Jumat, 12 November 2010

MEKANISME HUBUNGAN ANTARA NEGARA DENGAN PNS DAN PEJABAT NEGARA

Undang-undang yang mengatur soal birokrasi di Indonesia adalah Undang-undang Nomor 8 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian yang telah dirubah dengan Undang-undang Nomor 43 tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 8 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian (selanjutnya disebut UU Kepegawaian). Dalam hukum Indonesia memang tidak dikenal istilah birokrasi. Namun, dalam Undang-undang Kepegawaian, birokrasi identik dengan pegawai negeri sipil. Pemisahan yang tidak tegas antara fungsi negara dan fungsi pemerintah sebenarnya dimulai dari konstitusi. Kita lihat saja istilah "kekuasaan pemerintahan negara" yang dipegang oleh eksekutif, dalam hal ini presiden. Padahal secara umum pemerintahan diselenggarakan oleh semua lembaga negara, yang menyelenggarakan fungsi-fungsi negara, termasuk di dalamnya eksekutif, legislatif, yudikatif, dan lembaga negara lain.

Terlepas dari kelemahan konstitusi, kedudukan birokrasi semakin diperlemah oleh Undang-undang Kepegawaian. Secara sengaja pegawai negeri sipil ditempatkan sebagai alat pemerintah (eksekutif), bukan alat negara. Dalam menjalankan fungsi dan kewenangannya, pegawai negeri sipil tunduk pada aturan pemerintah. Bagaimana mungkin pegawai negeri sipil dapat menjalankan roda birokrasi secara netral jika kebijakan dan aturan yang digunakan tunduk serta patuh kepada pemerintah. Kesalahan berikutnya adalah negara sering kali diidentikkan dengan pemerintah. Peran masyarakat tidak menjadi tolok ukur dalam penyelenggaraan negara. Masyarakat cenderung menjadi obyek penyelenggaraan negara. Maka dari itu kita perlu mengukur hubungan hukum antara Negara dengan Pegawai Negeri sipil dan Pejabat Negara, agar dapat memahami dan menguraikan hubungan hukuma tersebut berikut segala hak dan kewajiban yang dimilikinya.

Mekanisme Hubungan Hukum Antara Negara dengan Pegawai Negeri Sipil dan Pejabat Negara.

A. Pegawai Negeri Sipil

Pada umumnya pejabat publik berstatus sebagai pegawai negeri, namun tidak semua pejabat publik berstatus sebagai pegawai negeri seperti halnya pemegang jabatan dari suatu jabatan negara (politieke ambtsdrager). Sebaliknya, tidak setiap pegawai adalah pejabat, misalnya pegawai yang diberhentikan dari jabatannya dan diberi istirahahat lama karena sakit. Dewasa ini, kajian hukum administrasi lebih memandang hubungan hukum kepegawaian dimaksud sebagai suatu openbare dienstbetrekking (hubungan dinas publik) terhadap negara (pemerintah). Adapun openbare dienstbetrekking yang melekat kepada hubungan hukum kepegawaian itu lebih merupakan sub-ordinatie antara atasan dengan bawahan. Definisi mengenai pegawai negeri dapat kita temui pada Undang-undang Nomor 8 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian yang telah dirubah dengan Undang-undang Nomor 43 tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 8 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian. Kedua undang-undang tersebut memberikan definisi yang sama mengenai pegawai negeri, yaitu:

“Pegawai Negeri adalah mereka yang setelah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam sesuatu jabatan negeri atau diserahi tugas negara lainnya yang ditetapkan berdasarkan sesuatu peraturan perundang-undangan dan digaji menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

Jika melihat bunyi pasal tersebut, kita dapat menguraikan definisi dari apa yang dimaksud dengan pejabat yang berwenang dan jabatan negeri. Pejabat yang berwenang adalah pejabat yang mempunyai kewenangan mengangkat, memindahkan, dan memberhentikan Pegawai Negeri berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jabatan negeri adalah jabatan dalam bidang eksekutif yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan, termasuk di dalamnya jabatan dalam kesekretariatan lembaga tertinggi atautinggi negara, dan kepaniteraan pengadilan. Selanjutnya, Undang-undang Nomor 43 tahun 1999 membagi pegawai negeri menjadi 3 (tiga) jenis, yaitu:

1. Pegawai Negeri Sipil;

2. Anggota Tentara Nasional Indonesia; dan

3. Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Pegawai negeri sipil terbagi menjadi 2(dua), yaitu:

1. Pegawai Negeri Sipil Pusat; dan

2. Pegawai Negeri Sipil Daerah.

Dari penjelasan Pasal 2 Ayat (2) Undang-undang Nomor 43 tahun 1999, dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Pegawai Negeri Pusat adalah:

“Pegawai Negeri Sipil yang gajinya dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan bekerja pada Departemen, Lembaga pemerintah non-Departemen, Kesekretariatan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara, Instansi Vertikal di Daerah Propinsi/Kabupaten/Kota, Kepaniteraan Pengadilan, atau dipekerjakan untuk menyelenggarakan tugas negara lainnya.”

Sedangkan yang dimaksud dengan Pengawai Negeri Sipil Daerah, adalah Pegawai Negeri Sipil Daerah Propinsi/Kabupaten/Kota yang gajinya dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan bekerja pada Pemerintah Daerah, atau dipekerjakan di luar instansi induknya. Pegawai Negeri Sipil Pusat dan Pegawai Negeri Sipil Daerah yang diperbantukan di luar instansi induk, gajinya dibebankan pada instansi yang menerima perbantuan.

Selain definisi, Undang-undang Nomor 8 tahun 1974 dan Undang-undang Nomor 43 tahun 1999 juga mengatur kedudukan, kewajiban dan hak pegawai negeri. Kedudukan pegawai negeri diatur dalam Pasal 3 Ayat (1) sampai dengan (3) Undang-undang Nomor 43 tahun 1999, yang berbunyi:

(1) Pegawai Negeri berkedudukan sebagai unsur aparatur negara yang bertugas untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional, jujur, adil, dan merata dalam penyelenggaraan tugas negara, pemerintahan, dan pembangunan.

