Sabtu, 11 Desember 2010
Senin, 06 Desember 2010
Teori Perundang-undangan (Asas Peraturan Perundang-undangan)

URGENSI PARTISIPASI PUBLIK DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH (#2)
Teori Perundang-undangan (Asas Peraturan Perundang-undangan)
Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan adalah suatu pedoman atau suatu rambu-rambu dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Dalam bidang hukum yang menyangkut pembentukan peraturan perundang-undangan negara, Burkhardt Krems menyebutkannya dengan istilah Staatsliche Rechtssetzung, sehingga pembentukan peraturan menyangkut:
1. Isi peraturan (Inhalt der Regelung);
2. Bentuk dan susunan peraturan (Form der Regelung);
3. Metoda pembentukan peraturan (Methode der Ausarbeitung der Regelung); dan
4. Prosedur dan proses pembentukan peraturan (Verfahren der Ausarbeitung der Regelung).
Paul Scholten mengemukakan bahwa, sebuah asas hukum (rechtsbeginsel) bukanlah sebuah aturan hukum (rechtsregel). Untuk dapat dikatakan sebagai suatu aturan hukum, sebuah asas hukum adalah terlalu umum sehingga ia atau bukan apa-apa atau berbicara terlalu banyak (of niets of veel te veel zeide). Penerapan asas hukum secara langsung melalui jalan subsumsi atau pengelompokkan sebagai aturan tidaklah mungkin, karena itu terlebih dahulu perlu dibentuk isi yang lebih kongkrit. Dengan perkataan lain, asas hukum bukanlah hukum, namun hukum tidak dapat dimengerti tanpa asas-asas tersebut. Scholten mengemukakan lebih lanjut, adalah menjadi tugas ilmu pengetahuan hukum untuk menelusuri dan mencari asas hukum itu dalam hukum positif.
Berikut ini Penulis akan mengemukakan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan menurut 2 (dua) orang ahli, yaitu pendapat dari I.C. van der Vlies dan pendapat dari A. Hamid S. Attamimi serta menurut Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan:
1. Asas-asas pembentukan peraturan negara yang baik.
Menurut I.C. van der Vlies di dalam bukunya yang berjudul “Het wetsbegrip en beginselen van behoorlijke regelgeving”, asas-asas pembentukan peraturan negara yang baik (beginselen van behoorlijke regelgeving) dibagi dalam asas-asas yang formal dan material. Asas-asas yang formal meliputi:
a. Asas tujuan yang jelas (beginsel van duidelijke doelstelling);
b. Asas organ/lembaga yang tepat (beginsel van het juiste organ);
c. Asas perlunya pengaturan (het noodzakelijkheids beginsel);
d. Asas dapatnya dilaksanakan (het beginsel van uitvoerbaarheid);
e. Asas consensus (het beginsel van consensus).
Asas-asas yang material meliputi:
a. Asas tentang terminologi dan sistematika yang benar (het beginsel van duidelijke terminologi en duidelijke systemetiek);
b. Asas tentang dapat dikenali (het beginsel van de kenbaarheid);
c. Asas perlakuan yang sama dalam hukum (het rechtsgelijkheidsbeginsel);
d. Asas kepastian hukum (het rechtszekerheidsbeginsel);
e. Asas pelaksanaan sesuai dengan kemampuan individu (het beginsel van de individuele rechtsbedeling).
2. Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang patut.
A. Hamid S. Attamimi berpendapat, bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan Indonesia yang patut, adalah sebagai berikut:
a. Cita Hukum Indonesia;
Cita Hukum Indonesia yang tidak lain metupakan Pancasila (Sila-sila dalam hal tersebut berlaku sebagai Cita (Idee), yang berlaku sebagai “bintang pemandu”). Norma Fundamental Negara yang juga tidak lain melainkan Pancasila (Sila-sila dalam hal tersebut berlaku sebagai Norma).
b. Asas Negara Berdasar Atas Hukum dan Asas Pemerintahan Berdasar Sistem Konstitusi;
Asas Negara Berdasar Atas Hukum yang menempatkan Undang-Undang sebagai alat pengaturan yang khas berada dalam keutamaan hukum (der Primat des Recht). Asas-asas Pemerintahan Berdasar Sistem Konstitusi yang menempatkan Undang-Undang sebagai dasar dan batas penyelenggaraan kegiatan-kegiatan pemerintahan.
c. Asas-asas lainnya.
Asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang patut itu meliputi juga asas tujuan yang jelas, asas perlunya pengaturan, asas organ/lembaga dan materi muatan yang tepat, asas dapatnya dilaksanakan, asas dapatnya dikenali, asas perlakuan yang sama dalam hukum, asas kepastian hukum, asas pelaksanaan hukum sesuai dengan kemampuan individual. Apabila mengikuti pembagian mengenai adanya asas yang formal dan asas yang material, maka A. Hamid S. Attamimi cenderung untuk membagi asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang patut tersebut kedalam:
1) Asas-asas formal, dengan perincian:
a) Asas tujuan yang jelas;
b) Asas perlunya pengaturan;
c) Asas organ/lembaga yang tepat;
d) Asas materi muatan yang tepat;
e) Asas dapatnya dilaksanakan;
f) Asas dapatnya dikenali.
