Senin, 10 Januari 2011

Teori Desentralisasi (Pembagian Urusan Pemerintahan di Indonesia)


URGENSI PARTISIPASI PUBLIK DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH (#6)

Teori Desentralisasi (Pembagian Urusan Pemerintahan di Indonesia)

Pembagian urusan Pemerintahan di Indonesia diatur dalam Pasal 10 sampai dengan Pasal 18 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004. Dalam Pasal 10 ayat (10) dinyatakan bahwa “Pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-Undang ini ditentukan menjadi urusan Pemerintah”. Sedangkan pada ayat (2) dinyatakan “Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan”. Berdasarkan pasal tersebut diatas dapat dikatakan bahwa Pemerintah Daerah dalam pemerintahannya menjalankan otonomi otonomi seluas-luasnya berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan. Secara singkatnya pembagian urusan pemerintahan di Indonesia terbagi dalam tiga asas, yaitu desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan.

Terkait dengan pelaksanaan otonomi masih ada beberapa hal yang masih menjadi urusan Pemerintah Pusat, hal ini tercantum dalam Pasal 10 ayat (3) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 beserta penjelasannya, yaitu:

1. Politik luar negeri;

Yang dimaksud dengan urusan politik luar negeri dalam arti mengangkat pejabat diplomatik dan menunjuk warga negara untuk duduk dalam jabatan lembaga internasional, menetapkan kebijakan luar negeri, melakukan perjanjian dengan negara lain, menetapkan kebijakan perdagangan luar negeri, dan sebagainya.

2. Pertahanan;

Yang dimaksud dengan urusan pertahanan misalnya mendirikan dan membentuk. angkatan bersenjata, menyatakan damai dan perang, menyatakan negara atau sebagian wilayah negara dalam keadaan bahaya, membangun dan mengembangkan sistem pertahanan negara dan persenjataan, menetapkan kebijakan untuk wajib militer, bela negara bagi setiap warga negara dan sebagainya.

3. Keamanan;

Yang dimaksud dengan urusan keamanan misalnya mendirikan dan membentuk kepolisian negara, menetapkan kebijakan keamanan nasional, menindak -setiap orang, kelompok atau organisasi yang kegiatannya mengganggu keamanan negara dan sebagainya.

4. Yustisi;

Yang dimaksud dengan urusan yustisi misalnya mendirikan lembaga peradilan, mengangkat hakim dan jaksa, mendirikan lembaga pemasyarakatan, menetapkan kebijakan kehakiman dan keimigrasian, memberikan grasi, amnesti, abolisi, membentuk undang-undang, Peraturan Pemerintah pengganti undang-undang, Peraturan Pemerintah, dan peraturan lain yang berskala nasional.

5. Moneter dan fiskal nasional; dan

Yang dimaksud dengan urusan moneter dan fiskal nasional adalah kebijakan makro ekonomi, misalnya mencetak uang dan menentukan nilai mata uang, menetapkan kebijakan moneter, mengendalikan peredaran uang dan sebagainya.

6. Agama.

Yang dimaksud dengan urusan agama, misalnya menetapkan hari libur keagamaan yang berlaku secara nasional, memberikan pengakuan terhadap keberadaan suatu agama, menetapkan kebijakan dalam penyelenggaraan kehidupan keagamaan dan sebagainya; dan bagian tertentu urusan pemerintah lainnya yang berskala nasional, tidak diserahkan kepada daerah.

Khusus di bidang keagamaan sebagian kegiatannya dapat ditugaskan oleh Pemerintah kepada Daerah sebagai upaya meningkatkan keikutsertaan Daerah dalam menumbuhkembangkan kehidupan beragama.