(2) Dalam kedudukan dan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Pegawai Negei harus netral dari pengaruh semua golongan dan partai politik serta tidak diskriminatif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.

(3) Untuk menjamin netralitas Pegawai Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Pegawai Negeri dilarang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik.

Kewajiban-kewajiban dari pegawai negeri diatur dalam Pasal 4 Undang-undang Nomor 43 tahun 1999, yang berbunyi:

“Setiap Pegawai Negeri wajib setia dan taat kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara, dan Pemerintah, serta wajib menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.”

Mengenai kewajiban pegawai negeri selanjutnya masih mengacu pada Pasal 5 dan Pasal 6 Ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 8 tahun 1974. Pasal 5, berbunyi:

“Setiap Pegawai Negeri wajib mentaati segala peraturan perundangundangan yang berlaku dan melaksanakan tugas kedinasan yang dipercayakan kepadanya dengan penuh pengabdian, kesadaran, dan tanggung jawab.”

Pasal 6, berbunyi:

(1) Setiap Pegawai Negeri wajib menyimpan rahasia jabatan.

(2) Pegawai Negeri hanya dapat mengemukakan rahasia-jabatan kepada dan atas perintah pejabat yang berwajib atas kuasa Undang-undang.

Sedangkan hak dari pegawai negeri diatur dalam Pasal 7 Undang-undang Nomor 43 tahun 1999 dan Pasal 8, Pasal 9 Ayat (1) sampai dengan (3) dan pasal 10 Undang-undang Nomor 8 tahun 1974. Pasal 7 Undang-undang Nomor 43 tahun 1999, berbunyi:

(1) Setiap Pegawai Negeri berhak memperoleh gaji yang adil dan layak sesuai dengan beban pekerjaan dan tanggungjawabnya.

(2) Gaji yang diterima oleh Pegawai Negei harus mampu memacu produktivitas dan menjamin kesejahteraannya.

(3) Gaji Pegawai Negeri yang adil dan layak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 8 Undang-undang Nomor 8 tahun 1974, berbunyi Setiap Pegawai Negeri berhak atas cuti. Pasal 9 Undang-undang Nomor 8 tahun 1974, berbunyi:

(1) Setiap Pegawai Negeri yang ditimpa oleh sesuatu Kecelakaan dalam dan karena menjalankan tugas kewajibannya, berhak memperoleh perawatan.

(2) Setiap Pegawai Negeri yang menderita cacad jasmani atau cacad rohani dalam dan karena menjalankan tugas kewajibannya yang mengakibatkannya tidak dapat bekerja lagi dalam jabatan apapun juga, berhak memperoleh tunjangan.

(3) Setiap Pegawai Negeri yang tewas, keluarganya berhak memperoleh uang duka.

Pasal 10 Undang-undang Nomor 8 tahun 1974, berbunyi Setiap Pegawai Negeri yang telah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan, berhak atas pensiun.

Hak pegawai negeri sipil yang telah ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 8 tahun 1974 dan Undang-undang Nomor 43 tahun 1999 juga diatur dan dijabarkan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lain, baik pada ketentuan perundang-undangan kepegawaian yang ada pada saat belum berlakunya ketentuan pokok-pokok kepegawaian maupun sesudahnya.

Selain kedudukan, kewajiban dan hak yang dimuat dalam Undang-undang Nomor 8 tahun 1974 dan Undang-undang Nomor 43 tahun 1999, maka diberlakukan juga Peraturan Pemerintah Nomor 30 tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil yang menetapkan larangan dan kewajiban bagi pegawai negeri sipil. Kewajiban bagi pegawai negeri sipil diatur dalam Pasal 2, yang berbunyi:

Setiap Pegawai Negeri Sipil wajib:

a. Setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara, dan Pemerintah;

b. Mengutamakan kepentingan Negara di atas kepentingan golongan atau diri sendiri, serta menghindarkan segala sesuatu yang dapat mendesak kepentingan Negara oleh kepentingan golongan, diri sendiri, atau pihak lain;

c. Menjunjung tinggi kehormatan dan martabat Negara, Pemerintah, dan Pegawai Negeri Sipil;

d. Mengangkat dan mentaati sumpah/janji Pegawai Negeri Sipil dan sumpah/janji jabatan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

e. Menyimpan rahasia Negara dan atau rahasia jabatan dengan sebaik-baiknya;

f. Memperhatikan dan melaksanakan segala ketentuan Pemerintah baik langsung menyangkut tugas kedinasannya maupun yang berlaku secara umum;

g. Melaksanakan tugas kedinasan dengan sebaik-baiknya dan dengan penuh pengabdian, kesadaran, dan tanggung jawab;

h. Bekerja dengan jujur, tertib, cermat, dan bersemangat untuk kepentingan Negara;

i. Memelihara dan meningkatkan keutuhan, kekompakan, persatuan, dan kesatuan Korps Pegawai Negeri Sipil;

j. Segera melaporkan kepada atasannya, apabila mengetahui ada hal yang dapat membahayakan atau merugikan Negara/Pemerintah, terutama di bidang keamanan, keuangan, dan material;

k. Mentaati ketentuan jam kerja;

l. Menciptakan dan memelihara suasana kerja yang baik;

m. Menggunakan dan memelihara barang-barang milik Negara dengan sebaik-baiknya;

n. Memberikan pelayanan dengan sebaik-baiknya kepada masyarakat menurut bidang tugasnya masing-masing;

o. Bertindak dan bersikap tegas, tetapi adil dan bijaksana terhadap bawahannya;

p. Membimbing bawahannya dalam melaksanakan tugasnya;

q. Menjadi dan memberikan contoh serta teladan yang baik terhadap bawahannya;