2) Asas-asas material, dengan perincian:
a) Asas sesuai dengan Cita Hukum Indonesia dan Norma Fundamental Negara;
b) Asas sesuai dengan Hukum Dasar Negara;
c) Asas sesuai dengan prinsip-prinsip Negara berdasar atas Hukum; dan
d) Asas sesuai dengan prinsip-prinsip Pemerintahan Berdasar Sistem Konstitusi.
3. Asas pembentukan peraturan peraturan perundang-undangan yang baik menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004.
Asas pembentukan peraturan peraturan perundang-undangan yang baik seperti dikemukakan diatas dirumuskan juga dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan khususnya diatur dalam Pasal 5 dan Pasal 6. Pasal 5 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 beserta penjelasanya, menjelaskan asas pembentukan peraturan perundang-undang yang baik, dirumuskan sebagai berikut:
a. Asas kejelasan tujuan;
Bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai.
b. Asas kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;
Bahwa setiap jenis Peraturan Perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga/pejabat Pembentuk Peraturan Perundang-undangan yang berwenang. Peraturan Perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum, apabila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak berwenang.
c. Asas kesesuaian antara jenis dan materi muatan;
Bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis Peraturan Perundang-undangannya.
d. Asas dapat dilaksanakan;
Bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus memperhitungkan efektifitas Peraturan Perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis maupun sosiologis.
e. Asas kedayagunaan dan kehasilgunaan;
Bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
f. Asas kejelasan rumusan;
Bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan Peraturan Perundang-undangan, sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.
g. Asas keterbukaan
Bahwa dalam proses Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan, dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam proses pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Jumat, 03 Desember 2010
Teori Perundang-Undangan (Istilah, Pengertian dan Ruang Lingkup)

URGENSI PARTISIPASI PUBLIK DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH (#1)
Teori Perundang-Undangan (Istilah, Pengertian dan Ruang Lingkup)
Bagir manan yang mengutip pendapat P. J. P. Tak tentang wet in materiele zin, melukiskan pengertian perundang-undangan dalam arti material yang esensinya sebagai berikut:
1. Peraturan perundang-undangan yang berbentuk tertulis. Karena merupakan keputusan tertulis, maka peraturan perundang-undangan sebagai kaidah hukum lazim disebut sebagai hukum tertulis (geschrevenrecht, written law).
2. Peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh pejabat atau lingkungan jabatan (badan, organ) yang mempunyai wewenang membuat peraturan yang berlaku mengikat umum (aglemeen).
3. Peraturan perundang-undangan bersifat mengikat umum, tidak dimaksudkan harus selalu mengikat semua orang. Mengikat umum hanya menunjukan bahwa peristiwa perundang-undangan tidak berlaku terahadap peristiwa konkret atau individu tertentu.
Konsep perundang-undangan juga dikemukakan oleh A. Hamid S. Attamimi, yang mengikuti pendapat I.C. van der Vlies tentang wet yang formal (het formele wetsbegrip) dan wet yang materiil (het materiele wetsbegrip). Pendapat ini didasarkan pada apa tugas pokok dari pembentuk wet (de wetgever). Berdasarkan pemikiran tersebut, maka yang disebut dengan wet formal adalah wet yang dibentuk berdasarkan ketentuan atribusi dari konstitusi, sementara wet yang materiil adalah suatu peraturan yang mengandung isi atau materi tertentu yang pembentukannya tunduk pada prosedur yang tertentu pula.
Perundang-undangan dalam Kamus Black’s Law Dictionary, dibedakan antara legislation dan regulation. Legislation lebih diberi makna sebagai pembentukan hukum melalui lembaga legislasi (the making of laws via Legislation). Regulation diberi pengertian aturan atau ketertiban yang dipaksakan melelui ketentuan hukum yang ditetapkan oleh pemerintah melalui wewenang eksekutif (rule or order having force of law issued by executive authority of government).
Maria Farida Indrati Soeprapto menyatakan bahwa Istilah perundang-undangan (legislation, wetgeving atau gezetzgebung) mempunyai 2 (dua) pengertian yang berbeda, yaitu:
1. Perundang-undangan merupakan proses pembentukan/proses membentuk peraturan-peraturan negara, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah;
2. Perundang-undangan adalah segala peraturan negara, yang merupakan hasil pembentukan peraturan peraturan, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah.
H. Soehino, memberikan pengertian istilah perundang-undangan sebagai berikut:
1. Pertama, berarti proses atau tata cara pembentukan peraturan-peraturan perundangan negara dari jenis dan tingkat tertinggi yaitu undang-undang sampai yang terendah, yang dihasilkan secara atribusi atau delegasi dari kekuasaan perundang-undangan.
2. Kedua, berarti keseluruhan produk peraturan-peraturan perundangan tersebut.
Pengertian perundang-undangan dalam hukum positif Indonesia disebutkan dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004, yang menyatakan bahwa “Peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum”.