Sebagai konsekuensi dari hak mengatur dan mengurus rumah tangga atas inisiatif sendiri, maka pemerintah daerah perlu dilengkapi dengan alat perlengkapan daerah yang dapat mengeluarkan peraturan-peraturannya, yaitu Peraturan Daerah (Perda). Kewenangan pemerintah daerah dalam membentuk sebuah peraturan daerah berlandaskan pada Pasal 18 ayat (6) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan, “Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan”. Menurut Mahendra Putra Kurnia, keberadaan peraturan daerah merupakan conditio sine quanon atau syarat absolut/syarat mutlak dalam rangka melaksanakan kewenangan otonomi tersebut. Selanjutnya menurut Suko Wiyono, peraturan daerah harus dijadikan pedoman bagi pemerintah daerah dalam melaksanakan urusan-urusan di daerah. Disamping itu peraturan daerah juga harus memberikan perlindungan hukum bagi rakyat di daerah. Peraturan daerah merupakan bagian integral dari konsep peraturan perundang-undangan. Menurut Bagir Manan, peraturan perundang-undangan tingkat daerah diartikan sebagai peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh pemerintah daerah atau salah satu unsur pemerintahan daerah yang berwenang membuat peraturan perundang-undangan tingkat daerah. Selanjutnya menurut Suko Wiyono, peraturan daerah merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi serta merupakan peraturan yang dibuat untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan yang ada diatasnya dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah. Peraturan daerah dilarang bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi serta Perda daerah lain.

Literatur:

- Mahendra Putra Kurnia, dkk, Pedoman Naskah Akademik PERDA Partisipatif, Kreasi Total Media, Yogyakarta, 2007.

- Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Jumat, 07 Januari 2011

Teori Desentralisasi (Pengertian dan Ruang Lingkup Pemerintahan Daerah)


URGENSI PARTISIPASI PUBLIK DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH (#5)

Teori Desentralisasi (Pengertian dan Ruang Lingkup Pemerintahan Daerah)

Selama beberapa dekade terakhir terdapat minat yang terus meningkat terhadap desentralisasi di berbagai pemerintahan dunia ketiga. Banyak negara telah melakukan perubahan struktur organisasi pemerintahan ke arah desentralisasi. Menurut Conyers, minat terhadap desentralisasi ini juga senada dengan kepentingan yang semakin besar dari berbagai badan pembangunan internasional. Mengenai desentralisasi, Soenobo Wirjosoegito memberikan definisi sebagai berikut:

“Desentralisasi adalah penyerahan wewenang oleh badan-badan umum yang lebih tinggi kepada badan-badan umum yang lebih rendah untuk secara mandiri dan berdasarkan pertimbangan kepentinga sendiri mengambil keputusan pengaturan dan pemerintahan, serta struktur wewenang yang terjadi dari itu”.

Selanjutnya DWP. Ruiter mengungkapkan bahwa menurut pendapat umum desentralisasi terjadi dalam 2 (dua) bentuk, yaitu desentralisasi teritorial dan fungsional, yang dijabarkan sebagai berikut:

“Desentralisasi teritorial adalah memberi kepada kelompok yang mempunyai batas-batas teritorial suatu organisasi tersendiri, dengan demikian memberi kemungkinan suatu kebijakan sendiri dalam sistem keseluruhan pemerintahan. Sedangkan desentralisasi fungsional adalah memberi kepada suatu kelompok yang terpisah secara fungsional suatu organisasi sendiri, dengan demikian memberi kemungkinan akan suatu kebijakan sendiri dalam rangka sistem pemerintahan”.

Berkaitan dengan desentralisasi terotorial dan fungsional, C.W. Van Der Pot dalam bukunya yang berjudul Handhoek van Nederlandse Staatrech, berpendapat:

“Desentralisasi akan didapat apabila kewenangan mengatur dan mengurus penyelenggaraan pemerintah tidak semata-mata dilakukan oleh pemerintah pusat (central government), melainkan juga oleh kesatuan-kesatuan pemerintah yang lebih rendah yang mandiri (zelfanding), bersifat otonomi (teritorial dan fungsional)”.

Dengan demikian, sistem desentralisasi mengandung makna pengakuan penentu kebijaksanaan pemerintah terhadap potensi dan kemampuan daerah dengan melibatkan wakil-wakil rakyat di daerah dengan menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan, dengan melatih diri menggunakan hak yang seimbang dengan kewajiban masyarakat yang domkratis.