r. Mendorong bawahannya untuk meningkatkan prestasi kerjanya;

s. Memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk mengembangkan kariernya;

t. Mentaati ketentuan peraturan perundang-undangan tentang perpajakan;

u. Berpakaian rapi dan sopan serta bersikap dan bertingkah laku sopan santun terhadap masyarakat, sesama Pegawai Negeri Sipil, dan terhadap atasan;

v. Hormat menghormati antara sesama warganegara yang memeluk agama/ kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, yang berlainan;

w. Menjadi teladan sebagai warganegara yang baik dalam masyarakat;

x. Mentaati segala peraturan perundang-undangan dan peraturan kedinasan yang berlaku;

y. Mentaati perintah kedinasan dari atasan yang berwenang;

z. Memperhatikan dan menyelesaikan dengan sebaik-baiknya setiap laporan yang diterima mengenai pelanggaran disiplin.

Sedangkan larangan bagi pegawai negeri sipil diatur dalam Pasal 3 Ayat (1) dan (2), yang berbunyi:

(1) Setiap Pegawai Negeri Sipil dilarang:

a. melakukan hal-hal yang dapat menurunkan kehormatan atau martabat Negara, Pemerintah, atau Pegawai Negeri Sipil;

b. menyalahgunakan wewenangnya;

c. tanpa izin Pemerintah menjadi Pegawai atau bekerja untuk negara asing;

d. menyalahgunakan barang-barang, uang, atau surat-surat berharga milik Negara,

e. memiliki, menjual, membeli, menggadaikan, menyewakan, atau meminjamkan barang-barang, dokumen, atau surat-surat berharga milik Negara secara tidak sah;

f. melakukan kegiatan bersama dengan atasan, teman sejawat, bawahan, atau orang lain di dalam maupun di luar lingkungan kerjanya dengan tujuan untuk keuntungan pribadi, golongan, atau pihak lain, yang secara langsung atau tidak langsung merugikan Negara;

g. melakukan tindakan yang bersifat negatif dengan maksud membalas dendam terhadap bawahannya atau orang lain di dalam maupun diluar lingkungan kerjanya;

h. menerima hadiah atau sesuatu pemberian berupa apa saja dari siapapun juga yang diketahui atau patut dapat di duga bahwa pemberian itu bersangkutan atau mungkin bersangkutan dengan jabatan atau pekerjaan Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan;

i. memasuki tempat-tempat yang dapat mencemarkan kehormatan atau martabat Pegawai Negeri Sipil, kecuali untuk kepentingan jabatan;

j. bertindak sewenang-wenang terhadap bawahannya;

k. melakukan suatu tindakan atau sengaja tidak melakukan suatu tindakan yang dapat berakibat menghalangi atau mempersulit salah satu pihak yang dilayaninya sehingga mengakibatkan kerugian bagi pihak yang dilayani;

l. menghalangi berjalannya tugas kedinasan;

m. membocorkan dan atau memanfaatkan rahasia Negara yang diketahui karena kedudukan jabatan untuk kepentingan pribadi, golongan, atau pihak lain;

n. bertindak selaku perantara bagi sesuatu pengusaha atau golongan untuk mendapatkan pekerjaan atau pesanan dari kantor/instansi Pemerintah;

o. memiliki saham/modal dalam perusahaan yang kegiatan usahanya berada dalam ruang lingkup kekuasaannya;

p. memiliki saham suatu perusahaan yang kegiatannya tidak berada dalam ruang lingkup kekuasaannya yang jumlah dan sifat pemilikan itu sedemikian rupa sehingga melalui pemilikan saham tersebut dapat langsung atau tidak langsung menentukan penyelenggaraan atau jalannya perusahaan;

q. melakukan kegiatan usaha dagang baik secara resmi, maupun sambilan, menjadi direksi, pimpinan atau komisaris perusahaan swasta bagi yang berpangkat Pembina golongan ruang IV/a ke atas atau yang memangku jabatan eselon I.

r. melakukan pungutan tidak sah dalam bentuk apapun juga dalam melaksanakan tugasnya untuk kepentingan pribadi, golongan, atau pihak lain.

(2) Pegawai Negeri Sipil yang berpangkat Penata Tingkat I golongan ruang III/d ke bawah yang akan melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf q, wajib mendapat izin tertulis dari pejabat yang berwenang.

Peraturan Pemerintah Nomor 30 tahun 1980 dimaksud memuat sanksi (hukuman) bagi pegawai negeri sipil yang melanggar peraturan disiplin itu (Pasal 4, 5 dan 6).

Perihal Kepangkatan, Pengangkatan, Pemindahan, dan Pemberhentian pegawai negeri akan diuraikan sebagai berikut:

1. Kepangkatan;

Mengenai kepangkatan pegawai negeri diatur dalam Pasal 17 dan 18 Undang-undang Nomor 8 tahun 1974. Pasal 17 berbunyi:

(1) Pegawai Negeri Sipil diangkat dalam pangkat dan jabatan tertentu.

(2) Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil dalam sesuatu jabatan dilaksanakan dengan memperhatikan jenjang pangkat yang ditetapkan untuk jabatan itu.

Pasal 18, mengatur tentang sistem kenaikan pangkat regular dan kenaikan pangkat pilihan beserta syarat-syaratnya dan kenaikan pangkat anumerta.

2. Pengangkatan;

Pengangkatan diatur dalam Pasal 19 Undang-undang Nomor 8 tahun 1974 dan Pasal 20 Undang-undang Nomor 43 tahun 1999. Pasal 19 Undang-undang Nomor 8 tahun 1974, berbunyi Pengangkatan dalam jabatan didasarkan atas prestasi kerja, disiplin kerja, kesetiaan, pengabdian, pengalaman, dapat dipercaya, serta syarat-syarat obyektip lainnya. Pasal 20 Undang-undang Nomor 43 tahun 1999, berbunyi Untuk lebih menjamin obyektivitas dalam mempertimbangkan pengangkatan dalam jabatan dan kenaikan pangkat diadakan penilaian prestasi kerja.