Rincian jenis peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, ialah Undang-undang, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu), Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden yang memperoleh delegasi dari Undang-undang atau Peraturan Presiden, Keputusan Menteri dan Keputusan Kepala Lembaga Pemerintah Non Depertemen serta Departemen sertra Keputusan Direktur Jenderal Departemen yang memperoleh delegasi dari Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi, Keputusan ’badan’ Negara yang dibentuk berdasarkan atribusi suatu Undang-undang, Peraturan Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota, Keputusan Gubernur dan Bupati/Walikota, atau Kepala Daerah yang memperoleh delegasi dari peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Sesudah berlakunya Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004, jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan diatur dalam Pasal 7 ayat (1) yang terdiri atas:
1. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang;
3. Peraturan Pemerintah;
4. Peraturan Presiden;
5. Peraturan Daerah.
Peraturan Daerah yang dimaksud Pasal 7 ayat (1) huruf e menurut H. Abdul Latief, meliputi:
1. Peraturan Daerah Provinsi dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi bersama dengan Kepala Daerah (Gubernur);
2. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota bersama Bupati/Walikota;
3. Peraturan Desa/Peraturan yang setingkat, dibuat oleh Badan Perwakilan Desa atau nama lainnya bersama dengan Kepala Desa atau nama lainnya.
Selanjutnya, Pasal 7 ayat (4) Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 menjelaskan bahwa “jenis peraturan perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi”. Penjelasan dari Pasal 7 ayat (4) menyatakan bahwa “Jenis Peraturan Perundang-undangan selain dalam ketentuan ini, antara lain, peraturan yang dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Bank Indonesia, Menteri, Kepala Badan, Lembaga, atau Komisi yang setingkat yang dibentuk oleh undang-undang atau Pemerintah atas perintah undang-undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat”.
Masing-masing jenis peraturan perundang-undangan tersebut mempunyai fungsi sendiri-sendiri. Undang-undang misalnya, berfungsi antara lain mengatur lebih lanjut hal yang tegas-tegas ‘diminta’ oleh ketentuan UUD dan Ketetapan MPR. Dari semua Jenis peraturan perundang-undangan, hanya undang-undang dan peraturan daerah saja yang pembentukannya memerlukan persetujuan bersama antara Presiden dan DPR, antara Kepala Daerah dan DPRD, lain-lainnya tidak. Oleh karena itu, untuk dapat mengetahui materi muatan berbagai jenis peraturan perundang-undangan perlu diketahui terlebih dahulu materi muatan undang-undang. Secara garis besar undang-undang ialah ‘wadah’ bagi sekumpulan materi tertentu, yang meliputi:
1. Hal-hal yang oleh Hukum Dasar (Batang Tubuh UUD 1945 dan TAP MPR) diminta secara tegas-tegas ataupun tidak untuk ditetapkan dengan undang-undang.
2. Hal-hal yang menurut asas yang dianut Pemerintah Negara Republik Indonesia sebagai Negara berdasar Atas Hukum atau Rechtstaat diminta untuk diatur dengan undang-undang.
3. Hal-hal yang menurut asas yang dianut Pemerintah Negara Republik Indonesia yaitu Sistem Konstitusi atau Constitutioneel Systeem diminta untuk diatur dengan undang-undang.
Selanjutnya, sebagai konsekuensi dari hak mengatur dan mengurus rumah tangga atas inisiatif sendiri, maka kepada pemerintah lokal yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri perlu dilengkapi dengan alat perlengkapan daerah yang dapat mengeluarkan peraturan-peraturannya, yaitu Peraturan Daerah (Perda). Menurut Mahendra Putra Kurnia, keberadaan Peraturan Daerah merupakan conditio sine quanon atau syarat absolut/syarat mutlak dalam rangka melaksanakan kewenangan otonomi tersebut. Selanjutnya menurut Suko Wiyono seperti dikutip oleh Mahendra Putra Kurnia, Peraturan Daerah harus dijadikan pedoman bagi pemerintah daerah dalam melaksanakan urusan-urusan di daerah. Disamping itu Peraturan Daerah juga harus memberikan perlindungan hukum bagi rakyat di daerah.
Kewenangan pemerintah daerah dalam membentuk sebuah Peraturan Daerah berlandaskan pada Pasal 18 ayat (6) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan, “Pemerintahan daerah berhak menetapkan Peraturan Daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan”. Peraturan Daerah merupakan bagian integral dari konsep peraturan perundang-undangan. Dalam Pasal 1 ayat (7) Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Peraturan Daerah adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama Kepala Daerah.
Bagir Manan berpendapat bahwa, peraturan perundang-undangan tingkat daerah diartikan sebagai peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh pemerintah daerah atau salah satu unsur pemerintahan daerah yang berwenang membuat peraturan perundang-undangan tingkat daerah. Selanjutnya menurut Suko Wiyono seperti dikutip oleh Mahendra Putra Kurnia, Peraturan Daerah merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi serta merupakan peraturan yang dibuat untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan yang ada diatasnya dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah. Peraturan Daerah dilarang bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi serta Perda daerah lain. Hans Kelsen memberikan definisi peraturan perundang-undangan di tingkat daerah sebagai berikut, “Peraturan perundang-undangan tingkat daerah diartikan sebagai peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh pemerintah daerah atau salah satu unsur pemerintah daerah yang berwenang membuat peraturan perundang-undangan di daerah”. Pasal 1 angka 10 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 mendefinisikan bahwa, “Peraturan daerah selanjutnya disebut Perda adalah peraturan daerah provinsi dan/atau peraturan daerah kabupaten/kota”.
