Sabtu, 13 November 2010

HUKUM WARIS ISLAM DI INDONESIA


Tanpa sengaja ketika suatu hari saya pulang membeli makan siang, saya bertemu dengan seseorang yang merupakan tetangga saya yang kebetulan juga seorang pejabat (Ketua RT) di lingkungan tersebut. Beliau dengan sangat antusias menanyakan kepada saya perihal Hukum Waris Islam, apa dasarnya, siapa saja pihaknya dan bagimana pembagiannya. Sentak saya sangat terkejut, namun hati kecil saya berkata ‘tidak ada salahnya masyarakat menganggap semua Sarjana Hukum pasti paham mengenai hukum’ saya teringat Asas Hukum Acara Perdata (Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang No. 14 Tahun 1970) ‘Hakim dilarang menolak perkara bahkan bila hakim tidak dapat menemukan hukum tertulis maka ia wajib menggali hukum yang hidup dalam masyarakat atau mencari dalam Yurisprudensi’ walaupun saya bukan seorang Hakim saya suka bunyi asas itu, sangat mencirikan keadilan, bukankah masyarakat berhak mengetahui apa saja yang merupakan hak dan kewajibannya bahkan tanpa perlu mengeluarkan biaya. Ketika saya menempuh pendidikan Advokat (Mei 2007), hal yang sama pun diajarkan kepada kami ‘Bagian dari kewajiban advokat kepada masyarakat, adalah memberi bantuan jasa hukum yang mana memberi informasi termasuk dalam jasa hukum’ yang dipertegas dalam Kode Etik Advokat Indonesia.

Saya terlalu melebar sepertinya, baiklah saya akan mencoba berbagi berbagai hal yang saya ketahui tentang Hukum Waris Islam di Indonesia, tentunya yang saya kutip dari berbagai sumber baik Undang-undang maupun kajian-kajian hukum lainnya dengan menyebutkan sumbernya.

Sejarah dan Dasar Hukum Kewarisan Islam

Hukum kewarisan menurut Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam yang selanjutnya disebut INPRES No. 1/1991 tentang KHI adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing (Pasal 171 huruf a). Menurut H.A. Mukti Arto, Islam sebagai agama samawi mengajarkan hukum kewarisan, disamping hukum-hukum lainnya, untuk menjadi pedoman bagi umat manusia agar terjamin adanya kerukunan, ketertiban, perlindungan dan ketentraman dalam kehidupan di bawah naungan dan ridho Illahi. Aturan hukum kewarisan Islam diturunkan secara berangsur-angsur sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan kesadaran hukumnya sehingga menjadi suatu sistem hukum kewarisan yang sempurna. Selanjutnya H.A. Mukti Arto menjelaskan bahwa sejarah Hukum Kewarisan Islam tidak terlepas dari hukum kewarisan zaman Jahiliyah. Dasar untuk dapat saling mewarisi pada Zaman Jahiliyah adalah:

1. Adanya hubungan nasab/kekerabatan;

2. Adanya pengangkatan anak;

3. Adanya janji setia untuk bersaudara.


Ketiga jenis ahli waris tersebut disyaratkan harus laki-laki dan sudah dewasa. Oleh karena itu, perempuan dan anak-anak tidak dapat menjadi ahli waris. Kemudian pada masa permulaan Isalam di Madinah, Rasulullah SAW. Mempersaudarakan Muhajirin dengan Anshor, persaudaraan karena hijrah ini juga dijadikan dasar untuk saling mewarisi. Dalam perkembangannya, dasar saling mewarisi karena adanya pengangkatan anak, janji setia, dan persaudaraan karena hijrah inipun dihapus. Untuk selanjutnya berlaku hukum kewarisan yang ditetapkan oleh Al Qur’an dan As Sunah sebagai suatu ketentuan yang harus ditaati oleh setiap muslim.

Sejak dikeluarkannya Undang-Undang No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dimana kekuasaan Pengadilan Agama untuk memeriksa, mengadili, serta menyelesaikan sengketa waris dipulihkan kembali, maka kebutuhan terhadap hukum waris yang jelas, rinci, mudah dan pasti serta sesuai dengan tata kehidupan masyarakat Islam Indonesia yang bilateral semakin terasa mendesak. Untuk itu pulalah kemudian dikeluarkan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang diberlakukan dengan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991, tanggal 10 Juni 1991.