3. Pemberhentian.

Pemberhentian pegawai negeri diatur dalam Pasal 23 dan 24 Undang-undang Nomor 43 tahun 1999. Pasal 23, berbunyi:

(1) Pegawai Negeri Sipil diberhentikan dengan hormat karena meninggal dunia.

(2) Pegawai Negeri Sipil dapat diberhentikan dengan hormat karena:

a. atas permintaan sendiri;

b. mencapai batas usia pensiun;

c. perampingan organisasi pemerintah; atau

d. tidak cakap jasmani dan rohani sehingga tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai Pegawai Negeri Sipil.

(3) Pegawai Negeri Sipil dapat diberhentikan dengan hormat atau tidak diberhentikan karena:

a. melanggar sumpah/janji Pegawai Negeri Sipil dan sumpah/janji jabatan selain pelanggaran sumpah/janji karena tidak setia kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara, dan Pemerintah; atau

b. dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan Yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan yang ancaman hukumannya kurang dari 4 (empat) tahun

(4) Pegawai Negeri Sipil dapat diberhentikan dengan hormat tidak atas permintaan sendiri atau tidak dengan hormat karena:

a. dihukum penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan yang ancaman hukumannya 4 (empat) tahun atau lebih; atau

b. melakukan pelanggaran disiplin Pegawai Negeri Sipil tingkat berat.

(5) Pegawai Negeri Sipil diberhentikan tidak dengan hormat karena:

a. melanggar sumpah/janji Pegawai Negeri Sipil dan sumpah/janji jabatan karena tidak setiakepada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara, dan Pemerintah;

b. melakukan penyelewengan terhadap ideologi Negara, Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945 atau terlibat dalam kegiatan yang menentang Negara dan pemerintah; atau

c. dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan.

Pasal 24, berbunyi Pegawai Negeri Sipil yang dikenakan penahan oleh pejabat yang berwajib karena disangka telah melakukan tindak pidana kejahatab sampai mendapat putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dikenakan pemberhentian sementara

Selain uraian diatas, masih terdapat ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkenaan dengan pengaturan terhadap pegawai negeri, antara lain Undang-undang Nomor 11 tahun 1969 tentang Pensiun Pegawai Dan Pensiun Janda/Duda Pegawai, Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 98 tahun 2000 tentang Pengadaan Pegawai Negeri Sipil, Peraturan Pemerintah Nomor 101 tahun 2000 tentang Pendidikan Dan Pelatihan Jabatan Pegawai Negeri Sipil, Peraturan Pemerintah Nomor 11 tahun 2002 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 98 Tahun 2000 tentang Pengadaan pegawai Negeri Sipil, Peraturan Pemerintah Nomor 12 tahun 2002 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2000 Tentang Kenaikan Pangkat Pegawai Negeri Sipil, Peraturan Pemerintah Nomor 13 tahun 2002 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 100 Tahun 2000 Tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil Dalam Jabatan Struktural, Peraturan Pemerintah Nomor 54 tahun 2003 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 97 Tahun 2000 Tentang Formasi Pegawai Negeri Sipil, Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 2003 tentang Wewenang Pengangkatan, Pemindahan, Dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil, Peraturan Presiden Nomor 58 tahun 2006 tentang Tunjangan Tenaga Kependidikan, Peraturan Presiden Nomor 59 tahun 2006 tentang Tunjangan Dosen, Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: kep/169/m.pan/10/2006 tentang Formasi Pegawai Negeri Sipil Secara Nasional Tahun Anggaran 2006.

B. Pejabat Negara

Undang-undang Nomor 43 tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 8 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian, mendefinisikan Pejabat Negara sebagai berikut:

“Pejabat Negara adalah pimpinan dan anggota lembaga tertinggi/tinggi negara sebagaimana dimaksudkan dalam Undang-undang Dasar 1945 dan Pejabat Negara yang ditentukan olehUndang-undang.”

Penjelasan lebih lanjut mengenai Pejabat Negara dijabarkan dalam Pasal 11 Ayat (1) sampai dengan (4) Undang-undang Nomor 43 tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 8 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian, yang berbunyi:

(1) Pejabat Negara terdiri dari atas:

a. Presiden dan Wakil Presiden;

b. Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat;

c. Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Perwakilan;

d. Ketua, Wakil Ketua, dan Ketua Muda, dan Hakim Agung pada Mahkamah Agung, serta Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim pada semua Badan Peradilan;

e. Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Pertimbangan Agung;

f. Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Badan Pemeriksa Keuangan;

g. Menteri dan jabatan yang setingkat Menteri;

h. Kepala Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh;

i. Gubernur dan Wakil Gubernur;

j. Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Wakil Walikota; dan

k. Pejabat Negara laninya yang ditcnttikan oleh Undang- undang

(2) Pegawai Negeri yang diangkat menjadi Pejabat Negara diberhentikan dari jabatan organiknya selama menjadi Pejabat Negara tanpa kehilangan statusnya sebagai Pegawai Negeri.

(3) Pegawai Negeri yang diangkat menjadi Pejabat Negara tertentu tidak perlu diberhentikan dari jabatan organiknya.

(4) Pegawai Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), setelah selesai menjalankan tugasnya dapat diangkat kembali dalam jabatan organiknya.

Untuk dapat memahami apa yang dimaksud dengan urutan Pejabat Negara dan Hakim yang terdapat pada Pasal 11 Ayat (1), maka kita perlu melihat Penjelesan Pasal 11 Ayat (1) Undang-undang Nomor 43 tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 8 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian, yang berbunyi:

“Urutan Pejabat Negara sebagaimana tersebut dalam ketentuan ini tidak berarti menunjukkan tingkatan kedudukan dari pejabat tersebut. Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan Hakim pada Badan Peradilan adalah Hakim yang berada di Lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, Peradilan Militer dan Peradilan Agama.”