Robert Reinow dalam buku Introduction to Government, mengatakan bahwa ada 2 (dua) alasan pokok dari kebijaksanaan membentuk pemerintahan di daerah. Pertama, membangun kebiasaan agar rakyat memutuskan sendiri sebagian kepentingannya yang berkaitan langsung dengan mereka. Kedua, memberi kesempatan kepada masing-masing komunitas yang mempunyai tuntutan yang bermacam-macam untuk membuat aturan-aturan dan programnya sendiri. Menurut Bagir Manan, dasar-dasar hubungan antara pusat dan daerah dalam kerangka desentralisasi ada 4 (empat) macam, yaitu:

1. Dasar-dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara.

2. Dasar pemeliharaan dan pengambangan prinsip-prinsip pemerintahan asli.

3. Dasar kebhinekaan.

4. Dasar negara hukum.

Dilihat dari segi pelaksanaan fungsi pemerintahan, David Oesborne dan Ted Goeber berpendapat bahwa desentralisasi dan otonomi itu menunjukkan:

1. Satuan-satuan desentralisasi (otonomi) lebih fleksibel dalam memenuhi perubahan-perubahan yang terjadi dangan cepat;

2. Satuan-satuan desentralisasi dapat melaksanakan tugas dengan efektif dan lebih efisien;

3. Satuan-satuan desentralisasi lebih inovatif;

4. Satuan-satuan desentralisasi mendorong tumbuhnya sikap moral yang lebih tinggi, komitmen yang lebih tinggi dan lebih produktif.

Sehubungan dengan otonomi, Muchsan berpendapat bahwa sendi-sendi otonomi terdiri dari sharing of power (pembagian kekuasaan), distribution of income (pembagian pendapatan) dan empowering (kemandirian administrasi pemerintahan daerah). Hipotesanya, semakin kuat sendi-sendi tersebut, semakin sehat pelaksanaan otonomi daerah, dan sebaliknya.

Pengertian dan Ruang Lingkup Pemerintahan Daerah.

Seperti kita ketahui, Indonesia merupakan suatu bangsa yang merdeka dan berdaulat, dimana pemerintah di daerah merupakan bagian integralnya. Dasar hukum dari adanya pemerintahan daerah terdapat dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Pasal 18 ayat (1) UUD 1945, menyebutkan “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang”. Kemudian mengenai pemerintah di daerah diatur lebih rinci dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Menurut Victor M. Situmorang, melihat sangat luasnya wilayah negara serta luasnya persoalan yang ada, pada umumnya pemerintah daerah (local government) bertingkat-tingkat, yaitu pemerintah tingkat provinsi, pemerintah tingkat kabupaten, pemerintah tingkat kotamadya, pemerintah tingkat kecamatan dan pemerintah tingkat desa atau tingkat kelurahan.

Oppenheim dalam bukunya yang berjudul Het Netherlandsch Gementerecht, memberikan beberapa ciri Pemerintahan Daerah, yaitu:

1. Adanya lingkungan atau daerah batas yang lebih kecil daripada negara;

2. Adanya penduduk dari jumlah yang mencukupi;

3. Adanya kepentingan-kepentingan yang pada coraknya sukar dibedakan dari yang diurus oleh negara, akan tetapi yang demikian menyangkut lingkungan itu, sehingga penduduknya bergerak untuk berusaha atas dasar swadaya;

4. Adanya suatu organisasi yang memadai untuk menyelenggarakan kepentingan-kepentingan itu;

5. Adanya kemampuan untuk menyediakan biaya yang diperlukan.

Pengertian pemerintahan daerah dapat ditemui pada Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, yang menyatakan “Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Secara lebih spesifik dalam Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, menjelaskan “Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah”. Selanjutnya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 menjelaskan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota yang masing-masing mempunyai pemerintahan daerah, dimana dalam rangka mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dan pemerintahan daerah diberikan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah, dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah.

Ruang lingkup pemerintah daerah terdapat dalam Pasal 3 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004. Ayat (1) menyatakan bahwa Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) adalah:

1. Pemerintahan daerah provinsi yang terdiri atas pemerintah daerah provinsi dan DPRD provinsi;

2. Pemerintahan daerah kabupaten/kota yang terdiri atas pemerintah daerah kabupaten/kota dan DPRD kabupaten/kota.

Pada ayat (2) dijelaskan bahwa “Pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas kepala daerah dan perangkat daerah”.

Literatur:

- Khairul Muluk, Desentralisasi Teori, Cakupan dan Elemen, http://www.publik.brawijaya.ac.id

- Soenobo Wirjosoegito, Proses & Perencanaan Peraturan Perundangan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2004.