Pihak-Pihak Dalam Hukum Waris Islam

Ada beberapa pihak yang terdapat dalam Hukum Waris Islam, diantaranya:

1. Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan Pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan (Pasal 171 huruf b).

2. Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris (Pasal 171 huruf c). Selanjutnya, mengenai ahli waris tersebut secara lebih rinci dijelaskan dalam Pasal 172-175. Pasal-pasal tersebut membahas bagaimana seseorang terhalang menjadi ahli waris, Kelompok-kelompok ahli waris, kewajiban dan tanggung jawab ahli waris terhadap pewaris.

Besarnya Bahagian Waris

Sebelum kita membahas besarnya bahagian waris, sebaiknya kita memahami dulu beberapa istilah yang nantinya berhubungan dengan bahagian waris. Istilah-istilah tersebut yaitu:

1. Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya (Pasal 171 huruf d).

2. Harta waris adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat (Pasal 171 huruf e).

3. Wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia (Pasal 171 huruf f).

4. Hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki (Pasal 171 huruf g).

5. Anak angkat adalah anak yang dalam pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan Pengadilan (Pasal 171 huruf h)

6. Baitul Mal adalah Balai Harta Keagamaan (Pasal 171 huruf i).

Besarnya bahagian waris islam dalam KHI diatur pada Bab III Pasal 176-191 yang dapat dijabarkan secara garis besar sebagi berikut:

1. Anak perempuan bila hanya seorang ia mendapat separoh bagian, bila dua orang atau lebih mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian, dan apabila anask perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki, maka bagian anak laki-laki adalah dua berbanding satu dengan anak perempuan (Pasal 176).

2. Ayah mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, bila ada anak, ayah mendapat seperenam bagian (Pasal 177). Maksud pasal ini ialah ayah mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, tetapi meninggalkan suami dan ibu, bila ada anak, ayah mendapat seperenam bagian (Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 1994).

3. Ibu mendapat seperenam bagian bila ada anak atau dua saudara atau lebih. Bila tidak ada anak atau dua orang saudara atau lebih, maka ia mendapat sepertiga bagian (Pasal 178 (1)). Ibu mendapat sepertiga bagian dari sisa sesudah diambil oleh janda atau duda bila bersamasama dengan ayah (Pasal 178 (2)).

4. Duda mendapat separoh bagian, bila pewaris tidak meninggalkan anak, dan bila pewaris meninggalkan anak, maka duda mendapat seperempat bagaian (Pasal 179).

5. Janda mendapat seperempat bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, dan bila pewaris meninggalkan anak maka janda mendapat seperdelapan bagian (Pasal 180).

6. Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah, maka saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu masing-masing mendapat seperenam bagian. Bila mereka itu dua orang atau lebih maka mereka bersama-sama mendapat sepertiga bagian (Pasal 181).

7. Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah, sedang ia mempunyai satu saudara perempuan kandung atau seayah, maka ua mendapat separoh bagian. Bila saudara perempuan tersebut bersama-sama dengan saudara perempuan kandung atau seayah dua orang atau lebih, maka mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian. Bila saudara perempuan tersebut bersama-sama dengan saudara laki-laki kandung atau seayah, maka bagian saudara laki-laki dua berbanding satu dengan saudara perempuan (Pasal 182).

8. Para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan, setelah masing-masing menyadari bagiannya (Pasal 183).

9. Bagi ahli waris yang belum dewasa atau tidak mampu melaksanakan hak dan kewajibannyua, maka baginya diangkat wali berdasarkan keputusan Hakim atas usul anggota keluarga (Pasal 184).

10. Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada sipewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam Pasal 173 (Pasal 185 (1)). Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti (Pasal 185 (2)).

11. Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewaris dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya (Pasal 186).

12. Bilamana pewaris meninggalkan warisan harta peninggalan, maka oleh pewaris semasa hidupnya atau oleh para ahli waris dapat ditunjuk beberapa orang sebagai pelaksana pembagian harta warisan dengan tugas:

  1. Mencatat dalam suatu daftar harta peninggalan, baik berupa benda bergerak maupun tidak bergerak yang kemudian disahkan oleh para ahli waris yang bersangkutan, bila perlu dinilai harganya dengan uang;
  2. Menghitung jumlah pengeluaran untuk kepentingan pewaris sesuai dengan Pasal 175 ayat (1) sub a, b, dan c (Pasal 187 (1)).