Mengenai ruang lingkup Peraturan Daerah, diatur dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004, yang menjelaskan bahwa Peraturan Daerah meliputi:
1. Perturan Daerah Provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah provinsi bersama dengan gubernur.
2. Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten/kota bersama bupati/walikota.
3. Peraturan Desa/peraturan yang setingkat dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya.
Jenis dan bentuk produk hukum daerah terdapat dalam Pasal 2 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 2006 tentang Jenis dan Bentuk Produk Hukum Daerah, pasal tersebut menyebutkan jenis dan bentuk produk hukum daerah terdiri atas:
1. Peraturan Daerah;
2. Peraturan Kepala Daerah;
3. Peraturan Bersama Kepala Daerah;
4. Keputusan Kepala Daerah;
5. Instruksi Kepala Daerah.
Menurut Mahendra Putra Kurnia, secara lebih jelas mengenai produk hukum daerah, diatur dalam Pasal 2 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16 Tahun 2006 tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah, yang menyatakan bahwa “Produk hukum daerah bersifat pengaturan dan penetapan”. Dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal 3 ayat (1) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16 Tahun 2006, bahwa produk hukum daerah yang bersifat pengaturan meliputi:
1. Peraturan Daerah atau sebutan lain;
2. Peraturan Kepala Daerah; dan
3. Peraturan Bersama Kapala Daerah.
Ayat-ayatnya menjelaskan bahwa produk hukum yang bersifat penetapan meliputi:
1. Keputusan Kepala Daerah; dan
2. Instruksi Kepala Daerah.
Sedangkan menurut Abdul Latief, peraturan perundang-undangan di tingkat daerah terdiri dari peraturan daerah dan peraturan/keputusan kepala daerah yang mempunyai sifat mengatur.
Pustaka
- Mahendra Putra Kurnia, Pedoman Naskah Akademik PERDA Partisipatif, Kreasi Total Media, Yogyakarta, 2007.
- Maria Farida Indrati. S, Ilmu Perundang-undangan; Dasar-dasar dan Pembentukannya, Kanisius, Yogyakarta, 2007.
- Soehino, Hukum Tata Negara; Teknik Perundang-undangan (Setelah Dilakukan Perubahan Pertama dan Perubahan Kedua Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945), BPFE, Yogyakarta, 2006.
- H. Abdul Latief, Hukum dan Peraturan Kebijaksanaan (Beleidsregel) pada Pemerintahan Daerah, UII Press, Yogyakarta, 2005.
Langkah-langkah Legal Problem Solving dan Penyusunan Legal Opinion

Judul Buku: Argumentasi Hukum
Penulis: Philipus M. Hadjon
Tatiek Sri Djatmiati
Bahasa: Indonesia
Halaman: 100
Tahun: 2005
Penerbit: Gadjah Mada University Press
Kenyataan menunjukkan bahwa salah satu dampak negatif kekayaan dan kemakmuran adalah merosotnya moral. Kemerosotan moral ini sangat berbahaya, sebab ia mendorong lahirnya berbagai kejahatan dan kekerasan. Tidak heran bila banyak tokoh masyarakat yang menghimbau agar pemerintah dan masyarakat secara bersama-sama berjuang memelihara moral anak bangsa.
Tetapi, bersamaan dengan perjuangan itu, hukumnya juga harus diperkuat agar lebih responsif dan masuk akal. Kalau ada individu yang terpaksa berbuat jahat atau melakukan kekerasan, ada hukum positif yang bisa memberikan sanksi yang rasional dan adil. Dengan sanksi semacam itu, diharapkan dia kapok berbuat jahat atau melakukan kekerasan.
Buku ini, sebenarnya coba menjelaskan seluk-beluk argumentasi hukum. Penjelasan dimulai dan keberadaan ilmu hukum sebagai ilmu jenis sendiri, diikuti oleh pembahasan tentang logika hukum, uraian tentang dasar argumentasi hukum, diskusi tentang langkah pemecahan masalah hukum dan diakhiri oleh contoh-contoh legal opinion. Dengan semua penjelasan ini kita jadi maklum bahwa setiap individu perlu mengenal argumentasi hukum. Berkat argumentasi hukum itulah seorang individu yang merasa dirugikan bisa menuntut ganti rugi pihak yang merugikannya secara rasional. Berkat argumentasi hukum itu pula seorang individu bisa paham kedudukan hukum dalam menjalani kehidupannya. Tidak terlalu berlebih-lebihan bila buku itu pantas dibaca oleh setiap individu dewasa.