- Ni’matul Huda, Otonomi Daerah; Filosofi, Sejarah Perkembangan dan Problematika, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005.

- Bagir Manan, Hubungan antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, Sinar Harapan, Jakarta, 1994.

- Victor M. Situmorang, Hukum Administrasi Pemerintahan di Daerah, Sinar Grafika, Jakarta, 1994.

- Mahendra Putra Kurnia, dkk, Pedoman Naskah Akademik PERDA Partisipatif, Kreasi Total Media, Yogyakarta, 2007.

- Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Senin, 03 Januari 2011

Teori Perundang-undangan (Pembentukan Peraturan Perundang-undangan)


URGENSI PARTISIPASI PUBLIK DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH (#4)

Teori Perundang-undangan (Pembentukan Peraturan Perundang-undangan)

Sebelum terbentuknya Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004, menurut Maria Farida Indrati. S, pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia dilakukan dengan berbagai landasan, yaitu:

1. Aglemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesie (Stb. 1847: 23)

2. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1950 tentang Peraturan Tentang Jenis dan bentuk Peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat.

3. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1950 tentang Menetapkan Undang-undang Darurat tentang Penerbitan Lembaran Negara Republik Indonesia Serikat dan Berita Negara Republik Indonesia Serikat dan tentang Mengeluarkan, Mengumumkan, dan Mulai Berlakunya Undang-undang Federal dan Peraturan Pemerintah sebagai Undang-undang Federal.

4. Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1945 tentang Pengumuman dan Mulai Berlakunya Undang-undang dan Peraturan Pemerintah.

5. Keputusan Presiden Nomor 234 Tahun 1960 tentang Pengembalian Seksi Pengundangan Lembaran Negara dari Departemen Kehakiman ke Sekretariat Negara.

6. Instruksi Presiden Nomor 15 Tahun 1970 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-undang dan Rancangan Peraturan Pemerintah.

7. Keputusan Presiden Nomor 188 Tahun 1998 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-undang.

8. Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 1999 tentang Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan dan Bentuk Rancangan Undang-undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Keputusan Presiden.

Tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan di tingkat daerah sebelum Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004, diberlakukan beberapa Keputusan Menteri, antara lain:

1. Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor 21 Tahun 2001 tentang Teknik Penyusunan dan Materi Muatan Produk-produk Hukum Daerah.

2. Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor 22 Tahun 2001 tentang Bentuk Produk-produk Hukum Daerah.

3. Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor 23 Tahun 2001 tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah.

4. Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor 24 Tahun 2001 tentang Lembaran Daerah dan Berita Daerah.

Keempat Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah tersebut diberlakukan sambil menunggu Peraturan Presiden sebagai pelaksanaan dari Pasal 27 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004. Oleh karena Peraturan Presiden yang diperintahkan tersebut sampai saat ini masih belum ada, Menteri Dalam Negeri telah menetapkan 3 (tiga) Peraturan Menteri sebagai pengganti Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah tersebut, yaitu:

1. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 tahun 2006 tentang Jenis dan Bentuk Produk Hukum Daerah.

2. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16 tahun 2006 tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah.

3. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 tahun 2006 tentang Lembaran Daerah dan Berita Daerah.

Pembahasan setiap rancangan undang-undang di Dewan Perwakilan Rakyat diatur dalam Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat, dan peraturan perundang-undangan ditingkat daerah diatur dalam Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi, Kabupaten atau Kota. Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan pada tanggal 1 November 2004, maka pembentukan peraturan perundang-undangan baik ditingkat Pusat maupun Daerah berlaku ketentuan dalam undang-undang tersebut.

Landasan hukum pembentukan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menurut Maria Farida Indrati. S, terdapat dalam konsiderans yaitu dalam dasar hukum “Mengingat” hanya dimuat Pasal 20, Pasal 20A ayat (1), Pasal 21, dan Pasal 22A Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal-pasal tersebut memberikan kewenangan pembentukan suatu undang-undang. Walaupun dalam dasar “Mengingat” Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tersebut hanya merumuskan pasal-pasal dalam UUD 1945 yang memberikan kewenangan pembentukan suatu undang-undang, namun demikian sebenarnya terdapat beberapa ketentuan yang merupakan landasan hukum yang tegas bagi pembentukan undang-undang tersebut. Landasan hukum tersebut adalah sebagai berikut:

1. Pasal 22A Perubahan UUD 1945 yang merumuskan bahwa “Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur dengan undang-undang”.

