Kamis, 20 Januari 2011

Teori Partisipasi Publik (Pentingnya Partisipasi Publik Dalam Pembentukan Suatu Peraturan Daerah)



URGENSI PARTISIPASI PUBLIK DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH (#8)

Teori Partisipasi Publik (Pentingnya Partisipasi Publik Dalam Pembentukan Suatu Peraturan Daerah)

Partisipasi publik atau partisipasi masyarakat dalam penyusunan peraturan daerah merupakan hak masyarakat, yang dapat dilakukan baik dalam tahap penyiapan maupun tahap pembahasan. Dalam konteks hak asasi manusia, setiap hak pada masyarakat menimbulkan kewajiban pada pemerintah, sehingga haruslah jelas pengaturan mengenai kewajiban Pemerintahan Daerah untuk memenuhi hak atas partisipasi masyarakat dalam penyusunan Perda tersebut. Menurut Mahendra Putra Kurnia, titik tolak dari penyusunan suatu peraturan daerah adalah efektivitas dan evisiensinya pada masyarakat. Dengan kata lain, penarapan suatu peraturan daerah harus tepat guna dan berhasil guna, tidak mengatur golongan orang tetentu saja, dengan mengabaikan kepentingan golongan lain yang lebih banyak. Sehingga dalam proses penyusunannya, para pihak yang berkepentingan dan memiliki kaitan langsung ataupun tidak langsung terhadap kebijakan yang hendak diambil harus dilibatkan. Philipus M. Hadjon mengemukakan bahwa konsep partisipasi masyarakat berkaitan dengan konsep keterbukaan. Dalam artian, tanpa keterbukaan pemerintahan tidak mungkin masyarakat dapat melakukan peranserta dalam kegiatan-kegiatan pemerintahan. Selanjutnya dalam konsep demokrasi, asas keterbukaan atau partisipasi merupakan salah satu syarat minimum, sebagaimana dikemukakan oleh Burkens dalam buku yang berjudul Beginselen van de democratische rechsstaat, bahwa:

1. Pada dasarnya setiap orang mempunyai hak yang sama dalam pemilihan yang bebas dan rahasia;

2. Pada dasarnya setiap orang mempunyai hak untuk dipilih;

3. Setiap orang mempunyai hak-hak politik berupa hak atas kebebasan berpendapat dan berkumpul;

4. Badan perwakilan rakyat mempengaruhi pengambilan keputusan melalui sarana (mede) beslissing-recht (hak untuk ikut memutuskan dan atau melalui wewenang pengawas;

5. Asas keterbukaan dalam pengambilan keputusan dan sifat keputusan yang terbuka;

6. Dihormatinya hak-hak kaum minoritas.

Asas keterbukaan sebagai salah satu syarat minimum dari demokrasi terungkap pula dalam pendapat Couwenberg dan Sri Soemantri Mertosoewignjo. Menurut S.W. Couwenberg, 5 (lima) asas demokratis yang melandasi rechtsstaat, 2 (dua) diantaranya adalah asas pertanggungjawaban dan asas publik (openbaarheidsbeginsel), yang lainnya adalah asas hak-hak politik, asas mayoritas, dan asas perwakilan. Senada dengan itu, Sri Soemantri mengemukakan bahwa ide demokrasi menjelmakan dirinya dalam 5 (lima) hal, 2 (dua) diantaranya adalah pemerintah harus bersikap terbuka (openbaarheid van bestuur) dan dimungkinkannya rakyat yang berkepentingan menyampaikan keluhannya mengenai tindakan-tindakan penjabat yang dianggap merugikan. Tampak jelas bahwa dalam paham demokrasi terdapat asas keterbukaan, yang berkaitan dengan asas partisipasi masyarakat, sebagaimana pula dikemukakan oleh Franz Magnis-Suseno:

“Paham demokrasi atau kedaulatan rakyat mengandung makna, pemerintahan negara tetap di bawah kontrol masyarakat. Kontrol ini melalui 2 (dua) sarana: secara langsung melalui pemilihan para wakil rakyat dan secara tidak langsung melalui keterbukaan (publicity) pengambilan keputusan. Pertama, pemilihan wakil rakyat berkonsekuensi pada adanya pertanggungjawaban. Karena, jika partai-partai mau terpilih kembali dalam pemilihan berikut, mereka tidak dapat begitu saja mempermainkan kepercayaan para pendukung mereka, sehingga harus mempertanggungjawabkannya. Kedua, keterbukaan pengambilan keputusan merupakan suatu keharusan. Karena pemerintah bertindak demi dan atas nama seluruh masyarakat, maka seluruh masyarakat berhak untuk mengetahui apa yang dilakukannya. Bukan saja berhak mengetahui, juga berhak berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan”.