PEROLEHAN HAK ATAS TANAH OLEH PEMERINTAH DEMI KEPENTINGAN UMUM

Tanah memiliki arti yang sangat penting dalam kehidupan manusia, karena sebagian besar kehidupan manusia bergantung pada tanah. Mengingat sangat pentingnya tanah tersebut dalam kehidupan manusia serta terbatasnya jumlah tanah yang ada, maka sangat wajar jika semakin hari harga tanah akan semakin naik. Kegiatan pembangunan sebagaimana halnya di Indonesia terutama sekali pembangunan di bidang materil baik di kota maupun di desa banyak sekali memerlukan tanah sebagai tempat penampungan kegiatan pembangunan dimaksud. Pengadaan berbagai proyek pembuatan dan pelebaran jalan semuanya memerlukan tanah sebagai tempat penampungan dan sebagai sarana utamanya. Usaha-usaha pengembangan perkotaan baik berupa perluasan dengan membuka tempat-tempat pemukiman baru di pinggiran kota maupun usaha-usaha pemekarannya sesuai dengan tata kota senantiasa membutuhkan tanah untuk keperluan tersebut.
Ada berbagai kepentingan yang berkaitan dengan persoalan tanah dalam pembangunan. Di satu pihak pembangunan sangat memerlukan tanah sebagai sarana utamanya, sedang di lain pihak sebagian besar dari warga masyarakat memerlukan juga tanah tersebut sebagai tempat pemukiman dan tempat mata pencaharian. Bilamana tanah tersebut diambil begitu saja dan dipergunakan untuk keperluan pemerintah, maka jelas kita harus mengorbankan hak asasi yang seharusnya jangan sampai terjadi dalam negara yang menganut prinsip-prinsip rule of law akan tetapi bilamana ini dibiarkan saja maka usaha-usaha pembangunan akan macet.
Fungsi dan peranan tanah dalam berbagai sektor kehidupan manusia memiliki 4 (empat) aspek yang sangat strategis, yaitu aspek ekonomi, politik, hukum, dan aspek sosial. Menurut H. Idham, keempat aspek tersebut merupakan isu sentral yang paling terkait sebagai satu kesatuan yang terintegrasi dalam pengambilan proses kebijakan hukum pertanahan yang dilakukan oleh pemerintah. Demikian pentingnya peranan (kegunaan) tanah dalam rangka pembangunan sehingga pada akhirnya mengharuskan masyarakat untuk mengorbankan hak-hak pribadinya demi berlangsungnya pembangunan.
Peranan Pemerintah Atas Tanah Dalam Rangka Melaksanakan Pembangunan.
Secara teoretis dan praktis, terdapat perbedaan antara pemerintahan dan pemerintah. Pemerintahan adalah segala urusan yang dilakukan oleh negara dalam menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat dan kepentingan negara. Dengan kata lain, pemerintahan adalah bestuurvoering atau pelaksanaan tugas pemerintah, sedangkan pemerintah ialah organ/alat atau aparat yang menjalankan pemerintahan.
Pemerintahan sebagai sebagai alat kelengkapan negara dapat diartikan secara luas (in the broad sense) dan dalam arti sempit (in the narrow sense). Pemerintah dalam arti luas itu mencakup semua alat kelengkapan negara, yang pada pokoknya terdiri dari cabang-cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif atau alat kelengkapan negara lain yang bertindak untuk dan atas nama negara, sedangkan dalam pengertian sempit pemerintah adalah cabang kekuasaan eksekutif.
Dalam rangka pemamfaatan tanah, Salah satu prinsip dasar yang diletakkan oleh pemerintah adalah untuk sebesar mungkin kemakmuran rakyat, yaitu dengan cara meletakkan kepentingan nasional diatas kepentingan individu sekalipun ini tidak berarti kepentingan individu atau golongan tertentu dapat dikorbankan begitu saja untuk kepentingan umum. Hal ini terlihat secara tegas dalam berbagai ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA), yaitu:
1. Pasal 6 Undang-Undang Pokok Agraria, menunjukkan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.
Dalam pemakaian sesuatu hak atas tanah harus memperhatikan kepentingan masyarakat seperti juga dalam bunyi Pasal 33 UUD 1945, yaitu Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara, dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Walaupun Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 tidak mencantumkan dengan tegas kata-kata fungsi sosial, namun harus di tafsirkan bahwa fungsi sosial dari hak milik primair diartikan hak milik itu tidak boleh merugikan kepentingan masyarakat. Dengan demikian pengertian fungsi sosial dari pada tanah adalah jalan komprorni atau hak mutlak dari tanah seperti tersebut dalam penjelasan Undang-Undang Pokok Agraria. Bahwa keperluan tanah tidak saja diperkenankan semata-mata untuk kepentingan pribadi, kegunaannya harus disesuaikan dengan keadaannya dan sifat dari haknya sehingga bemanfaat, baik untuk pribadi maupun bemanfaat untuk masyarakat.
Dengan demikian dapat disimpulkan hak atas tanah dalarn Pasal 6 Undang-Undang Pokok Agraria berarti bukan saja hak milik tetapi sernua hak atas tanah dalam arti hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha dan hak pakai mempunyai fungsi sosial, dengan ini berati semua hak atas tanah dapat mengisi kepentingan nasional dari rakyat untuk kemakmuran rakyat.