Berikutnya mengenai apa yang dimaksud dengan Pejabat Negara tertentu, dapat dilihat dalam penlelasan Pasal 11 Ayat 3 Undang-undang Nomor 43 tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 8 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian, yang berbunyi:

“Yang dimaksud Pejabat Negara tertentu adalah Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Agung pada Mahkamah Agung, serta Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim pada semua Badan Peradilan; Ketua, Wakil Ketua dan Anggota Badan Pemeriksa Keuangan yang berasal dari jabatan karier; Kepala Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri yang berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh yang berasal dari diplomat karier, dan jabatan yang setingkat Menteri.”

Lebih lanjut mengenai Pejabat Negara, Philipus M. Hadjon berpendapat:

“Pegawai negeri yang diangkat menjadi Pejabat Negara dibebaskan sementara waktu dari jabatan organiknya selama menjadi Pejabat Negara, kecuali Ketua, Wakil Ketua, dan Ketua Muda, dan Hakim Agung pada Mahkamah Agung. Pegawai negeri tersebut secara administratip tetap berada pada departemen atau lembaga yang bersangkutan dan ia dapat naik pangkat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku tanpa terikat pada formasi. Apabila pegawai yang bersangkutan berhenti sebagai Pejabat Negara maka ia akan kembali kepada departemen atau lembaga yang bersangkutan.”

Jika kita melihat penjelasan tentang Pejabat Negara yang dikemukakan oleh Philipus M. Hadjon diatas, maka pada prinsipnya pendapat tersebut telah mengurai jelas mengenai ruang lingkup wewenang dari Pejabat Negara, namun penulis berpendapat ada beberapa hal yang perlu ditambah karena adanya perubanhan undang-undang, yaitu mengenai pengecualian terhadap pegawai negeri yang diangkat menjadi Pejabat Negara dibebaskan sementara waktu dari jabatan organiknya selama menjadi Pejabat Negara, hal ini hanya ditujukan kepada Ketua, Wakil Ketua, dan Ketua Muda, dan Hakim Agung pada Mahkamah Agung. Jika kita melihat Undang-undang Nomor 43 tahun 1999, maka harus ditambah dengan Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim pada semua Badan Peradilan, karena hakim pada tingkat apapun adalah Pejabat Negara. Mengenai hak dan kewajiban Pejabat Negara tidak diatur secara lengkap dan rinci dalam Undang-undang Nomor 8 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian dan Undang-undang Nomor 43 tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 8 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian, melainkan diatur dengan undang-undang khusus yang mengatur lembaga-lembaga tersebut.

Mekanisme hubungan hukum antara Negara dengan Pegawai Negeri Sipil dan Pejabat Negara, terlihat jelas dalam undang-undang yang mengaturnya yaitu Undang-undang Nomor 8 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian dan Undang-undang Nomor 43 tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 8 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian, yang mengatur tentang hak, kewajiban, wewenang serta larangan terhadap Pegawai Negeri serta diperkuat lagi dengan berbagai peraturan pemerintah yang mengikat, diantaranya Peraturan Pemerintah Nomor 30 thanun 1980 tentang Peeraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil.

Mengenai hak dan kewajiban Pejabat Negara tidak diatur secara lengkap dan rinci dalam Undang-undang Nomor 8 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian dan Undang-undang Nomor 43 tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 8 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian, melainkan diatur dengan undang-undang khusus yang mengatur lembaga-lembaga tersebut.

FUNGSI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DALAM MENGGERAKAN RODA PEMERINTAHAN




Harus diakui bahwa sebagai penyelenggara negara, fungsi pemerintah (eksekutif), selain memiliki konsentrasi kekuasaan yang besar, juga bersentuhan langsung dengan rakyat. Tindakan-tindakan penertiban, perizinan dan berberbagai pelayanan merupakan pekerjaan administrasi negara yang langsung berhubungan dengan rakyat. Setiap bentuk penyalahgunaan kekuasaan atau cara-cara bertindak yang tidak memenuhi syarat penyelenggaraan administrasi negara yang baik akan langsung dirasakan sebagai perbuatan sewenang-wenang atau merugikan orang tertentu atau pun rakyat banyak. Cabang-cabang penyelenggara negara yang lain, seperti pembentuk undang-undang (DPR) atau penegak hukum (kekuasaan kehakiman) tidak kurang perannya dalam mewujudkan dan menampakkan pemerintahan yang baik, kurang atau tidak baik. Pembentuk undang-undang dapat membuat undang-undang yang sewenang-wenang. Berbagai undang-undang yang dibuat belum tentu berpihak kepada kepentingan rakyat banyak, melainkan untuk kepentingan penguasa atau kepentingan kelompok tertentu yang tentu saja dominan, seperti para konglomerat dan lain-lain. Demikian pula dalam penegakkan hukum, dapat terjadi berbagai tindakan atau putusan yang sewenang-wenang. Kesewenang-wenangan itu bukan hanya terjadi karena kekuasaan penegak hukum tidak berdaya atau berkolaborasi dengan penyelenggara cabang kekuasaan lain. Kesewenang-wenangan dapat juga terjadi karena penyalahgunaan keuasaan yang ada pada penegak hukum. Berbagai tindakan hukum seperti perkara perdata yang dijadikan perkara pidana, putusan hakim yang dirasakan tidak benar dan tidak adil, penundaan eksekusi yang merugikan pencari keadilan sama sekali tidak terkait dengan ketidakberdayaan atau kolaborasinya dengan kekuasaan, melainkan karena penyalahgunaan kebebasan dalam memutus atau membuat suatu ketetapan. Menyikapi hal diatas, seyogyanya tinjauan mengenai penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance) tidak hanya berkenaan dengan fungsi Administrasi Negara saja, melainkan juga termasuk pada cabang-cabang kekuasaan negara yang lain seperti pembentukan undang-undang, yaitu bagaimana membuat suatu produk hukum yang baik sehingga dapat berfungsi untuk menggerakkan roda pemerintahan, maka dari itu sebaiknya kita memahami bagaimana fungsi Hukum Administrasi Negara, bagaimana seharusnya pemerintah membuat suatu produk hukum yang berkualitas serta bagaimanakah fungsi peraturan perundang-undangan dalam menggerakkan roda pemerintahan.