2. Pasal 6 Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan, yang merumuskan bahwa: “Tata cara pembuatan undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan daerah dan pengujian peraturan perundang-undangan oleh Mahkamah Agung serta pengaturan ruang lingkup keputusan presiden diatur denganundang-undang”.

3. Aturan Tambahan Pasal I Perubahan (Keempat) UUD 1945, yang menetapkan “Majelis Permusyawaratan Rakyat ditugasi untuk melakukan peninjauan terhadap meteri dan status hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk diambil putusan pada sidang Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 2000”.

4. Pasal 4 angka 4 Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, yang menyatakan bahwa, “Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan tetap berlaku sampai terbentuknya undang-undang.

Berdasarkan beberapa ketentuan diatas, maka diajukanlah rancangan undang-undang Usul Inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (RUU TCP3), yang akhirnya menjadi Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Pembentukan peraturan Perundang-undangan didefinisikan dalam Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004, yaitu “Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah proses pembuatan Peraturan Perundang-undangan yang pada dasarya dimulai dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan, dan penyebarluasan”. Legislative drafting menurut Jazim Hamidi, adalah sebuah ilmu pengetahuan yang merupakan aturan-aturan tertentu yang dapat diletakkan sebagai aplikasi umum terhadap semua tindakan-tindakan/langkah-langkah yang muncul dalam ”Perencanaan Undang-undang” (drafting) dan juga sebagai satu perangkat (set) aturan tertentu yang selalu diobservasi oleh semua pembuat undang-undang untuk tujuan (dari) pemakai metode yang terjamin aman dalam draft mereka.

Langkah-langkah pembentukan perundang-undangan menurut Jazim Hamidi dalam makalahnya dijelaskan, susunan pembentukan perundang-undangan terdiri dari:

1. Pengkajian (Interdisipliner)

a. Sudah mendesak untuk diatur undang-undang.

b. Kemungkinan-kemungkinan masalah yang akan timbul dibidang politik, ekonomi, sosial dan budaya.

2. Melakukan Penelitian

a. Penelitian hukum/hasil penelitian.

b. Hukum nasional/hukum negara lain yang mengatur materi yang bersangkutan.

c. Penyusunan naskah akademik.

d. Penyusunan rancangan undang-undang.

e. Penyusunan peraturan pemerintah dan seterusnya.

Adapun yang menjadi pokok-pokok penelitian adalah:

1. Asas-asas hukum.

2. Kaidah-kaidah hukum.

3. Lembaga-lembaga hukum.

4. Cara/proses pelaksanaan.

Sedangkan tahap-tahap pembentukan peraturan perundang-undangan menurut Maria Farida Indrati. S, pada umumnya dilakukan sebagai berikut:

1. Perencanaan penyusunan undang-undang.

Proses pembentukan undang-undang menurut Pasal 15 ayat (1), dan Pasal 16 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 dilaksanakan sesuai dengan Program Legislasi Nasional (Prolegnas), yang merupakan perencanaan penyusunan undang-undang terpadu antara Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah Republik Indonesia.

(Program Legislasi Nasional adalah instrumen perencanaan program pembentukan undang-undang yang disusun secara berencana, terpadu, dan sistematis. (Pasal 1 ayat (9) Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan).

2. Persiapan pembentukan undang-undang.

Rancangan undang-undang dapat berasal dari (Anggota) Dewan Perwakilan Rakyat, Presiden, maupun dari Dewan Perwakilan Daerah yang disusun berdasarkan Prolegnas. Dalam hal tertentu Dewan Perwakilan Rakyat atau Presiden dapat mengajukan rancangan undang-undang diluar Prolegnas.

3. Pengajuan rancangan undang-undang.

Pengajuan rancangan undang-undang yang berasal dari Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah diatur dalam Pasal 18 dan Pasal 19 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004.