2. Pasal 5 Undang-Undang Pokok Agraria, memberikan batasan terhadap berlakunya hukum adat dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa.
Dari redaksi Pasal 5 Undang-Undang Pokok Agraria pengertian hukum adat mempunyai arti yang tersendiri, dimana terdapat pembatasan terhadap hukum adat tersebut. Pembatasan tersebut adalah:
- Hukum adat tidak boleh bertentangan dengan sosialisme Indonesia.
- Hukum adat tidak boleh bertentangan dengan negara dan kepentingan nasional yang berdasarkan persatuan bangsa.
- Hukum adat tidak boleh bertentangan dengan kesatuan (perUndang-Undangan lainnya).
- Hukum adat harus mengindahkan unsur-unsur yang berdasarkan pada agama.
Sedemikian ketatnya pembatasan terhadap hukum adat walaupun di dalam Pasal 3 Undang-Undang Pokok Agraria membuat suatu pengakuan yang tegas terhadap hak ulayat dan hak-hak yang serupa yang tunduk pada hukum adat.
Namun demikian pengakuan tersebut bila ditinjau dari segi yuridis fomal adalah merupakan suatu kemajuan tentang kedudukan hak ulayat dalam Undang-Undang Pokok Agraria, jadi dengan adanya pengakuan terhadap hak ulayat secara fomal ini akan dapat mengisi pembangunan nasional disatu pihak dan kepentingan umum secara bersama dilain pihak. Dengan demikian pemecahan pemasalahan hak ulayat untuk turut serta dalam pembangunan secara serius dan menyeluruh dapat terlaksana dalam dimensi yuridis dengan memperhatikan aspek-aspek sosial, politik, ekonomi dan kultural agar supaya hal yang demikian tidak akan berkembang menjadi suatu keresahan yang dapat menggangu stabilitas masyarakat.
3. Pasal 18 Undang-Undang Pokok Agraria.
Pasal ini mengatur tentang pencabutan hak atas tanah untuk kepentingan umum. Pasal ini berbunyi:
“Untuk kepentingan umum, temasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan Undang-Undang.”
Jika kita amati bunyi pasal ini, maka memungkinkan negara untuk mencabut hak atas tanah untuk kepentingan sosial. Ketentuan pencabutan hak ini merupakan ketentuan yang memungkinkan negara untuk melaksanakan politik dan strategi pertahanan keamanan. Dalam pencabutan hak atas tanah untuk kepentingan umum sebagaimana yang kemudian diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-hak Tanah Dan Benda-benda Yang Ada Diatasnya, maka pencabutan hak dimaksud hanya memungkinkan bilamana ada suatu kepentingan umum yang benar-benar menghendakinya. Kepentingan ini misalnya untuk pembuatan jalan raya, Pelabuhan, bangunan untuk industri pertambangan, perumahan dan kesehatan masyarakat serta lainnya dalam rangka pelaksanaan pembangunan nasional.
Perolehan Hak Atas Tanah Oleh Pemerintah Demi Kepentingan Umum.
Untuk memperoleh tanah yang akan digunakan untuk kepentingan umum, pemerintah dapat melakukan 3 (tiga) cara, yaitu Pencabutan hak, Pembebasan hak dan Pelepasan hak. Untuk lebih jelas mengenai ketiga cara perolehan tanah oleh pemerintah diatas, maka berikut ini akan dijabarkan satu persatu.
1. Pencabutan hak
Pencabutan hak diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-hak Tanah Dan Benda-benda Yang Ada Diatasnya. Pencabutan hak merupakan wewenang dari Presiden sebagai Kepala Pemerintahan.dan kewenangan ini tidak dapat dilimpahkan kepada pejabat dibawahnya, sehingga pencabutan hak harus melalui Keputusan Presiden (Keppres). Menurut Prof. Muchsan, definisi dari pencabutan hak atas tanah adalah hapusnya hubungan hukum antara tanah dengan pemengang haknya yang dilakukan secara paksa demi memenuhi kepentingan umum, dengan pemberian ganti kerugian yang layak.
Jika melihat definisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa pencabutan hak atas tanah memiliki 4 (empat) unsur, yaitu:
a. Harus ada penghapusan hubungan hukum antara tanah dengan pemegang haknya. Wujud konkrit dari penghapusan hak adalah hilangnya hak dan kewajiban atas tanah.
b. Penghapusan tersebut dilakukan secara paksa. Pencabutan adalah perbuatan yang sepihak, dan dipaksakan tanpa perlu menunggu kesepakatan.
c. Pencabutan dilakukan demi pemenuhan kepentingan umum. Yang dimaksud dengan kepentingan umum disini, diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961, yang berbunyi:
“Untuk kepentingan umum, temasuk kepentingan Bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, demikian pula kepentingan pembangunan, maka Presiden dalam keadaan yang memaksa setelah mendengar Menteri Agraria, Menteri Kehakiman dan Menteri yang bersangkutan dapat mencabut hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada diatasnya”.
Menurut Prof. Muchsan, pengertian kepentingan umum dalam pasal ini bersifat abstrak karena tidak dapat menjelaskan secara pasti mengenai apa yang dimaksud dengan kepentingan umum tersebut.
d. Ada ganti kerugian yang layak.