Sisa dari pengeluaran dimaksud di atas adalah merupakan harta warisan yang harus dibagikan kepada ahli waris yang berhak (Pasal 187 (2)).

13. Para ahli waris baik secara bersama-sama atau perseorangan dapat mengajukan permintaan kepada ahli waris yang lain untuk melakukan pembagian harta warisan. Bila ada diantara ahli waris yang tidak menyetujui permintaan itu, maka yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan melalui Pengadilan Agama untuk dilakukan pembagian warisan (Pasal 188).

14. Bila warisan yang akan dibagi berupa lahan pertanian yang luasnya kurang dari 2 hektar, supaya dipertahankan kesatuannya sebagaimana semula, dan dimanfaatkan untuk kepentingan bersama para ahli waris yang bersangkutan (Pasal 189 (1)). Bila ketentuan tersebut pada ayat (1) pasal ini tidak dimungkinkan karena di antara para ahli waris yang bersangkutan ada yang memerlukan uang, maka lahan tersebut dapat dimiliki oleh seorang atau lebih ahli waris yang dengan cara membayar harganya kepada ahli waris yang berhak sesuai dengan bagiannya masing-masing (Pasal 189 (2)).

15. Bagi pewaris yang beristeri lebih dari seorang, maka masing-masing isteri berhak mendapat bagian atas gono-gini dari rumah tangga dengan suaminya, sedangkan keseluruhan bagian pewaris adalah menjadi hak para ahli warisnya (Pasal 190).

16. Bila pewaris tidak meninggalkanahli waris sama sekali atau ahli warisnya tidak diketahui ada atau tidaknya, maka harta tersebut atas putusan Pengadilan Agama diserahkan penguasaannya kepada Baitul Mal untuk kepentingan Agama Islam dan kesejahteraan umum (Pasal 191).

Pustaka:

- Drs. H.A. Mukti Arto, S.H, M.Hum, Pembahasan Kompilasi Hukum Islam (Hukum Kewarisan), http://www.badilag.net.

- Prof. Dr. Thahir Azhary, S.H., M.H., Hukum Waris Islam dan Permasalahannya, http://pemantauperadilan.com.

- Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.

- Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 1994.

Jumat, 12 November 2010

PERANAN HUKUM TATA USAHA NEGARA DALAM MEWUJUDKAN PEMERINTAHAN YANG BAIK



Sistem pemerintahan yang baik dalam suatu negara harus didasarkan pada aturan-aturan yang dibentuk secara demokratis, sehingga aturan yang dibentuk itu dapat menjadi dasar bagi pemerintah dalam melaksanakan pemerintahan yang baik dan responsif terhadap tuntutan kehidupan masyarakat secara menyeluruh sesuai dengan amat UUD 1945.

Pemerintahan yang baik (good governance) dapat ditata melalui Hukum Tata Usaha Negara. Menurut Prof. Muchsan, Hukum Tata Usaha Negara adalah kumpulan peraturan-peraturan hukum yang mengatur seluk-beluk atau hal ikhwal lembaga eksekutif yang menyebabkan roda pemerintahan (fungsi pemerintahan) berjalan (berputar). Selanjutnya Prof. Muchsan menambahkan, hal-hal yang perlu ditata untuk mewujudkan pemerintahan yang baik yaitu meliputi Struktur organisasi, Kefungsian, Kewenangan, Produk hukum yang dapat dicipta, Sarana yang digunakan dan Sistem pengawasan.

Hal penting yang dikaji disini adalah bahwa suatu pemerintahan yang baik (good governance) dapat terwujud apabila ada sistem pengawasan yang baik. Sistem pengawasan dapat meliputi pengawasan umum terhadap pemerintah yang meliputi bidang-bidang pemerintahan, kepegawaian, keuangan dan peralatan, pembangunan, perusahaan daerah, yayasan dan lain-lain yang ditetapkan oleh menteri dalam negeri.

Untuk dapat memahami hal tersebut, maka kita harus paham apa yang dimaksud dengan pemerintahan yang baik (good governance), serta bagaimanakah pengawasan yang dilakukan terhadap eksekutif agar dapat mewujudkan pemerintahan yang baik.

