Sabtu, 13 November 2010

HUKUM WARIS ISLAM DI INDONESIA


Tanpa sengaja ketika suatu hari saya pulang membeli makan siang, saya bertemu dengan seseorang yang merupakan tetangga saya yang kebetulan juga seorang pejabat (Ketua RT) di lingkungan tersebut. Beliau dengan sangat antusias menanyakan kepada saya perihal Hukum Waris Islam, apa dasarnya, siapa saja pihaknya dan bagimana pembagiannya. Sentak saya sangat terkejut, namun hati kecil saya berkata ‘tidak ada salahnya masyarakat menganggap semua Sarjana Hukum pasti paham mengenai hukum’ saya teringat Asas Hukum Acara Perdata (Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang No. 14 Tahun 1970) ‘Hakim dilarang menolak perkara bahkan bila hakim tidak dapat menemukan hukum tertulis maka ia wajib menggali hukum yang hidup dalam masyarakat atau mencari dalam Yurisprudensi’ walaupun saya bukan seorang Hakim saya suka bunyi asas itu, sangat mencirikan keadilan, bukankah masyarakat berhak mengetahui apa saja yang merupakan hak dan kewajibannya bahkan tanpa perlu mengeluarkan biaya. Ketika saya menempuh pendidikan Advokat (Mei 2007), hal yang sama pun diajarkan kepada kami ‘Bagian dari kewajiban advokat kepada masyarakat, adalah memberi bantuan jasa hukum yang mana memberi informasi termasuk dalam jasa hukum’ yang dipertegas dalam Kode Etik Advokat Indonesia.

Saya terlalu melebar sepertinya, baiklah saya akan mencoba berbagi berbagai hal yang saya ketahui tentang Hukum Waris Islam di Indonesia, tentunya yang saya kutip dari berbagai sumber baik Undang-undang maupun kajian-kajian hukum lainnya dengan menyebutkan sumbernya.

Sejarah dan Dasar Hukum Kewarisan Islam

Hukum kewarisan menurut Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam yang selanjutnya disebut INPRES No. 1/1991 tentang KHI adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing (Pasal 171 huruf a). Menurut H.A. Mukti Arto, Islam sebagai agama samawi mengajarkan hukum kewarisan, disamping hukum-hukum lainnya, untuk menjadi pedoman bagi umat manusia agar terjamin adanya kerukunan, ketertiban, perlindungan dan ketentraman dalam kehidupan di bawah naungan dan ridho Illahi. Aturan hukum kewarisan Islam diturunkan secara berangsur-angsur sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan kesadaran hukumnya sehingga menjadi suatu sistem hukum kewarisan yang sempurna. Selanjutnya H.A. Mukti Arto menjelaskan bahwa sejarah Hukum Kewarisan Islam tidak terlepas dari hukum kewarisan zaman Jahiliyah. Dasar untuk dapat saling mewarisi pada Zaman Jahiliyah adalah:

1. Adanya hubungan nasab/kekerabatan;

2. Adanya pengangkatan anak;

3. Adanya janji setia untuk bersaudara.


Ketiga jenis ahli waris tersebut disyaratkan harus laki-laki dan sudah dewasa. Oleh karena itu, perempuan dan anak-anak tidak dapat menjadi ahli waris. Kemudian pada masa permulaan Isalam di Madinah, Rasulullah SAW. Mempersaudarakan Muhajirin dengan Anshor, persaudaraan karena hijrah ini juga dijadikan dasar untuk saling mewarisi. Dalam perkembangannya, dasar saling mewarisi karena adanya pengangkatan anak, janji setia, dan persaudaraan karena hijrah inipun dihapus. Untuk selanjutnya berlaku hukum kewarisan yang ditetapkan oleh Al Qur’an dan As Sunah sebagai suatu ketentuan yang harus ditaati oleh setiap muslim.

Sejak dikeluarkannya Undang-Undang No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dimana kekuasaan Pengadilan Agama untuk memeriksa, mengadili, serta menyelesaikan sengketa waris dipulihkan kembali, maka kebutuhan terhadap hukum waris yang jelas, rinci, mudah dan pasti serta sesuai dengan tata kehidupan masyarakat Islam Indonesia yang bilateral semakin terasa mendesak. Untuk itu pulalah kemudian dikeluarkan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang diberlakukan dengan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991, tanggal 10 Juni 1991.

Pihak-Pihak Dalam Hukum Waris Islam

Ada beberapa pihak yang terdapat dalam Hukum Waris Islam, diantaranya:

1. Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan Pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan (Pasal 171 huruf b).

2. Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris (Pasal 171 huruf c). Selanjutnya, mengenai ahli waris tersebut secara lebih rinci dijelaskan dalam Pasal 172-175. Pasal-pasal tersebut membahas bagaimana seseorang terhalang menjadi ahli waris, Kelompok-kelompok ahli waris, kewajiban dan tanggung jawab ahli waris terhadap pewaris.

Besarnya Bahagian Waris

Sebelum kita membahas besarnya bahagian waris, sebaiknya kita memahami dulu beberapa istilah yang nantinya berhubungan dengan bahagian waris. Istilah-istilah tersebut yaitu:

1. Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya (Pasal 171 huruf d).