Ganti kerugian dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961, berlandaskan pada 3 (tiga) hal, yaitu:
1) Ada panitia pencabutan hak atas tanah yang dibentuk oleh eksekutif.
2) Ganti rugi yang layak meliputi harga tanah dan benda-benda yang ada diatasnya.
3) Harus ada pemukiman pengganti (Pemukti).
Untuk dapat melaksanakan pencabutan hak atas tanah, harus melalui berbagai prosedur yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961, prosedur pencabutan tanah terdiri dari:
a. Pihak yang membutuhkan tanah mengajukan pemohonan kepada Presiden. Perihal pemohonan diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961, yang berbunyi:
“Pemintaan untuk melakukan pencabutan hak atas tanah dan/atau benda tersebut pada Pasal 1 diajukan oleh yang berkepentingan kepada Presiden dengan perantaraan Menteri Agraria, melalui Kepala Inspeksi Agraria yang bersangkutan.”
Sedangkan mengenai syarat-syarat pemohonan, diatur dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961, yang berbunyi:
“Pemintaan tersebut ayat (1) pasal ini oleh yang berkepentingan disertai dengan: a. rencana peruntukannya dan alasan-alasannya, bahwa untuk kepentingan umum harus dilakukan pencabutan hak itu; b. keterangan tentang nama yang berhak (jika mungkin) serta letak, luas dan macam hak dari tanah yang akan dicabut haknya serta benda-benda yang bersangkutan; c. rencana penampungan orang-orang yang haknya akan dicabut itu dan kalau ada, juga orang-orang yang menggarap tanah atau menempati rumah yang bersangkutan“.
b. Presiden memerintahkan kepada Kepala Daerah untuk membentuk Panitia Pencabutan Hak. Sususnan panitia seluruhnya eksekutif yang terdiri dari Kepala Daerah dan Wakilnya, Kantor Pertanahan, Kantor Pendaftaran Tanah dan Kepala Desa.
Adapun fungsi dari Panitia Pencabutan Hak adalah sebagi berikut:
a. Menetapkan pencabutan hak.
b. Menetapkan jumlah ganti kerugian, baik yang berbentuk uang maupun yang berbentuk tanah.
c. Menampung keberatan yang timbul dari pencabutan hak atas tanah.
Mengenai keberatan atas pencabutan hak atas tanah dapat mengajukan Gugatan ke Pengadilan Tinggi untuk pertama dan terakhir kali. Gugatan tersebut bersifat Perdata karena perbuatannya merupakan Perbuatan Melawan Hukum sesuai dengan Pasal 1365 Burgelijk Wetboek (BW). Lebih jauh mengenai gugatan terhadap keberatan yang timbul dari pencabutan hak atas tanah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1973.
Analisis terhadap Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak Tanah Dan Benda-Benda Yang Ada Diatasnya, menurut Prof. Muchsan.
- Fomil:
Secara fomil Undang-Undang ini sudah bagus, karena telah memenuhi unsur-unsur berikut:
1) Disusun dalam bentuk Undang-Undang, yang artinya dalam hal ini ada proses demokrasi dalam membuat peraturan tersebut.
2) Kewenangan mencabut ada ditangan Presiden sebagai Pejabat Tata Usaha Negara tertinggi, artinya obyektifitas dari Undang-Undang tersebut dapat terjaga.
3) Dalam rangka pemberian ganti rugi, selain tanah dan benda-benda yang ada diatasnya masih ada pemukiman pengganti (Pemukti).
- Materil:
Secara materil Undang-Undang ini belum dianggap baik untuk dapat melindungi kepentingan pemegang hak atas tanah, alasannya adalah:
1) Didalam kepanitiaan pencabutan hak atas tanah, rakyat atau pemegang hak atas tanah tidak terwakili.
2) Semua ganti rugi atas pola ukur pemerintah.
3) Pengertian kepentingan umum dirumuskan secara abstrak.
2. Pembebasan Hak
Mengenai pembebasan hak diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975. Menurut Prof. Muchsan, definisi dari pembebasan tanah adalah hapusnya hubungan hukum antara tanah dengan pemegang haknya yang dilakukan secara musyawarah mufakat, demi pemenuhan kepentingan umum dengan pemberian ganti rugi yang layak. Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan pembebasan hak harus memenuhi 4 (empat) unsur, yaitu:
a. Ada suatu tindakan yang menghapus hubungan hukum antara tanah dengan pemiliknya;
b. Ada musyawarah dan mufakat dalam pengambilan keputusan;
Artinya perbuatan pembebasan tanah tidak boleh dipaksakan.
c. Harus ada kepentingan umum;
d. Harus ada ganti rugi yang layak.
Yang diganti hanya harga tanah saja, benda diatasnya dan pemukiman pengganti (Pemukti) tidak ada.
Untuk dapat melaksanakan pembebasan hak atas tanah, maka harus melalui prosedur yang telah ditetapkan. Prosedur pembebasan hak atas tanah meliputi:
- Harus ada panitia pembebasan hak. Struktur organisasi dan kewenangannya sama dengan panitia pencabutan hak.