Fungsi-Fungsi Hukum Administrasi Negara

Dalam pengertian umum, menurut Budiono fungsi hukum adalah untuk tercapainya ketertiban umum dan keadilan. Ketertiban umum adalah suatu keadaan yang menyangkut penyelenggaraan kehidupan manusia sebagai kehidupan bersama. Keadaan tertib yang umum menyiratkan suatu keteraturan yang diterima secara umum sebagai suatu kepantasan minimal yang diperlukan, supaya kehidupan bersama tidak berubah menjadi anarki. Menurut Sjachran Basah ada lima fungsi hukum dalam kaitannya dengan kehidupan masyarakat, yaitu sebagai berikut:

1. Direktif, sebagai pengarah dalam membangun untuk membentuk masyarakat yang hendak dicapai sesuai dengan tujuan kehidupan bernegara.

2. Integratif, sebagai pembina kesatuan bangsa.

3. Stabilitatif, sebagai pemelihara (termasuk ke dalamnya hasil-hasil pembangunan) dan penjaga keselarasan, keserasian, dan keseimbangan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat.

4. Perfektif, sebagai penyempurna terhadap tindakan-tindakan administrasi negara, maupun sikap tindak warga negara dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat.

5. Korektif, baik terhadap warga negara maupun administrasi negara dalam mendapatkan keadilan.

Secara spesifik, fungsi Hukum Administrasi Negara dikemukakan oleh Philipus M. Hadjon, yakni fungsi normatif, fungsi instrumental, dan fungsi jaminan. Ketiga fungsi ini saling berkaitan satu sama lain. Fungsi normatif yang menyangkut penormaan kekuasaan memerintah jelas berkaitan erat dengan fungsi instrumental yang menetapkan instrumen yang digunakan oleh pemerintah untuk menggunakan kekuasaan memerintah dan pada akhirnya norma pemerintahan dan instrumen pemerintahan yang digunakan harus menjamin perlindungan hukum bagi rakyat.

Selanjutnya fungsi dari Hukum Administrasi Negara dapat dibagi menjadi fungsi normatif, fungsi instrumental dan fungsi jaminan hukum yang akan dijabarkan sebagai berikut:

1. Fungsi Normatif Hukum Administrasi Negara

Penentuan norma HAN dilakukan melalui tahap-tahap. Untuk dapat menemukan normanya kita harus meneliti dan melacak melalui serangkaian peraturan perundang-undangan. Artinya, peraturan hukum yang harus diterapkan tidak begitu saja kita temukan dalam undang-undang, tetapi dalam kombinasi peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan TUN yang satu dengan yang lain saling berkaitan. Pada umumnya ketentuan undang-undang yang berkaitan dengan HAN hanya memuat norma-norma pokok atau umum, sementara periciannya diserahkan pada peraturan pelaksanaan. Penyerahan ini dikenal dengan istilah terugtred atau sikap mundur dari pembuat undang-undang. Hal ini terjadi karena tiga sebab, yaitu:

a. Karena keseluruhan hukum TUN itu demikian luasnya, sehingga tidak mungkin bagi pembuat undang-undang untuk mengatur seluruhnya dalam undang-undang formal;

b. Norma-norma hukum TUN itu harus selalu disesuaikan dengan tiap perubahan keadaan yang terjadi sehubungan dengan kemajuan dan perkembangan teknologi yang tidak mungkin selalu diikuti oleh pembuat undang-undang dengan mengaturnya dalam suatu undang-undang formal;

c. Di samping itu tiap kali diperlukan pengaturan lebih lanjut hal itu selalu berkaitan dengan penilaian-penilaian dari segi teknis yang sangat mendetail, sehingga tidak sewajarnya harus diminta pembuat undang-undang yang harus mengaturnya. Akan lebih cepat dilakukan dengan pengeluaran peraturan-peraturan atau keputusan-keputusan TUN yang lebih rendah tingkatannya, seperti Keppres, Peraturan Menteri, dan sebagainya.

Seperti disebutkan di atas bahwa setiap tindakan pemerintah dalam negara hukum harus didasarkan pada asas legalitas. Hal ini berarti ketika pemerintah akan melakukan tindakan, terlebih dahulu mencari apakah legalitas tindakan tersebut ditemukan dalam undang-undang. Jika tidak terdapat dalam undang-undang, pemerintah mencari dalam berbagai peraturan perundang-undangan terkait. Ketika pemerintah tidak menemukan dasar legalitas dari tindakan yang akan diambil, sementara pemerintah harus segera mengambil tindakan, maka pemerintah menggunakan kewenangan bebas yaitu dengan menggunakan freies ermessen. Meskipun penggunaan freies ermessen dibenarkan, akan tetapi harus dalam batas-batas tertentu. Menurut Sjachran Basah pelaksanaan freies ermessen harus dapat dipertanggung jawabkan, secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan secara hukum berdasarkan batas-atas dan batas-bawah. Batas-atas yaitu peraturan yang tingkat derajatnya lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang tingkat derajatnya lebih tinggi. Sedangkan batas-bawah ialah peraturan yang dibuat atau sikap-tindak administrasi negara (baik aktif maupun pasif), tidak boleh melanggar hak dan kewajiban asasi warga. Di samping itu, pelaksanaan freies ermessen juga harus memperhatikan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Berdasarkan keterangan singkat ini dapat dikatakan bahwa fungsi normatif HAN adalah mengatur dan menentukan penyelenggaraan pemerintahan agar sesuai dengan gagasan negara hukum yang melatarbelakanginya, yakni negara hukum Pancasila.