2. Harta waris adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat (Pasal 171 huruf e).

3. Wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia (Pasal 171 huruf f).

4. Hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki (Pasal 171 huruf g).

5. Anak angkat adalah anak yang dalam pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan Pengadilan (Pasal 171 huruf h)

6. Baitul Mal adalah Balai Harta Keagamaan (Pasal 171 huruf i).

Besarnya bahagian waris islam dalam KHI diatur pada Bab III Pasal 176-191 yang dapat dijabarkan secara garis besar sebagi berikut:

1. Anak perempuan bila hanya seorang ia mendapat separoh bagian, bila dua orang atau lebih mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian, dan apabila anask perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki, maka bagian anak laki-laki adalah dua berbanding satu dengan anak perempuan (Pasal 176).

2. Ayah mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, bila ada anak, ayah mendapat seperenam bagian (Pasal 177). Maksud pasal ini ialah ayah mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, tetapi meninggalkan suami dan ibu, bila ada anak, ayah mendapat seperenam bagian (Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 1994).

3. Ibu mendapat seperenam bagian bila ada anak atau dua saudara atau lebih. Bila tidak ada anak atau dua orang saudara atau lebih, maka ia mendapat sepertiga bagian (Pasal 178 (1)). Ibu mendapat sepertiga bagian dari sisa sesudah diambil oleh janda atau duda bila bersamasama dengan ayah (Pasal 178 (2)).

4. Duda mendapat separoh bagian, bila pewaris tidak meninggalkan anak, dan bila pewaris meninggalkan anak, maka duda mendapat seperempat bagaian (Pasal 179).

5. Janda mendapat seperempat bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, dan bila pewaris meninggalkan anak maka janda mendapat seperdelapan bagian (Pasal 180).

6. Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah, maka saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu masing-masing mendapat seperenam bagian. Bila mereka itu dua orang atau lebih maka mereka bersama-sama mendapat sepertiga bagian (Pasal 181).

7. Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah, sedang ia mempunyai satu saudara perempuan kandung atau seayah, maka ua mendapat separoh bagian. Bila saudara perempuan tersebut bersama-sama dengan saudara perempuan kandung atau seayah dua orang atau lebih, maka mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian. Bila saudara perempuan tersebut bersama-sama dengan saudara laki-laki kandung atau seayah, maka bagian saudara laki-laki dua berbanding satu dengan saudara perempuan (Pasal 182).

8. Para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan, setelah masing-masing menyadari bagiannya (Pasal 183).

9. Bagi ahli waris yang belum dewasa atau tidak mampu melaksanakan hak dan kewajibannyua, maka baginya diangkat wali berdasarkan keputusan Hakim atas usul anggota keluarga (Pasal 184).

10. Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada sipewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam Pasal 173 (Pasal 185 (1)). Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti (Pasal 185 (2)).

11. Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewaris dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya (Pasal 186).

12. Bilamana pewaris meninggalkan warisan harta peninggalan, maka oleh pewaris semasa hidupnya atau oleh para ahli waris dapat ditunjuk beberapa orang sebagai pelaksana pembagian harta warisan dengan tugas:

  1. Mencatat dalam suatu daftar harta peninggalan, baik berupa benda bergerak maupun tidak bergerak yang kemudian disahkan oleh para ahli waris yang bersangkutan, bila perlu dinilai harganya dengan uang;
  2. Menghitung jumlah pengeluaran untuk kepentingan pewaris sesuai dengan Pasal 175 ayat (1) sub a, b, dan c (Pasal 187 (1)).

Sisa dari pengeluaran dimaksud di atas adalah merupakan harta warisan yang harus dibagikan kepada ahli waris yang berhak (Pasal 187 (2)).

13. Para ahli waris baik secara bersama-sama atau perseorangan dapat mengajukan permintaan kepada ahli waris yang lain untuk melakukan pembagian harta warisan. Bila ada diantara ahli waris yang tidak menyetujui permintaan itu, maka yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan melalui Pengadilan Agama untuk dilakukan pembagian warisan (Pasal 188).

14. Bila warisan yang akan dibagi berupa lahan pertanian yang luasnya kurang dari 2 hektar, supaya dipertahankan kesatuannya sebagaimana semula, dan dimanfaatkan untuk kepentingan bersama para ahli waris yang bersangkutan (Pasal 189 (1)). Bila ketentuan tersebut pada ayat (1) pasal ini tidak dimungkinkan karena di antara para ahli waris yang bersangkutan ada yang memerlukan uang, maka lahan tersebut dapat dimiliki oleh seorang atau lebih ahli waris yang dengan cara membayar harganya kepada ahli waris yang berhak sesuai dengan bagiannya masing-masing (Pasal 189 (2)).

15. Bagi pewaris yang beristeri lebih dari seorang, maka masing-masing isteri berhak mendapat bagian atas gono-gini dari rumah tangga dengan suaminya, sedangkan keseluruhan bagian pewaris adalah menjadi hak para ahli warisnya (Pasal 190).

16. Bila pewaris tidak meninggalkanahli waris sama sekali atau ahli warisnya tidak diketahui ada atau tidaknya, maka harta tersebut atas putusan Pengadilan Agama diserahkan penguasaannya kepada Baitul Mal untuk kepentingan Agama Islam dan kesejahteraan umum (Pasal 191).

Pustaka:

- Drs. H.A. Mukti Arto, S.H, M.Hum, Pembahasan Kompilasi Hukum Islam (Hukum Kewarisan), http://www.badilag.net.

- Prof. Dr. Thahir Azhary, S.H., M.H., Hukum Waris Islam dan Permasalahannya, http://pemantauperadilan.com.

- Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.

- Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 1994.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

terimakasih sudah berbagi, tetap semangat dalam menulis...
jangan lupa kunjungi Bedah Buku Konstruksi Baru Budaya Hukum Berbasis Hukum Progresif karya Dr. M. Syamsudin