Selanjutnya yang menjadi pokok kajian adalah mengenai pembentukan peraturan daerah. Pembentukan peraturan daerah adalah proses pembuatan peraturan daerah yang pada dasarnya dimulai perencanaan, pembahasan, teknik penyusunan, perumusan, pengesahan, pengundangan dan penyebarluasan. Dalam mempersiapkan pembahasan pengesahan rancangan peraturan daerah, harus perpedoman kepada peraturan perundang-undangan. Disamping itu, peraturan daerah akan lebih oprasional lagi jika dalam pembentukkannya tidak hanya terikat pada asas legalitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 sampai dengan Pasal 147 Undang-undang Nomor 32 tahun 2004, tetapi perlu dilengkapi dengan hasil penelitian yang mendalam terhadap subyek dan obyek hukum yang akan diaturnya. Rancangan peraturan daerah dapat berasal dari DPRD, Gubernur atau Bupti/Walikota, hal ini diatur dalam Pasal 26 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 jo. Pasal 140 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004.

Proses pembentukan produk hukum daerah yang bersifat pengaturan (peraturan daerah termasuk didalamnya) didasarkan pada Pasal 4 Permendagri Nomor 16 Tahun 2006, yang dilakukan berdasarkan Program Legislasi Daerah (Prolegda) (Program Legislasi Daerah yang selanjutnya disebut Prolegda adalah instrument perencanaan pembentukan produk hukum daerah yang disusun secara terencana, terpadu dan sistematis (Pasal 1 ayat (5) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16 Tahun 2006 tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah). Untuk selanjutnya secara teknis diatur pada Pasal 5 sampai dengan Pasal 13. Pasal 5 ayat (1) sampai dengan ayat (4) Permendagri Nomor 16 Tahun 2006 menerangkan bahwa rancangan produk hukum daerah yang bersifat pengaturan (peraturan daerah termasuk didalamnya) dapat disusun oleh pimpinan satuan kerja perangkat daerah yang dapat didelegasikan kepada biro hukum atau bagian hukum, dimana dalam proses penyusunan produk hukum daerah tersebut dibentuk tim antar satuan kerja perangkat daerah yang diketuai oleh pimpinan satuan kerja perangkat daerah pemrakarsa atau pejabat yang ditunjuk oleh kepala daerah dan kepala biro hukum atau kepala bagian hukum berkedudukan sebagai sekretaris.

Selanjutnya, seperti yang dijelaskan dalam Pasal 6 Permendagri Nomor 16 Tahun 2006, bahwa rancangan produk hukum daerah tadi dilakukan pembahasan dengan biro hukum atau bagian hukum dan satuan kerja perangkat daerah terkait dengan materi pembahasan menitikberatkan permasalahan yang bersifat prinsip mengenai objek yang diatur, jangkauan, dan arah pengaturan. Sesudah melakukan pembahasan, rancangan produk hukum daerah yang telah dibahas harus mendapatkan paraf koordinasi kepala biro hukum dan kepala bagian hukum dan pimpinan satuan kerja perangkat daerah terkait untuk kemudian diajukan kepada kepala daerah melalui sekretaris daerah, dimana sekretaris daerah dapat melakukan perubahan dan/atau penyempurnaan terhadap rancangan produk hukum daerah tadi. Selanjutnya, rancangan produk hukum daerah berupa rancangan peraturan daerah atau sebutan lainnya yang diprakarsai oleh kepala daerah disampaikan kepada dewan perwakilan rakyat daerah untuk dilakukan pembahasan serta dibentuk tim asistensi yang diketuai oleh sekretaris daerah atau pejabat yang ditunjuk oleh kepala daerah. Kemudian untuk pembahasan rancangan peraturan daerah atau sebutan lainnya atas inisiatif dewan perwakilan rakyat daerah dikoordinasikan oleh sekretaris daerah atau pimpinan satuan kerja perangkat daerah sesuai dengan tugas dan fungsinya. Adapun dalam pembahasan rancangan peraturan daerah di dewan perwakilan rakyat daerah, baik atas inisiatif pemerintah maupun atas inisiatif dewan perwakilan rakyat daerah, dibentuk tim asistensi dengan sekretariat berada pada biro hukum atau bagian hukum.