Pemerintahan yang baik (Good Governance)

Sejak tumbangnya rezim Orde Baru dan digantikan dengan gerakan reformasi, istilah good governance begitu popular. Hampir di setiap event atau peristiwa penting yang menyangkut masalah pemerintahan, istilah ini tak pernah ketinggalan, bahkan dalam pidato-pidato, pejabat negara sering mengutip kata-kata di atas. Pendeknya good governance telah menjadi wacana yang kian populer di tengah masyarakat.

Meskipun kata good governance sering disebut pada berbagai event dan peristiwa oleh berbagai kalangan, pengertian good governance bisa berlainan antara satu dengan yang lain. Ada sebagian kalangan mengartikan good governance sebagai kinerja suatu lembaga, misalnya kinerja pemerintahan suatu negara, perusahaan atau organisasial masyarakat yang memenuhi prasyarat-prasyarat tertentu. Sebagian kalangan lain ada yang mengartikan good governance sebagai penerjemahan konkret demokrasi dengan meniscayakan adanya civic culture sebagai penopang sustanaibilitas demokrasi itu sendiri.

Masih banyak lagi tafsir good governance yang diberikan oleh berbagai pihak. Seperti yang didefinikan oleh World Bank sebagai berikut:

“Good governance adalah suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi, dan pencegahan korupsi baik secara politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal and political framework bagi tumbuhnya aktivitas usaha”.

Namun untuk ringkasnya good governance pada umumnya diartikan sebagai pengelolaan pemerintahan yang baik. Kata ‘baik’ disini dimaksudkan sebagai mengikuti kaidah-kaidah tertentu sesuai dengan prinsip-prinsip dasar good governance. Good governance hanya bermakna bila keberadaannya ditopang oleh lembaga yang melibatkan kepentingan publik (pilar-pilar good governanace). Jenis lembaga tersebut adalah sebagai berikut:

1. Negara.

a. Menciptakan kondisi politik, ekonomi dan sosial yang stabil;

b. Membuat peraturan yang efektif dan berkeadilan;

c. Menyediakan public service yang efektif dan accountable;

d. Menegakkan HAM;

e. Melindungi lingkungan hidup;

f. Mengurus standar kesehatan dan standar keselamatan publik.

2. Sektor Swasta.

a. Menjalankan industri;

b. Menciptakan lapangan kerja;

c. Menyediakan insentif bagi karyawan;

d. Meningkatkan standar hidup masyarakat;

e. Memelihara lingkungan hidup;

f. Menaati peraturan;

g. Transfer ilmu pengetahuan dan teknologi kepada masyarakat;

h. Menyediakan kredit bagi pengembangan UKM.

3. Masyarakat Madani.

a. Menjaga agar hak-hak masyarakat terlindungi;

b. Mempengaruhi kebijakan publik;

c. Sebagai sarana cheks and balances pemerintah;

d. Mengawasi penyalahgunaan kewenangan sosial pemerintah;

e. Mengembangkan SDM;

f. Sarana berkomunikasi antar anggota masyarakat.

Kunci utama memahami good governance adalah pemahaman atas prinsip-prinsip di dalamnya. Bertolak dari prinsip-prinsip ini akan didapatkan tolak ukur kinerja suatu pemerintahan. Baik-buruknya pemerintahan bisa dinilai bila ia telah bersinggungan dengan semua unsur prinsip-prinsip good governance. Menyadari pentingnya masalah ini, prinsip-prinsip good governance diurai satu persatu sebagaimana tertera di bawah ini:

1. Partisipasi masyarakat.

Semua warga masyarakat mempunyai suara dalam pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun melalui lembaga-lembaga perwakilan sah yang mewakili kepentingan mereka. Partisipasi menyeluruh tersebut dibangun berdasarkan kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat, serta kapasitas untuk berpartisipasi secara konstruktif.

2. Tegaknya Supremasi Hukum.

Kerangka hukum harus adil dan diberlakukan tanpa pandang bulu, termasuk di dalamnya hukum-hukum yang menyangkut hak asasi manusia.

3. Transparansi.

Tranparansi dibangun atas dasar arus informasi yang bebas. Seluruh proses pemerintahan, lembaga-lembaga dan informasi perlu dapat diakses oleh pihak-pihak yang berkepentingan, dan informasi yang tersedia harus memadai agar dapat dimengerti dan dipantau.

4. Peduli pada Stakeholder.

Lembaga-lembaga dan seluruh proses pemerintahan harus berusaha melayani semua pihak yang berkepentingan.