Selanjutnya Ann Seidman, Robert B. Seidman, dan Nalin Abeyserkere memaknai partisipasi sebagai berikut: bahwa pihak-pihak yang dipengaruhi oleh suatu keputusan yang ditetapkan the stakeholders (pihak yang mempunyai kepentingan) memiliki kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan, kritik dan mengambil bagian dalam pembuatan keputusan-keputusan pemerintahan. Pengertian partisipasi tersebut tidak jauh berbeda dengan pengertian partisipasi politik yang diberikan oleh Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson dalam Miriam Budiardjo, yaitu bahwa partisipasi politik adalah kegiatan warga negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah. Pengertian partisipasi politik sebagai kegiatan warga negara terlibat dalam proses pengambilan keputusan, dalam kepustakaan kebijakan publik di Belanda disebut inspraak atau partisipasi politik langsung. Ciri terpenting dari partisipasi politik langsung adalah tidak melalui proses perwakilan, melainkan warga negara berhubungan langsung dengan para pengambil keputusan. Dikaitkan dengan pendapat Herbert Mc Closky, bahwa partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung, dalam proses pembentukan kebijakan publik.

Tujuan dasar dari peran serta masyarakat adalah untuk menghasilkan masukan dan presepsi yang berguna dari warga negara dan masyarakat yang berkepentingan (public interest) dalam rangka meningkatkan kualitas pengambilan keputusan, karena dengan melibatkan masyarakat yang potensial terkena dampak akibat kebijakan dan kelompok kepentingan (interest group), para pengambil keputusan dapat menangkap pandangan, kebutuhan dan pengharapan dari masyarakat dan kelompok tersebut, untuk kemudian menuangkannya kedalam suatu konsep. Pandangan dan reaksi masyarakat itu, sebaliknya akan menolong pengambil keputusan (stakeholder) untuk menentukan prioritas, kepentingan dan arah yang pasti dari berbagai faktor. Selain itu, partisipasi publik juga merupakan pemenuhan terhadap etika politik yang menempatkan rakyat sebagai sumber kekuasaan dan kedaulatan. Menurut Sad Dian Utomo dalam Indra J. Piliang, manfaat partisipasi masyarakat dalam pembuatan kebijakan publik, termasuk dalam pembuatan peraturan daerah adalah:

1. Memberikan landasan yang lebih baik untuk pembuatan kebijakan publik;

2. Memastikan adanya implementasi yang lebih efektif karena warga mengetahui dan terlibat dalam pembuatan kebijakan publik;

3. Meningkatkan kepercayaan warga kepada eksekutif dan legislatif;

4. Efisiensi sumber daya, sebab dengan keterlibatan masyarakat dalam pembuatan kebijakan publik dan mengetahui kebijakan publik, maka sumber daya yang digunakan dalam sosialisasi kebijakan publik dapat dihemat.

Dari penjelasan tersebut diatas jelas menunjukan bahwa dalam proses pengambilan keputusan, termasuk pengambilan keputusan dalam bentuk peraturan daerah, terdapat hak masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses penyusunan peraturan daerah, yakni memberi masukan secara lisan atau tertulis dalam persiapan maupun pembahasan rancangan peraturan daerah.

Literatur:

- Mahendra Putra Kurnia, dkk, Pedoman Naskah Akademik PERDA Partisipatif, Kreasi Total Media, Yogyakarta, 2007.

- Ni Made Ari Yuliartini Griadhi, dkk, Partisipasi Masyarakat dalam Pembentukan Peraturan Daerah, Makalah Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Bali, 2007.

- Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, PT Bina Ilmu, Surabaya, 1987.

- Sri Soemantri M., Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung, 1992.

- Fanz Magnis-Suseno, Etika Politik Prinsipprinsip Moral dasar Kenegaraan Modern, PT. Gramedia, Jakarta, 1987.

- Ann Seidman, dkk, Penyusunan Rancangan Undang-undang Dalam Perubahan MasyarakatYang Demokratis, Proyek ELIPS Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Jakarta, 2001.

- Miriam Budiardjo, ed., Partisipasi dan Partai Politik, PT. Gramedia, Jakarta, 1981.

- Indra J. Piliang, dkk, Otonomi Daerah: Evaluasi dan Proyeksi, Penerbit Divisi Kajian Demokrasi Lokal Yayasan Harkat Bangsa, Jakarta, 2003.