2. Fungsi Instrumental Hukum Administrasi Negara

Pemerintah dalam melakukan berbagai kegiatannya menggunakan instrumen yuridis seperti peraturan, keputusan, peraturan kebijaksanaan, dan sebagainya. Sebagaimana telah disebutkan bahwa dalam negara sekarang ini khususnya yang menganut tipe welfare state, pemberian kewenangan yang luas bagi pemerintah merupakan konsekuensi logis, termasuk memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk menciptakan berbagai instrumen yuridis sebagai sarana untuk kelancaran penyelenggaraan pemerintahan.

Pembuatan instrumen yuridis oleh pemerintah harus didasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku atau didasarkan pada kewenangan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan. Hukum Administrasi Negara memberikan beberapa ketentuan tentang pembuatan instrumen yuridis, sebagai contoh mengenai pembuatan keputusan. Di dalam pembuatan keputusan, HAN menentukan syarat material dan syarat formal, yaitu sebagai berikut:

a. Syarat-syarat material:

1) Alat pemerintahan yang mem buat keputusan harus berwenang;

2) Keputusan tidak boleh mengandung kekurangan-kekurangan yuridis;

3) Keputusan harus diberi bentuk sesuai dengan peraturan dasarnya dan pembuatnya juga harus memperhatikan prosedur membuat keputusan;

4) Isi dan tujuan keputusan itu harus sesuai dengan isi dan tujuan peraturan dasarnya.

b. Syarat-syarat formal:

1) Syarat-syarat yang ditentukan berhubung dengan persiapan dibuatnya keputusan dan berhubung dengan cara dibuatnya keputusan harus dipenuhi;

2) Harus diberi dibentuk yang telah ditentukan;

3) Syarat-syarat berhubung dengan pelaksanaan keputusan itu dipenuhi;

4) Jangka waktu harus ditentukan antara timbulnya hal-hal yang menyebabkan dibuatnya dan diumumkannya keputusan itu dan tidak boleh dilupakan.

Berdasarkan persyaratan yang ditentukan HAN, maka peyelenggarakan pemerintahan akan berjalan sesuai dengan aturan hukum yang berlaku dan sejalan dengan tuntutan negara berdasarkan atas hukum, terutama memberikan perlindungan bagi warga masyarakat.

3. Fungsi Jaminan Hukum Administrasi Negara

Menurut Sjachran Basah, perlindungan terhadap warga diberikan bilamana sikap tindak administrasi negara itu menimbulkan kerugian terhadapnya. Sedangkan perlindungan terhadap administrasi negara itu sendiri, dilakukan terhadap sikap tindaknya dengan baik dan benar menurut hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Dengan perkataan lain, melindungi administrasi negara dari melakukan perbuatan yang salah menurut hukum. Di dalam negara hukum Pancasila, perlindungan hukum bagi rakyat diarahkan kepada usaha-usaha untuk mencegah terjadinya sengketa antara pemerintah dan rakyat, menyelesaikan sengketa antara pemerintah dan rakyat secara musayawarah serta peradilan merupakan sarana terakhir dalam usaha menyelesaikan sengketa antara pemerintah dengan rakyat. Dengan adanya UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, menurut Paulus E. Lotulung, sesungguhnya tidak semata-mata memberikan perlindungan terhadap hak-hak perseorangan, tetapi juga sekaligus melindungi hak-hak masyarakat, yang menimbulkan kewajiban-kewajiban bagi perseorangan. Hak dan kewajiban perseorangan bagi warga masyarakat harus diletakan dalam keserasian, keseimbangan, dan keselarasan antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan masyarakat, sesuai dengan prinsip yang terkandung dalam falsafah negara dan bangsa kita, yaitu Pancasila.

Berdasarkan pemaparan fungsi-fungsi HAN ini, dapatlah disebutkan bahwa dengan menerapkan fungsi-fungsi HAN ini akan tercipta pemerintahan yang bersih, sesuai dengan prinsip-prinsip negara hukum. Pemerintah menjalankan aktifitas sesuai dengan ketentuan yang berlaku atau berdasarkan asas legalitas, dan ketika menggunakan freies ermessen, pemerintah memperhatikan asas-asas umum yang berlaku sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan hukum. Ketika pemerintah menciptakan dan menggunakan instrumen yuridis, maka dengan mengikuti ketentuan formal dan material penggunaan instrumen tersebut tidak akan menyebabkan kerugian terhadap masyarakat. Dengan demikian, jaminan perlindungan terhadap warga negarapun akan terjamin dengan baik.

Pembuatan Produk Hukum Yang Berkualitas

Dalam membuat suatu produk hukum atau Keputusan Tata Usaha Negara, ada beberapa metode yang perlu diperhatikan oleh pembuat keputusan, yaitu:

1. Materiele theorie oleh Leopold Pospisil dalam bukunya yang berjudul Anthropological of law. Teori ini memiliki 3 (tiga) kerangka berfikir, yaitu:

a. Produk hukum dalam suatu negara dapat dikembangkan menjadi 2 (dua) kelompok besar, yaitu:

1) Hukum yang dibuat oleh penguasa atau hukum tertulis (authoritarian law);

2) Hukum yang hidup dalam masyarakat atau hukum yang tidak tertulis (common law).

b. Dua kelompok hukum diatas memiliki kelebihan dan kekurangan, tetapi kelebihan dan kekurangan itu berbanding terbalik, seperti yang dibandingkan dibawah ini:

1) Kelebihan dari hukum yang dibuat oleh penguasa atau hukum tertulis (authoritarian law) adalah memiliki kepastian hukum dan daya paksa yang tinggi. Sedangkan kekurangannya adalah bersifat statis dan obyektifitas keadilannya sulit terwujud.