5. Berorientasi pada Konsensus.

Tata pemerintahan yang baik menjembatani kepentingan-kepentingan yang berbeda demi terbangunnya suatu konsensus menyeluruh dalam hal apa yang terbaik bagi kelompok-kelompok masyarakat, dan bila mungkin, konsensus dalam hal kebijakan-kebijakan dan prosedur-prosedur.

6. Kesetaraan.

Semua warga masyarakat mempunyai kesempatan memperbaiki atau mempertahankan kesejahteraan mereka.

7. Efektifitas dan Efisiensi.

Proses-proses pemerintahan dan lembaga-lembaga membuahkan hasil sesuai kebutuhan warga masyarakat dan dengan menggunakan sumber-sumber daya yang ada seoptimal mungkin.

8. Akuntabilitas.

Para pengambil keputusan di pemerintah, sektor swasta dan organisasi-organisasi masyarakat bertanggung jawab baik kepada masyarakat maupun kepada lembaga-lembaga yang berkepentingan. Bentuk pertanggung jawaban tersebut berbeda satu dengan lainnya tergantung dari jenis organisasi yang bersangkutan.

9. Visi Strategis.

Para pemimpin dan masyarakat memiliki perspektif yang luas dan jauh ke depan atas tata pemerintahan yang baik dan pembangunan manusia, serta kepekaan akan apa saja yang dibutuhkan untuk mewujudkan perkembangan tersebut. Selain itu mereka juga harus memiliki pemahaman atas kompleksitas kesejarahan, budaya dan sosial yang menjadi dasar bagi perspektif tersebut.

Agenda Good Governance

Good governance sebagai suatu gerakan adalah segala daya upaya untuk mewujudkan suatu pemerintahan yang baik. Oleh karena itu gerakan good governance harus memiliki agenda yang jelas tentang apa yang mesti dilakukan agar tujuan utamanya dapat dicapai. Untuk kasus Indonesia, agenda good governance harus disesuaikan dengan kondisi riil bangsa saat ini, yang meliputi:

1. Agenda Politik.

Masalah politik seringkali menjadi penghambat bagi terwujudnya good governance. Hal ini dapat terjadi karena beberapa sebab, diantaranya adalah acuan konsep politik yang tidak/kurang demokratis yang berimplikasi pada berbagai persoalan di lapangan. Krisis politik yang melanda bangsa Indonesia dewasa ini tidak lepas dari penataan sistim politik yang kurang demokratis. Oleh karena itu perlu dilakukan pembaharuan politik yang menyangkut masalah-masalah penting seperti:

a. Amandemen UUD 1945 Sebagai sumber hukum dan acuan pokok penyelenggaraan pemerintahan, amandemen UUD 1945 harus dilakukan untuk mendukung terwujudnya good governance seperti pemilihan presiden langsung, memperjelas susunan dan kedudukan MPR dan DPR, kemandirian lembaga peradilan, kemandirian kejaksaan agung dan penambahan pasal-pasal tentang hak asasi manusia;

b. Perubahan Undang-Undang Politik dan Undang-Undang Keormasan yang lebih menjamin partisipasi dan mencerminkan keterwakilan rakyat;

c. Reformasi agraria dan perburuhan;

d. Mempercepat penghapusan peran sosial politik TNI;

e. Penegakan supremasi hukum.

2. Agenda Ekonomi.

Krisis ekonomi bisa melahirkan berbagai masalah sosial yang bila tidak teratasi akan mengganggu kinerja pemerintahan secara menyeluruh. Untuk kasus Indonesia, permasalahan krisis ekonomi ini telah berlarut-larut dan belum ada tanda-tanda akan segera berakhir. Kondisi demikian ini tidak boleh dibiarkan berlanjut dan harus segera ada percepatan pemulihan ekonomi. Mengingat begitu banyak permasalahan ekonomi di Indonesia, perlu dilakukan prioritas-priotitas kebijakan. Prioritas yang paling mendesak untuk pemulihan ekonomi saat ini antara lain:

a. Agenda Ekonomi Teknis.

1) Otonomi Daerah.

Pemerintah dan rakyat Indonesia telah membuat keputusan politik untuk menjalankan otonomi daerah yang esensinya untuk memberikan keadilan, kepastian dan kewenangan yang optimal dalam pengelolaan sumber daya daerah guna memungkinkan daerah dapat mengaktualisasikan segala potensi yang dimilikinya. Agar pelaksanaan otonomi daerah ini berjalan tanpa gejolak dibutuhkan serangkaian persiapan dalam bentuk strategi, kebijakan program dan persiapan institusi di tingkat pusat dan daerah.