- Panitia pembebas hak melakukan musyawarah dengan pemilik tanah.
- Apabila mufakat gagal, kewenangan terakhir ada pada Gubernur. Dalam hal ini Gubernur dapat melaksanakan prosedur pencabutan hak atas tanah.
Analisis terhadap Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975 secara fomil dan meteril merugikan, karena:
- Bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak Tanah Dan Benda-Benda Yang Ada Diatasnya;
- Yang memerlukan tanah adalah eksekutif, tetapi peraturan yang mengatur berbentuk Peraturan Menteri Dalam Negeri (Pemendagri), sehingga rakyat tidak terlindungi;
- Dari segi meteri peraturan bersifat kontradiktif;
- Ganti rugi mengambang;
- Upaya hukum sama sekali tidak diberikan, sehingga tidak ada perlindungan hukum bagi masyarakat.
3. Pelepasan Hak
Mengenai pelepasan hak atas tanah diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Dalam Keppres ini yang dimaksud dengan Pelepasan atau penyerahan hak atas tanah adalah kegiatan melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan tanah yang dikuasainya dengan memberikan ganti kerugian atas dasar musyawarah. Kepentingan umum dalam Keppres ini dirumuskan sebagai kepentingan dari seluruh lapisan masyarakat.
Ketentuan tentang pengadaan tanah dalam Keputusan Presiden ini semata-mata hanya digunakan untuk pemenuhan kebutuhan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum. Cara memperoleh tanah yang diatur dalam Keppres ini juga bemacam-macam, yaitu dengan cara jual-beli, tukar-menukar, atau cara lain yang disepakati secara sukarela oleh pihak-pihak yang bersangkutan dan dilaksanakan bedasarkan prinsip penghomatan terhadap hak atas tanah.
Pada Keppres ini, dijelaskan mengenai pembatasan tentang pembangunan apa saja yang dapat menggunakan prosedur ini, diantaranya untuk:
a. Jalan umum, saluran pembuangan air;
b. Waduk, bendungan dan bangunan pengairan lainnya temasuk saluran irigasi;
c. Rumah Sakit Umum dan Pusat-pusat Kesehatan Masyarakat;
d. Pelabuhan atau bandar udara atau teminal;
e. Peribadatan;
f. Pendidikan atau sekolahan;
g. Pasar Umum atau Pasar Inpres;
h. Fasilitas pemakaman umum
i. Fasilitas pemakaman umum Fasilitas keselamatan umum seperti antara lain tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar dan lain-lain bencana;
j. Pos dan telekomunikasi;
k. Sarana olah raga;
l. Stasion penyiaran radio, televisi beserta sarana pendukungnya;
m. Kantor Pemerintah;
n. Fasilitas Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
Mengenai panitia pengadaan tanah untuk kepentingan umum, dibentuk oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I dan dibentuk juga di setiap Kabupaten dan Kotamadya Daerah tingkat II. Susunan dari panitia pengadaan tanah untuk kepentingan umum serta wewenangnya tersebut diatur dalam Pasal 7 dan 8 Keppres ini.
Musyawarah pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum, dilaksanakan langsung antara pemegang hak atas tanah yang bersangkutan dan instansi Pemerintah yang memerlukan, yang dipimpin langsung oleh Ketua Panitia Pengadaan Tanah.
Perihal ganti kerugian dalam rangka pengadaan tanah, diberikan untuk:
a. hak atas tanah;
b. bangunan;
c. tanaman;
d. benda-benda lain, yang berkaitan dengan tanah.
Adapun bentuk ganti kerugian dalam rangka pengadaan tanah, dapat berupa:
a. uang;
b. tanah pengganti;
c. pemukiman kembali;
d. gabungan dari dua atau lebih untuk ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c; dan
e. bentuk lain yang disetujui oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Bagi penggantian terhadap bidang tanah yang dikuasai dengan hak ulayat diberikan dalam bentuk pembangunan fasilitas umum atau bentuk lain yang bemanfaat bagi masyarakat setempat. Dasar dan cara perhitungan ganti kerugian ditetapkan atas dasar diatur dalam Pasal 15 Keppres ini, yaitu:
a. harga tanah yang didasarkan atas nilai nyata atau sebenarnya, dengan memperhatikan nilai jual obyek Pajak Bumi dan Bangunan yang terakhir untuk tanah yang bersangkutan;
b. nilai jual bangunan yang ditaksir oleh instansi Pemerintah Daerah yang bertanggung jawab di bidang bangunan;
c. nilai jual tanaman yang ditaksir oleh instansi Pemerintah Daerah yang bertanggung jawab di bidang pertanian.
Pustaka
§ Y. Wartaya Winangun, Tanah Sumber Nilai Hidup,Kanisius, Yogyakarta, 2004.
§ H. Idham, Konsolidasi Tanah Perkotaan dalam Prespektif Otonomi Daerah, Bandung, 2004.
§ Nata Saputra, Hukum Administrasi Negara, Rajawali, Jakarta, 1988.
§ Bagir Manan, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung, 1997.
§ Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria
§ Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak Tanah Dan Benda-Benda Yang Ada Diatasnya.
§ Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.