2) Kelebihan dari hukum yang hidup dalam masyarakat atau hukum yang tidak tertulis (common law) adalah bersifat dinamis dan obyektifitas keadilannya dapat terwujud. Sedangkan kekurangannya adalah memiliki kepastian hukum serta daya paksa yang rendah.

c. Dari teori ini dapat disimpulkan bahwa produk hukum yang baik adalah produk hukum yang materinya sebanyak mungkin diambil dari common law, tetapi wadahnya authoritarian law.

2. Formelle theorie oleh Rick Dikerson dalam bukunya Legal drafting theory. Teori ini menjelaskan bahwa suatu produk hukum yang baik harus memenuhi 3 (tiga) persyaratan, yaitu:

a. Tuntas mengatur permasalahannya;

b. Sedikit mungkin memuat delegatie van wetgeving;

c. Hindari memuat ketentuan yang bersifat elastis.

3. Filosofische thoerie oleh Jeremi Bantam dalam bukunya Legal theory. Teori ini menjelaskan bahwa suatu produk hukum yang baik harus memiliki 3 (tiga) sifat berlaku secara komulatif, yaitu:

a. Berlaku secara filosofis;

Produk hukum harus mencerminkan falsafah hidup bangsa Indonesia yaitu Pancasila.

b. Berlaku secara sosiologis;

Mencerminkan kesadaran hukum masyarakat.

c. Berlaku secara yuridis.

Hukum diibaratkan sebagai tombak yang memiliki dua ujung runcing, yaitu adil dan benar. Adil adalah keseimbangan antara hak dan kewajiban. Benar adalah kecocokan antara peraturan dan perbuatan. Apabila adil dan benar bertemu, maka disebut dengan damai.

Jika suatu keputusan atau produk hukum dibuat dengan mengacu pada salah satu metode pembuatan produk hukum diatas, maka pastilah keputusan atau produk hukum yang diciptakan dapat “mengcover” segala kebutuhan masyarakat, sehingga tujuan untuk menciptakan masyarakat adil dan makmur dapat terwujud.

Fungsi Peraturan Perundang-undangan dalam Menggerakkan Roda Pemerintahan.

Dari urian pada pembahasan diatas, kita dapat melihat beberapa metode yang dapat dijadikan acuan oleh pembuat keputusan atau produk hukum. Berikut ini akan dijelaskan terlebih dahulu bagaimana bentuk ideal dari sebuah produk hukum. Menurut Prof. Muchsan, wadah atau bentuk (frame) dari suatu produk hukum yang ideal harus memuat:

1. Judul atau disebut juga dengan istilah short story (cerita pendek).

2. Konsideran (pertimbangan), dibagi menjadi:

a. Menimbang;

Bagian ini berisi fakta-fakta yang menjadi motifasi lahirnya suatu produk hukum.

b. Mengingat;

Bagian ini berisi pendorong yang berbentuk hukum

c. Memperhatikan.

Bagian ini berisi sesuatu yang bukan merupakan fakta hukum tetapi tetap relevan atau produk-produk hukum lain yang berkaitan dengan produk yang dibuat.

3. Diktum, dibagi menjadi:

a. Memutuskan

b. Menetapkan

4. Materi

a. Bab I, Ketentuan Umum;

Bagian ini berisi definisi-definisi operasional yang digunakan oleh produk hukum, sehingga menimbulkan kepastian hukum.

b. Bab II, Materi;

Bagian ini berisi penjabaran dari peraturan tersebut.

c. Bab III, Ketentuan Hukuman;

Bagian ini berisi ketentuan hukuman jika hukuman yang diatur lebih dari satu. Sebuah produk hukum harus memuat ketentuan pidana apabila memuat hak dan kewajiban tertentu. Syarat apabila memuat ketentuan pidanan:

1) Ketentuan pidana tidak boleh berlaku surut;

2) Bedakan antara perbuatan pelanggaran dan kejahatan;

3) Kalau pidana denda idealnya menggunakan kurs emas.

5. Kententuan peralihan (boleh ada/tidak)

Harus ada apabila produk hukum yang fungsinya mencabut produk hukum yang lama.

6. Ketentuan penutup

Ketentuan penutup memuat:

a. Saat berlakunya produk hukum yang baru

b. Apabila ada, singkatan resmi dari produk hukum yang baru

c. Menyebutkan Produk hukum yang dicabut/diganti/dirubah dengan produk hukum yang baru

Suatu produk hukum dianggap berlaku apabila:

1. Berlaku saat diundangkan

2. Berlaku surut, materinya menguntungkan umum tetapi ketentuan pidananya tidak

3. Berlaku saat yang akan datang

4. Jika tidak memuat kapan berlakunya, maka berlaku 30 hari setelah diundangkan.

Dalam mewujudkan fungsinya dalam menjalankan roda pemerintahan, aparat pemerintah menggunakan berbagai sarana. Sarana-sarana tersebut dalam fungsinya ternyata dapat menciptakan hukum baru. Menurut Prof. Muchsan sarana tersebut dapat digolongkan menjadi 2 (dua) golongan, yaitu:

1. Sarana yang bersifat mutlak (absolute)

Sarana yang harus ada, jika tidak maka roda pemerintahan tidak akan berjalan. Sarana yang bersifat mutlak ada 3 (tiga) dan dapat menciptakan hukum baru, yaitu:

a. Man power (Sumber Daya Manusia), sarana ini dapat menciptakan:

1) Public office law (hukum kepegawaian)

2) Public natural law (hukum benda Negara)

3) Public finance law (hukum keuangan Negara)

b. Natural (Benda), sarana ini dapat menciptakan:

1) Hukum kependudukan (population law)

2) Hukum lingkungan (environmental law)

3) Legal order (peraturan perundang-undangan) menciptakan legal drafting theory.

c. Money (Uang)

2. Sarana yang bersifat relatif (penunjang)

Sarana ini tidak harus ada dengan konsekuensi bahwa roda pemerintahan tetap berjalan tetapi sulit untuk mensejahterakan rakyat.