2) Sektor Keuangan dan Perbankan.

Permasalahan terbesar sektor keuangan saat ini adalah melakukan segala upaya untuk mengembalikan fungsi sektor perbankan sebagai intermediasi, serta upaya mempercepat kerja BPPN. Hal penting yang harus dilakukan antara lain pertama; tidak adanya dikhotomi antara bankir nasional dan bankir asing, lebih diperlukan kinerja yang tinggi, tidak peduli apakah hal itu dihasilkan oleh bankir nasional ataupun asing. Kedua, perlu lebih mendorong dilakukannya merger atau akuisisi, baik di bank BUMN maupun swasta. Ketiga, pencabutan blanket guarantee perlu dipercepat, namun dilakukan secara bertahap. Keempat, mendorong pasar modal dan mendorong independensi pengawasan (Bapepam). Kelima, perlunya penegasan komitmen pemerintah dalam hal kinerja BPPN khususnya dalam pelepasan aset dalam waktu cepat atau sebaliknya.

3) Kemiskinan dan Ekonomi Rakyat.

Pemulihan ekonomi harus betul-betul dirasakan oleh rakyat kebanyakan. Hal ini praktis menjadi prasarat mutlak untuk membantu penguatan legitimasi pemerintah, yang pada giliranya merupakan bekal berharga bagi percepatan proses pembaharuan yang komprehensif menuju Indonesia baru.

b. Agenda Pengembalian Kepercayaan.

Hal-hal yang diperlukan untuk mengembalikan atau menaikkan kepercayaan terhadap perekonomian Indonesia adalah kepastian hukum, jaminan keamanan bagi seluruh masyarakat, penegakkan hukum bagi kasus-kasus korupsi, konsistensi dan kejelasan kebijakan pemerintah, integritas dan profesionalisme birokrat, disiplin pemerintah dalam menjalankan program, stabilitas sosial dan politik, dan adanya kepemimpinan nasional yang kuat.

3. Agenda Sosial.

Masyarakat yang berdaya, khususnya dalam proses penyelenggaraan pemerintahan merupakan perwujudan riil good governance. Masyarakat semacam ini akan solid dan berpartisipasi aktif dalam menentukan berbagai kebijakan pemerintahan. Selain itu masyarakat semacam ini juga akan menjalankan fungsi pengawasan yang efektif dalam pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan. Sebaliknya, pada masyarakat yang masih belum berdaya di hadapan negara, dan masih banyak timbul masalah sosial di dalamnya seperti konflik dan anarkisme kelompok, akan sangat kecil kemungkinan good governance bisa ditegakkan. Salah satu agenda untuk mewujudkan good governance pada masyarakat semacam ini adalah memperbaiki masalah sosial yang sedang dihadapi.

Masalah sosial yang cukup krusial dihadapi bangsa Indonesia akhir-akhir ini adalah konflik yang disertai kekejaman sosial luar biasa yang menghancurkan kemanusiaan dan telah sampai pada titik yang membahayakan kelanjutan kehidupan dalam bentuk kekerasan komunal dan keterbuangan sosial dengan segala variannya. Kasus-kasus seperti pergolakan di Aceh dan Ambon adalah beberapa contoh dari masalah sosial yang harus segera mendapatkan solusi yang memadai. Oleh karena itu masyarakat bersama pemerintah harus melakukan tindakan pencegahan terhadap daerah lain yang menyimpan potensi konflik. Bentuk pencegahan terhadap kekerasan komunal dapat dilakukan melalui cara memberikan santunan terhadap mereka yang terkena korban konflik, mencegah berbagai pertikaian vertikal maupun horizontal yang tidak sehat dan potensial mengorbankan kepentingan bangsa dan mencegah pula segala bentuk anarkhi sosial yang terjadi di masyarakat.