Pembahasan rancangan peraturan daerah antara DPRD bersama kepala daerah biasanya dilakukan melalui 4 (empat) tingkatan pembicaraan, yaitu:

1. Pembicaraan tingkat pertama, meliputi:

a. Penjelasan kepala daerah dalam rapat peripurna tentang penyampaian Raperda yang berasal dari usul prakarsa kepala daerah.

b. Penjelasan dalam rapat paripurna oleh komisi/gabungan komisi atau pimpinan panitia khusus terhadap Raperda dan/atau perubahan Raperda yang berasal dari usul prakarsa DPRD.

2. Pembicaraan tingkat kedua, meliputi:

a. Pemandangan umum dari fraksi-fraksi terhadap Raperda yang berasal dari kepala daerah

1) Pemandangan umum dari fraksi-fraksi terhadap Raperda yang berasal dari kepala daerah.

2) Jawaban kepala daerah terhadap pemandangan umum fraksi-fraksi.

b. Dalam hal raperda yang berasal dari usul prakarsa DPRD

1) Pendapat kepala daerah terhadap Raperda atas usul DPRD.

2) Jawaban dari fraksi-fraksi terhadap pendapat kepala daerah.

3. Pembicaraan tingkat ketiga, meliputi pembahasan dalam rapat komisi/gabungan komisi atau rapat panitia khusus dilakukan bersama-sama dengan kepala daerah atau pejabat yang ditunjuk.

4. Pembicaraan tingkat keempat, meliputi:

a. Pengambilan keputusa dalam rapat paripurna yang didahului dengan:

1) Laporan hasil pembicaraan tahap ketiga

2) Pendapat akhir fraksi

3) Pengambilan keputusan

b. Penyampaian sambutan kepala daerah

c. Rapat fraksi diadakan sebelum dilakukan pembicaraan tentang laporan hasil pembicaraan tahap ketiga, pendapat akhir fraksi dan pegambilan keputusan.

d. Apabila dipandang perlu panitia musyawarah dapat menentukan bahwa pembicaraan tahap ketiga dilakukan dalam rapat gabungan atau dalam rapat panitia khusus.

Mengenai teknis, tata cara dan waktu dari sebuah Raperda yang telah disetujui bersama lembaga legislatif dan lembaga eksekutif diatur dalam Pasal 144 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004. Dijelaskan dalam pasal ini bahwa Raperda yang telah disetujui bersama oleh DPRD dan kepala daerah disampaikan oleh pimpinan DPRD kepada kepala daerah untuk ditetapkan menjadi peraturan daerah. Penyampaian Raperda tersebut paling lambat 7 (tujuh) hari sejak tanggal persetujuan bersama. Selanjutnya Raperda tersebut ditetapkan oleh kepala daerah dengan jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak Raperda tersebut disetujui bersama. Jika dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari Raperda yang telah disetujui tidak ditandatangani kepala daerah, maka Raperda tersebut sah menjadi peraturan daerah dan diundangkan.

Seperti halnya sebuah peraturan perundang-undangan yang diundangkan dalam lembaran negara, setelah diberikan penomoran selanjutnya peraturan daerah diundangkan dalam peraturan daerah. Pasal 142 ayat (2) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 jo. Pasal 19 ayat (1) dan (2) Permendagri Nomor 16 Tahun 2006, menjelaskan bahwa pengundangan ini dilakukan oleh sekretaris daerah atau dapat didelegasikan kepada kepala biro hukum atau kepala bagian hukum untuk kemudian pemerintah wajib menyebarluaskan peraturan daerah yang telah diundangkan tersebut setelah dilakukan autentifikasi oleh kepala biro hukum atau kepala bagian hukum.

Literatur:

- Maria Farida Indrati. S, Ilmu Perundang-undangan; Dasar-dasar Pembentukannya, Kanisius, Yogyakarta, 2007.

- Maria Farida Indrati. S, Ilmu Perundang-undangan; Proses dan Teknik Pembentukannya, Kanisius, Yogyakarta, 2007.

- Mahendra Putra Kurnia, dkk, Pedoman Naskah Akademik PERDA Partisipatif, Kreasi Total Media, Yogyakarta, 2007.

- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Peraturan Perundang-Undangan.

- Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

- Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16 Tahun 2006 tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah.