyarakat.

2. Asas kemanusian; Bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional.

3. Asas kebangsaan; Bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang pluralistik (kebhinekaan) dengan tetap menjaga prinsip negara kesatuan Republik Indonesia.

4. Asas kekeluargaan; Bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan.

5. Asas kenusantaraan; Bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan materi muatan Peraturan Perundang-undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila.

6. Asas bhinneka tunggal ika; Bahwa Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah, dan budaya khususnya yang menyangkut masalah-masalah sensitif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

7. Asas keadilan; Bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa kecuali.

8. Asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; Bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain, agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial.

9. Asas ketertiban dan kepastian hukum; Bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum.

10. Asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. Bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara.

Penjelasan Pasal 6 ayat (2) menjelaskan bahwa “Yang dimaksud dengan “asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan”, antara lain:

1. Dalam Hukum Pidana, misalnya, asas legalitas, asas tiada hukuman tanpa kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan asas praduga tak bersalah;

2. Dalam Hukum Perdata, misalnya, dalam hukum perjanjian, antara lain, asas kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan iktikad baik.

Selain kedua ketentuan dalam Pasal 5 dan Pasal 6 tersebut, pembentukan peraturan perundang-undangan juga harus berpedoman, serta bersumber dan berdasar pada Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Hal tersebut terdapat dalam Pasal 2 dan Pasal 3 ayat (1) Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 yang dirumuskan sebagai berikut, Pasal 2 berbunyi, “Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum Negara”. Selanjutnya Pasal 3 ayat (1) berbunyi, “Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan hukum dasar dalam Peraturan Perundang-undangan”. Kedua pasal tersebut dapat dipahami atau dimaknai agar setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus sesuai dengan Pancasila sebagai Cita Hukum (rechtsidee) dan Norma Dasar Negara, sehingga kedua pasal tersebut berkaitan erat dengan Penjelasan Umum UUD 1945. Dari rumusan Penjelasan UUD 1945 menjadi jelaslah bahwa pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 yang tidak lain adalah Pancasila merupakan Norma Dasar Negara atau Norma Fundamental Negara (Staatsfundamentalnorm) dan sekaligus merupakan Cita Hukum.

Pembukaan UUD 1945 sebagai suatu Norma Fundamental Negara, yang menurut istilah Notonagoro merupakan Pokok Kaidah Fundamental Negara Indonesia atau menurut Hans Nawiasky adalah Staatsfundamentalnorm, ialah norma yang merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau undang-undang dasar dari suatu negara (Staatsverfassung), termasuk norma pengubahnya. Hakikat hukum suatu Staatsfundamentalnorm ialah syarat bagi berlakunya suatu konstitusi atau undang-undang dasar. Ia terlebih dahulu ada sebelum adanya konstitusi atau undang-undang dasar. Sedangkan konstitusi, menurut Carl Schmitt merupakan keputusan politik (eine Gessamtenschiedung uber Art und Form einer polistichen Einheit), yang disepakati oleh suatu bangsa. Apabila Penjelasan UUD 1945 menyatakan bahwa pokok-pokok pikiran yang terkandung Pembukaan UUD 1945 sebagai suatu Cita Hukum (Recthsidee), maka Pancasila adalah juga berfungsi sebagai suatu pedoman dan sekaligus tolok ukur dalam mencapai tujuan-tujuan masyarakat, yang dirumuskan dalam berbagai peraturan perundang-undangan.