4. Agenda Hukum.

Hukum merupakan faktor penting dalam penegakan good governance. Kekurangan atau kelemahan sistim hukum akan berpengaruh besar terhadap kinerja pemerintahan secara keseluruhan. Dapat dipastikan, good governanance tidak akan berjalan mulus di atas sistim hukum yang lemah. Oleh karena itu penguatan sistim hukum atau reformasi hukum merupakan kebutuhan mutlak bagi terwujudnya good governance. Sementara itu posisi dan peran hukum di Indonesia tengah berada pada titik nadir, karena hukum saat ini lebih dianggap sebagai komiditi daripada lembaga penegak keadilan. Kenyataan demikian ini yang membuat ketidakpercayaan dan ketidaktaatan pada hukum oleh masyarakat. Untuk memulihkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap hukum dalam rangka mewujudkan good governance diperlukan langkah-langkah kongkret dan sistimatis. Langkah-langkah tersebut adalah:

a. Reformasi Konstitusi.

Konstitusi merupakan sumber hukum bagi seluruh tata penyelenggaran negara. Untuk menata kembali sistim hukum yang benar perlu diawali dari penataan konstitusi yang oleh banyak kalangan masih banyak mengandung celah kelemahan.

b. Penegakan Hukum.

Syarat mutlak pemulihan pepercayaan rakyat terhadap hukum adalah penegakan hukum. Reformasi di bidang penegakkan hukum yang bersifat strategis dan mendesak untuk dilakukan adalah; pertama, reformasi Mahkamah Agung dengan memperbaiki sistim rekrutmen (pengangkatan), pemberhentian, pengawasan dan penindakan yang lebh menekankan aspek transparansi dan partisipasi masyarakat. Perbaikan sebagaimana tersebut di atas harus dilakukan oleh Komisi Yudisial Independen yang anggotanya terdiri dari mantan hakim agung, kalangan prakatisi hukum, akademisi/cendekiawan hukum dan tokoh masyarakat. Kedua, reformasi Kejaksaan. Untuk memulihkan kinerja kejaksaan saat ini khususnya dalam menangani kasus-kasus KKN dan pelanggaran HAM, perlu dilakukan fit and proper test terhadap Jaksa Agung dan pembantunya sampai eselon II untuk menjamin integritas pribadai yang bersangkutan. Selain itu untuk mengawasi kinerja kejaksaan perlu dibentuk sebuah komisi Independen Pengawas Kejaksaan.

c. Pemberantasan KKN.

KKN merupakan penyebab utama dari tidak berfungsinya hukum di Indonesia. Untuk memberantas KKN diperlukan setidaknya dua cara; pertama dengan cara mencegah (preventif) dan kedua, upaya penanggulangan (represif). Upaya pencegahan dilakukan dengan cara memberi jaminan hukum bagi perwujudan pemerintahan terbuka (open government) dengan memberikan jaminan kepada hak publik seperti hak mengamati perilaku pejabat, hak memperoleh akses informasi, hak berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dan hak mengajukan keberatan bila ketiga hak di atas tidak dipenuhi secara memadai.

Sedangkan upaya penanggulangan (setelah korupsi muncul) dapat diatasi dengan mempercepat pembentukan Badan Independen Anti Korupsi yang berfungsi melakukan penyidikan dan penuntutan kasus-kasus korupsi, memperkenalkan hakim-hakim khusus yang diangkat khusus untuk kasus korupsi (hakim ad hock) dan memperlakukan asas pembuktian terbalik secara penuh.

d. Sumbangan Hukum dalam Mencegah dan Menanggulangi Disintegrasi Bangsa.

Pengakuan identitas terhadap nilai-nilai lokal, pemberian kewenangan dan representasi yang lebih luas kepada daerah, pemberdayaan kemampuan masyarakat dan akses pengelolaan terhadap sumber daya alam lokal menjadi isu penting yang sangat stategis di dalam menciptakan integritas sosial, karena selama lebih dari tiga dekade masyarakat selalu ditempatkan sebagai obyek, tidak diakui berbagai eksistensinya dan diperlakukan tidak adil. Akumulasi dari permasalahan tersebut akhirnya menciptakan potensi yang sangat signifikan bagi proses disintegrasi.

e. Pengakuan Terhadap Hukum Adat dan Hak Ekonomi Masyarakat.

Untuk menjamin hak-hak masyarakat hukum adat, maka diperlukan proses percepatan di dalam menentukan wilayah hak ulayat adat secara partisipatif. Dengan begitu rakyat akan mendapatkan jaminan di dalam menguasai tanah ulayat adat mereka dan juga akses untuk mengelola sumber daya alam di lingkungan dan milik mereka sendiri.

g. Pemberdayaan Eksekutif, Legislatif dan Peradilan.

Untuk lebih meningkatkan representasi kepentingan daerah di tingkat nasional, perlu dilakukan rekomposisi keanggotaan utusan daerah, di mana keterwakilan rakyat di daerah secara kongkret diakomodasi melalui pemilihan anggota utusan daerah secara langsung oleh rakyat. Sistim pemilihan langsung juga dilakukan untuk para pejabat publik di daerah khususnya gubernur, bupati/walikota.

Penerapan penegak hukum harus dilakukan secara kontekstual dengan menggunakan kebijakan ‘selective enforcement’ sehingga keadilan memang berasal dari rasa keadilan yang hidup di masyarakat.

Pengawasan Terhadap Eksekutif

Dalam melakukan berbagai kegiatannya pemerintah menggunakan instrumen yuridis seperti peraturan, keputusan, peraturan kebijaksanaan, dan lain-lain, karena Indonesia merupakan negara kesejahteraan (welfare state), dimana pemberian kewenangan yang luas bagi pemerintah menjadi konsekuensi logis, termasuk memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk menciptakan berbagai instrumen yuridis sebagai sarana untuk kelancaran penyelenggaraan pemerintahan. Pembuatan instrumen yuridis oleh pemerintah harus didasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku atau didasarkan pada kewenangan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini Hukum Tata Usaha Negara memegang peranan penting. Hukum Tata Usaha Negara memberikan beberapa ketentuan tentang pembuatan instrumen yuridis, sebagai contoh mengenai pembuatan keputusan. Di dalam pembuatan keputusan, TUN menentukan syarat material dan syarat formal, yaitu sebagai berikut:

Syarat-syarat material:

a. Alat pemerintahan yang membuat keputusan harus berwenang;

b. Keputusan tidak boleh mengandung kekurangan-kekurangan yuridis seperti penipuan, paksaan, sogokan, kesesatan, dan kekeliruan;

c. Keputusan harus diberi bentuk sesuai dengan peraturan dasarnya dan pembuatnya juga harus memperhatikan prosedur membuat keputusan;

d. Isi dan tujuan keputusan itu harus sesuai dengan isi dan tujuan peraturan dasarnya.

Syarat-syarat formal:

a. Syarat-syarat yang ditentukan berhubung dengan persiapan dibuatnya keputusan dan berhubung dengan cara dibuatnya keputusan harus dipenuhi;

b. Harus diberi dibentuk yang telah ditentukan;

c. Syarat-syarat berhubung dengan pelaksanaan keputusan itu dipenuhi;

d. Jangka waktu harus ditentukan antara timbulnya hal-hal yang menyebabkan dibuatnya dan diumumkannya keputusan itu dan tidak boleh dilupakan.

Berdasarkan persyaratan yang ditentukan oleh Hukum Tata Usaha Negara, maka peyelenggarakan pemerintahan akan berjalan sesuai dengan aturan hukum yang berlaku dan sejalan dengan tuntutan negara berdasarkan atas hukum, serta terwujudlah pemerintahan yang baik penyelenggraan negara yang bersih dan dan berwibawa seperti yang dicita-citakan oleh segenap bangsa Indonesia.

Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan tidak semata untuk menjamin pelaksanaan kegiatan pemerintahan berjalan sesuai rencana dan ketentuan peraturan perundangan. Tetapi, dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang baik dan bersih, pengawasan bertujuan mencegah praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Di Indonesia, kita mengenal tiga bentuk pengawasan yang dikembangkan sejak Orde Baru. Pengawasan melekat, pengawasan masyarakat, dan pengawasan fungsional. Pengawasan melekat (waskat), adalah pengawasan langsung yang dilakukan oleh atasan terhadap bawahannya secara terus-menerus dalam suatu instansi pemerintah, BUMN maupun swasta. Pengawasan masyarakat (pengwasan publik) adalah pengawasan yang dilakukan langsung oleh masyarakat umum atau melalui Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Pengawasan fungsional adalah pengawasan yang bersifat menyeluruh diluar maupun didalam pemerintah. Pengawas fungsional di luar pemerintah dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), sedangkan pengawasan internal pemerintah dilakukan banyak lembaga antara lain, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Inspektorat Jenderal Departemen, Inspektorat Lembaga Pemerintah Nondepartemen, dan Lembaga Pengawasan Daerah.